Filsafat Berfikir

Akhlak Islam

Agustus 19, 2019
1 Komentar

*DASAR PANDANGAN TERHADAP AKHLAK ISLAM*
_Oleh: Ading Nashrulloh_

Assalamualaikum warahmatullahi wabarakatuh
Hari ini Jumat 16 Agustus 2019. Langit di Bandung amat cerah
Alhamdulillah
Sahabat-sahabat peradaban Islam.

Dalam kesempatan kali ini saya ingin menyampaikan suatu topik tentang akhlak. Berbicara akhlak di dalam khazanah Islam maka tidak bisa dipisahkan dengan akidah dan ibadah. Namun dalam kesempatan kali ini saya ingin menyoroti bahwa yang namanya akhlak itu merupakan tampilan terkait tingkah laku dan tabiat milik siapapun terlepas dari kedudukan seseorang. Apakah dia seorang yang berakidah atau tidak. Apakah dia seorang ahli ibadah atau tidak. Maka pada umumnya manusia akan memiliki dan senang terhadap akhlak.

Kita mengetahui sekelumit dari perjalanan Rasulullah Shallallahu Alaihi Wasallam. Bahwa beliau ketika belum berdakwah tentang aqidah dan ibadah, masyarakat Quraisy Arab sangat senang kepada beliau. Kenapa? Karena akhlak beliau itu mulia. Bahkan beliau mendapatkan gelar al-amin dari mereka. Kemudian setelah Rasulullah menyerukan aqidah dan ibadah sesuai yang dikonsepsikan oleh Islam berdasarkan wahyu, maka tiba-tiba masyarakat Arab menjadi membenci dan memusuhinya. Padahal akhlak beliau tetap mulia.

Akhlak itu merupakan sesuatu yang menarik hati manusia. Siapa yang memiliki akhlak yang baik sekalipun tinggal di suatu masyarakat yang rusak maka akan dipandang mulia. Pandangan mulia ini diberikan oleh orang-orang yang terpelajar ataupun awam, orang kaya ataupun orang miskin, oleh ahli ibadah ataupun ahli maksiat. Kenapa bisa demikian? Karena akhlak itu menunjukkan keindahan perilaku dan tutur kata serta sifat. Sama seperti halnya ketika seseorang berhias dengan pakaian yang indah. Maka orang-orang akan senang dengan tampilan yang indah itu.

Apalagi yang namanya tingkah laku dan tutur kata serta sifat yang ada pada diri manusia itu lebih esensial daripada indahnya pakaian dan tempat tinggal. Hal ini disebabkan karena manusia bukanlah makhluk yang berindra saja dan berakal pikiran saja, tetapi yang lebih penting dari indra dan akal ialah bahwa manusia juga memiliki hati. Bila manusia telah tersentuh hatinya, dan menemukan kejujuran yang ada pada seseorang serta ketulusannya dalam pergaulan maka manusia akan menyenanginya.

Dari uraian ini berarti ketika kita menampilkan akhlak yang baik dalam pergaulan dimanapun dan dengan siapapun maka hal itu akan menarik simpati manusia. Namun memang kehidupan tidak hanya berbicara tentang akhlak. Akan tetapi juga berbicara tentang aqidah atau arah kehidupan. Juga berbicara tentang ketundukan kepada Allah. Tentang ideologi dan cita-cita masyarakat luas. Sehingga boleh jadi seseorang itu akhlaknya baik, tetapi tetap dibenci oleh segolongan manusia disebabkan oleh perbedaan ideologi.

Terlepas dari hal-hal tadi kita sudah menyepakati bahwa akhlak yang baik adalah mutiara dan keindahan perilaku manusia yang akan menarik simpati yang menyaksikannya. Oleh karena itu sebagai orang-orang yang beriman yang telah dididik oleh Allah dengan keimanan dan dilatih dengan ibadah-ibadah yang secara rutin dilakukan, maka sudah seharusnya seorang mukmin mampu menampilkan akhlak terbaik dalam pergaulan sosial. Baik di bidang bisnis, di bidang keuangan, di bidang politik, di bidang pendidikan, di bidang kemasyarakatan, di bidang kesehatan, dan lain sebagainya. Kita harus menampilkan akhlak yang terbaik di semua bidang itu.

Sahabat-sahabat peradaban

Setelah kita punya pandangan bahwa akhlak itu harus ditampilkan karena ia menyangkut keindahan diri kita, dan ketika mengingat bahwa kita dididik oleh Allah dengan aqidah dan ibadah yang pastinya serta merta memiliki akhlak terbaik dibandingkan dengan golongan manusia yang lainnya, maka hal apa sajakah yang harus kita lakukan dan kita persiapkan agar akhlak kita ini semakin kokoh?

*Pertama, kita harus melihat bahwa akhlak itu merupakan modal dalam berdakwah.*

Kalau setiap dari diri kita menyadari bahwa dakwah itu merupakan kewajiban dan kita memiliki kemauan yang kuat untuk melakukannya, maka disaat yang sama kita akan menyadari bahwa memiliki akhlak yang baik itu merupakan hal yang utama. Dengan kesadaran seperti ini artinya kita sudah diluruskan dan ditopang dalam hal semangat untuk berakhlak atau beradab. Artinya di tataran ini kita di motivasi. Dan kita tahu bahwa motivasi untuk berakhlak baik itu banyak sekali. Yaitu bahwa Allah akan merahmati orang orang yang berakhlak baik, akan dihimpunkan disekitarnya orang-orang yang juga berakhlak baik, dan dimudahkanya dia mencapai keadaan-keadaan yang baik dalam kehidupannya.

Terkait suatu proposisi bahwa akhlak merupakan modal untuk berdakwah, banyak sekali fakta yang menunjukkan bahwa akhlak yang baik merupakan metode dakwah yang paling ampuh. Artinya banyak orang yang di kemudian hari masuk ke dalam Islam dikarenakan bagusnya akhlak para pendakwah. Hal ini terjadi sejak Rasulullah Shallallahu Alaihi Wasallam berdakwah kepada sahabatnya dan kaumnya. Demikian pula akhlak itu telah menjadi kekuatan bagi para sahabat untuk menyebarkan Islam ke seantero dunia. Generasi Islam pada masa awal mendapatkan didikan akhlak dari Rasulullah Shallallahu Alaihi Wasallam sehingga mereka tampil sebagai manusia-manusia atau generasi yang paling mulia di muka bumi.

Sudut pandang yang lain setiap orang tua pasti mengharapkan agar anak-anaknya berakhlak baik, bahkan bangsa ini pun mengharapkan agar generasi berikutnya memiliki karakter yang baik. Karakter itu tiada lain adalah akhlak. Banyak sekali terutama dari golongan masyarakat awam, atau bangsa-bangsa yang terbelakang dalam hal pendidikan dan pemikiran, mereka akan kesulitan memahami kedalaman konsep aqidah dan ibadah di dalam Islam, yang apabila dijelaskan kepada mereka, sulit membawa mereka kepada Islam.

Namun ketika kepada mereka ditampilkan Islam dalam bentuk perilaku dan bukti-bukti pergaulan serta kehidupan nyata yang bersifat rahmatan lil alamin, penuh kasih sayang dan penghargaan terhadap eksistensi manusia, maka orang-orang tersebut tertarik dengan Islam tanpa perlu panjang berdebat berat dan panjang tentang hakekat-hakekat yang ada di dalam Islam. Dan ternyata akhlak pun bisa menaklukkan dan meluluhkan hati orang orang yang berpikiran maju, yang dikenal cerdas karena negeri mereka dikenal sebagai negeri yang berperadaban maju. Hal itu menunjukkan, sekali lagi, bahwa akhlak merupakan salah satu kunci untuk memenangkan dakwah.

*Kedua, kapasitas ilmu dan ibadah.* Orang apabila dia ingin memiliki akhlak terbaik dalam batas-batas apa yang bisa dicapai, dia harus membekali dirinya dengan ilmu seluas-luasnya dan setinggi-tingginya. Juga dengan kelekatan dalam beribadah. Sebab ilmu dan ibadah itu merupakan sumber atau mata air daripada akhlak yang baik. Dari sanalah seseorang akan sampai kepada adab dan karakter yang menyatu dengan dirinya. ibadah dan ilmu itu sangat besar pengaruhnya ke dalam hati dan pikiran manusia. Sedangkan akhlak berpondasi kepada keadaan hati.

Sehingga apabila seseorang secara lahir dia berakhlak baik; namun apabila ternyata hatinya tidak memiliki keimanan dan tidak pernah melakukan ibadah-ibadah, apalagi dia dalam keadaan kosong terhadap ilmu maka biasanya ahlaknya itu tidak bisa menjangkau keluasan dalam pergaulan. Atau setidaknya ada suatu pertentangan antara akhlak yang dilahirkan dengan keadaan hatinya yang buruk. Atau boleh jadi ia mempergunakan akhlak yang baik itu hanya sebagai topeng untuk menipu manusia. Disebabkan bahwa akhlak itu muncul dari pergerakan akal dan hati manusia, muncul dari hati yang bersih.

Pembahasan tentang akhlak sebetulnya sudah begitu luas dibicarakan oleh hampir setiap orang. Ciri yang utama akhlak adalah soal keseriusan. Beberapa keadaan manusia yang pasti serius. Seperti dalam keadaan sangat marah, sangat sedih, sangat takut, dan sangat khawatir. Di mana manusia akan kelihatan akhlak yang sebenarnya, dapat diperhatikan dan disimpulkan dalam keadaan-keadaan tersebut. Kebanyakan orang apabila menghadapi keadaan-keadaan tersebut dia akan memperturuti insting. Dia tidak akan bersikap tenang dalam keadaan keadaan tadi.

Akan tetapi justru ketika orang memahami fungsi dan tujuan dari pada akhlak, adalah untuk mengendalikan keadaan- keadaan emosional tadi sehingga menumbuhkan sikap tenang, mengendalikan diri, dan menimbulkan empati serta simpati daripada orang-orang. Akhlak itu sebetulnya merupakan sifat-sifat yang baik, itu cukup menjadi sebuah hiasan bagi seorang diri. Tapi akhlak itu pun sebetulnya mampu melahirkan berbagai kemanfaatan untuk menyelamatkan hidup manusia. Dan menghindarkan manusia dari berbagai malapetaka. Orang-orang yang memiliki keteguhan di dalam memandang seluk-beluk kehidupan dia akan tetap menunjukkan sikap tenang dan mampu berpikir secara sadar untuk menemukan solusi atas masalah yang sedang dihadapi.

Teman-teman peradaban yang Budiman

*Ketiga, akhlak itu terjadi dalam sebuah relasi*

Kita perhatikan bahwa akhlak merupakan salah satu skope di dalam skope Islam, disamping aqidah dan ibadah. Aqidah menempati fungai sebagai cara pandang tentang hakikat kehidupan, di dalamnya dijelaskan tentang hakekat dan arah kemana kita akan melangkah. Sedangkan ibadah adalah aktivitas yang harus menjadi bagian dari keseharian kita di samping aktivitas yang lumrah terjadi pada manusia sebagai makhluk hidup dan sosial. Adapun akhlak adalah hiasan di dalam bertingkah laku dalam hubungan-hubungan sosial dan transenden. Islam memberikan bimbingan terhadap akhlak secara langsung melalui ibadah dan aqidah itu sendiri.

Islam selalu mengkaitkan antara aqidah dengan akhlak dan antara ibadah dengan akhlak. Bahwa seorang muslim haruslah memperhatikan akhlaknya kepada manusia dalam lingkup pergaulan dan status sosial. Hendaklah menunjukkan keluhuran moralitas dan etika. Serta membuang jauh sifat-sifat yang buruk. Aqidah ataupun ibadah menciptakan suatu hubungan yang sifatnya transenden yaitu hubungan antara makhluk dengan Khalik. Apabila kita memandang akhlak itu terjadi dalam sebuah relasi atau hubungan maka aqidah dan ibadah itu merupakan salah satu wujud dari pada akhlak. Yaitu akhlak terhadap Rabb yang telah menciptakan kita dan alam semesta.

*Keempat, sebagaimana aqidah dan ibadah memiliki tujuan maka akhlak pun memiliki tujuan yang serupa.* Yaitu untuk meraih kebaikan berupa keselamatan, keberkahan dan rahmat. Berarti akhlak itu sifatnya menyelamatkan, menambah kebaikan, dan menyebarkan kasih sayang. Kalau kita merinci tentang hal-hal yang dapat menyelamatkan seseorang, maka kita bisa menyebutnya berupa utamanya ialah akal, harta, akhlak, saudara dan kematian. Akal menunjuk kepada ilmu, harta menunjuk kepada kekayaan, menunjuk kepada sifat tingkah laku yang baik, saudara menunjuk kepada pertolongannya, dan kematian menunjuk kepada su’ul khotimah. Semua itu merupakan perkara yang dapat menyelamatkan manusia. Walaupun hanya memiliki salah satunya. Apalagi kalau memiliki semuanya. Akhlak itu memiliki tabiat dan sifat dapat menyelamatkan hidup manusia.

Seseorang sekalipun dia bodoh, miskin, tidak memiliki saudara, dia dapat tetap selamat kesehariannya apabila dia memiliki akhlak yang baik. Harus ingat bahwa akhlak yang baik itu adalah milik semua golongan manusia. Dilihat dari sudut pandang kaya dan miskin, bodoh dan cerdas. Pelajar ataupun awam. Penduduk kota ataupun penduduk desa.

Kenapa akhlak itu bersifat menyelamatkan, karena akhlak memiliki komitmen terhadap nilai kebenaran, keberanian, kelembutan, keadilan, dan pengorbanan. Di mana setiap orang memiliki potensi dan kenyataan tingkatan berupa pengetahuan dan sikap terhadap nilai-nilai tadi. Akhlak yang baik merupakan kebaikan dan akan mengundang kebaikan yang lainnya. Atau paling tidak menjaga dari berbagai bahaya dan kerugian. Akhlak yang baik mungkin tidak membuat seseorang bertambah kaya atau bertambah ilmu, akan tetapi dia dijamin tidak akan bertambah miskin, ataupun bertambah menjadi bodoh. Karena akhlak itu bersifat menjaga sesuatu yang baik, menghindarkan dari sesuatu yang buruk, dan mengundang kebaikan-kebaikan lainnya agar melingkupi pelakunya. Itulah yang disebut dengan keberkahan.

Allah menurunkan aqidah dan syariat serta akhlak, mengajarkan dan mewajibkan kepada manusia, melainkan tentunya agar manusia sampai kepada sempurnanya nikmat dan karunia dari Allah. Ketika suatu kenikmatan dan karunia dari Allah dicukupkan kepada seorang hamba dan disempurnakannya maka hal itu merupakan suatu keberkahan yang diturunkannya kepada hamba-hamba-Nya. Itulah sebetulnya yang menjadi pengharapan manusia yaitu bertambah-tambahnya kebaikan dalam kehidupannya.

Akhlak juga bersifat membagi. Akhlak itu bersifat membagikan nilai kasih sayang atau rahmat. Akhlak yang baik tidak bersifat mencaci maki, menghina, merendahkan. Akhlak itu bersifat membesarkan, meninggikan, memuliakan, meluaskan, memberikan bobot. Terhadap apa? Terhadap nilai yang benar. Maka oleh karena itu, tidak dapat dipungkiri bahwa sekalipun seseorang itu berakhlak baik, namun tidak urung banyak pula yang menjadi musuhnya. Siapakah yang akan menjadi musuh orang-orang yang berakhlak? Yaitu orang-orang yang mengusung nilai kehidupan yang batil.

*Kelima, mengetahui Peran-peran*

Teman-teman peradaban.

Apabila kita semakin menggali tentang peran apa saja yang telah dilakukan oleh Allah Subhanahu Wa Ta’Ala kepada kita sebagai makhluk-Nya maka tentunya akan timbul suatu sikap yang menurut pertimbangan akal pikiran harus bagaimana kita sebaiknya sikap kita kepada Allah. Kita harus bersikap tunduk dan bersyukur kepadaNya. Dengan akal saja kita mampu menyimpulkan bahwa kita perlu untuk menunjukkan sikap tunduk dan bersyukur kepada Robb yang telah menciptakan dan mengurus kehidupan kita. Apalagi kalau ternyata sikap tunduk dan syukur itu adalah diwajibkan olehNya.

Jadi kalau kita semakin menggali informasi untuk mengetahui secara mendalam dan luas tentang peran-peran yang Allah berikan terhadap kehidupan manusia, pastilah itu semua akan menjadikan kita mau dan sadaru untuk menunjukkan sifat tunduk dan syukur. Sifat tunduk dan syukur kepada Allah merupakan akhlak. Dan akhlak itu akan semakin membaik dan tinggi kualitasnya seiring dengan bertambahnya pengetahuan kita tentang Allah. Demikian pula apabila kita bertafakur dan merenungi serta menggali pengetahuan sebanyak-banyaknya dan sedalam-dalamnya tentang peran-peran yang telah diberikan oleh alam semesta, lingkungan, tumbuhan dan hewan dalam kehidupan kita tentu kita akan tahu diri tentang apa yang harus kita lakukan terhadap alam semesta dan lingkungan tersebut.

Begitu pula apabila kita mengkaji secara mendalam tentang peran yang telah diberikan oleh orang tua kita, oleh teman-teman kita, oleh bapak-bapak kita, oleh tetangga dan relasi kita, sehingga membentuk dari kita yang hari ini, bisa sukses dan menikmati kehidupan maka tahulah kita tentang apa yang harus kita lakukan terhadap mereka itu. Kita harus berbuat baik kepada mereka, menghargai mereka, mendengarkan mereka, berbagi dengan mereka, menolong mereka, saling membantu dalam kebaikan dan saling menolong dalam ketaqwaan. Itu merupakan akhlak-akhlak yang baik.

Seseorang yang memiliki pengetahuan dan pandangan yang lurus baik dan mendalam tentang kenyataan-kenyataan yang ada di luar dirinya yang pasti memberikan kontribusi dan peran yang sangat besar manfaatnya, maka dia akan menunjukkan kualitas akhlak yang lebih baik sebagai sikap bahwa dia adalah seseorang yang berpikir dan tahu diri. Lebih dari itu ialah, bahwa semua yang dia lakukan adalah sebuah tanda bahwa dia seseorang yang hidup dalam kemuliaan.

Karena memang orang-orang yang mengabaikan hak selain dirinya dari dirinya adalah orang-orang yang buruk dan dipandang buruk oleh siapapun. Jadi timbangan dasar sebuah akhlak yang baik adalah memberikan kepada yang berhak atas haknya. Allah punya hak atas hambanya untuk disembah, orang tua punya hak atas anaknya untuk dihormati dan berbakti; tetangga, tamu, sahabat, relasi, memiliki hak atas diri kita untuk dijaga dan diselamatkan dari kejahatan diri kita. Ketika kita menunaikan hak-hak tadi, kita berakhlak.

*Keenam, memberkan kepercayan kepada entitas Sosial dan Agama.*

Maksud percaya kepada agama adalah, memberikan kepercayaan kepada agama bahwa agama Allah menjamin diri kita dan orang-orang di sekitar kita akan mampu menunaikan sifat-sifat yang baik. Kita tidak cukup percaya kepada ilmu, adat, negara, keluarga, masyarakat, organisasi, hukum, untuk menjamin bagi upaya memunculkan nilai-nilai akhlak yang baik. Kita tidak memungkiri bahwa semua entitas tadi mampu memberikan jaminan agar orang-orang berlaku baik. Bahkan sebagaimana telah dijelaskan pada bagian terdahulu kalau kita semakin memahami peran-peran yang telah diberikan oleh semua entitas di luar diri kita terhadap diri kita maka secara akal pikiran dan hati nurani yang bersih kita akan bersikap baik terhadap semua itu.

Akan tetapi apabila hanya mengandalkan dorongan akal dan hati secara perseorangan maka tidak akan cukup untuk mewujudkan suatu keadaan masyarakat yang memiliki sifat akhlak yang baik. Akan tetapi perlu ditunjang oleh kekuatan-kekuatan yang ada di luar perseorangan. Kekuatan-kekuatan yang ada di luar perseorangan itu adalah sebagaimana yang telah disebutkan tadi. Yaitu ilmu, negara, organisasi, masyarakat, keluarga dan lain sebagainya. Kekuatan-kekuatan ini akan menuntun dan mengarahkan manusia secara luas untuk tunduk dan patuh terhadap nilai-nilai yang baik.

Namun harus kita perhatikan lebih teliti lagi, bahwa semua entitas tadi apabila tidak disertai dengan agama dalam hal ini adalah Islam maka sebagaimana ditunjukkan oleh fakta-fakta sejarah dan kejadian masa sekarang, manusia tidak bisa sampai kepada akhlak yang mulia. Manusia terjerumus kepada akhlak yang buruk sekalipun semua institusi dan pranata tadi ada dan berjalan. Dari sisi sejarah kita melihat bahwa masyarakat Quraisy di zaman jahiliyah, mereka larut dalam akhlak-akhlak yang buruk, tanpa menutupi ada juga akhlak-akhlak yang baiknya. Akan tetapi akhlak yang baik pada mereka tidak bersifat kuat dan berpengaruh secara luas. Sejarah juga menunjukkan bagaimana ketika manusia tidak dituntun oleh Islam, sekalipun besar kekuatan dan kekuasaan Romawi dan Persia, dari berbagai sisi dan sudut pandang, namun tetap saja dalam hal akhlak, mereka betul-betul berada dalam jurang kerusakan bahkan berada di lembah kerusakan itu sendiri.

Kenapa hal itu terjadi? Tidak lain karena mereka tidak memiliki akidah dan ibadah yang lurus. Sehingga akhlak mereka pun rusak. Dengan memperhatikan kenyataan-kenyataan yang terjadi di kehidupan kita saat ini, persis sama keadaannya. Terpaut ratusan tahun dengan kenyataan sejarah tadi, kerusakan itu terjadi pula. Begitu rendahnya moral manusia di negeri-negeri yang melepaskan diri dari agama. Yang melepaskan tangan mereka dari aqidah dan ibadah yang Alloh syariatkan. Betul-betul rusak. Kita tidak perlu mericinya berupa contoh-contohnya dalam tulisan saat ini.

Hal ini menunjukkan bahwa seseorang atau masyarakat yang menjadikan dan percaya kepada agama sebagai dasar dan solusi serta impian hidup mereka, maka akan memiliki akhlak-akhlak yang baik dan kuat serta berpengaruh di panggung kehidupan. Sebagaimana pernah kita lihat dalam sejarah dan fakta-fakta hari ini. Ketika orang-orang Mukmin berpegang teguh terhadap aqidah dan ibadah maka akhlak pun mulia. Dan itu merupakan suatu karunia dari Allah terhadap umat Islam, orang-orang yang beriman.

Sahabat-sahabat peradaban

*Ketujuh, akhlak adalah kebebasan, akhlak itu merupakan pilihan.*

Karena itulah akhlak dipandang mulia dilihat dari sudut pandang manapun. Apa sebab? Seseorang yang berakhlak mulia sebetulnya dia bisa tidak berakhlak mulia. Tetapi dia memilih untuk berakhlak mulia. Dia mengendorkan kekuatan yang ada pada dirinya bila mendorongnya ke arah perkara yang buruk. Oleh sebab itu akhlak mulia merupakan suatu nilai yang utama. Oleh karena itu orang yang berakhlak mulia biasanya memiliki kebiasaan untuk berpikir tentang cara bagaimana mengubah kehidupan agar lebih baik. Dalam pengertian, tampilan dan sikap orang-orang menjadi lebih beradab, sifat serta nilainya dengan kebenaran yang hakiki.

Dorongan untuk melakukan semua hal itu adalah karena ia merasakan sendiri manfaat dari akhlak yang baik itu, yaitu berupa ketentraman di dalam hati, ketertiban dalam pergaulan, dan menumbuhkan kepercayaan dari orang lain, serta memberikan kemantapan tindakan atas orang-orang ketika berhubungan dengan dirinya. Disebabkan mereka melihat pelaku akhlak yang baik itu lebih layak dipercaya untuk diberikan amanah. Oleh karena itu dengan timbulnya pemikiran dan cita-cita bagaimana agar masyarakat menjadi lebih baik akhlak dan adabnya, mendorong dia untuk bukan hanya bahwa dia harus berakhlak baik untuk selamanya, akan tetapi juga mengupayakan agar masyarakatnya berada dalam akhlak yang baik juga.

Dalam pandangannya, manusia memiliki suatu urusan dan kebutuhan yang amat penting terhadap akhlak yang baik dibandingkan dengan kemajuan teknologi. Karena akhlaklah yang akan memelihara teknologi. Sedangkan teknologi belum tentu mampu menjaga akhlak manusia.

Untuk menopang kehidupan manusia agar selalu berjalan dalam keadaan baik sepanjang yang dapat diupayakan oleh manusia setidaknya ada 6 perkara. Yaitu agama, teknologi, kekayaan, negara, keluarga dan akhlak. Hal ini masih senafas dengan penjelasan terdahulu bahwa seseorang dapat selamat apabila dia berakal, berakhlak, berharta, punya keluarga, atau husnul khotimah.

Sesungguhnya agama memberikan perlindungan secara nyata terhadap akal manusia, keimanannya, keturunannya, hartanya, dan sekaligus jiwa. Juga memberikan satu arah yang pasti tentang tujuan yang semestinya dicapai dalam hidup manusia. Oleh karena itu manusia membutuhkan turunnya hidayah dari sisi Allah Subhanahu Wa Ta’ala. Turunnya hidayah itu adalah karena faktor takdir Allah, doa dan ikhtiar. Hidayah itulah yang membuat manusia mau menerima dan mengikuti agama. Tanpa adanya hidayah manusia tidak akan sampai kepada agama. Dan bila hidup manusia tanpa agama maka hidupnya akan diliput oleh kejahiliyahan atau kebodohan.

Di saat manusia hidup dalam kejahiliyahan dan kebodohan maka sudah tidak ada lagi perlindungan yang pasti terhadap harta, jiwa, keturunan, akal apalagi iman. Di mana-mana manusia akan mendapatkan bahwa hartanya selalu dicuri, jiwanya selalu diancam, keturunan yang menjadi kotor, akal terpisah dari akhirat, dan keimanan tidak memiliki wujud yang nyata. Jadi dengan demikian agama adalah salah satu di luar dari manusia yang apabila diwujudkan dalam kehidupannya akan memberikan jaminan kehidupan yang akan berjalan dengan sebaik-baiknya.

Berikutnya adalah teknologi. Lahir dan berkembangnya teknologi bukanlah merupakan suatu yang kebetulan atau terjadi begitu saja tanpa sebuah rancangan Rabbani. Sesungguhnya perkembangan teknologi itu menunjukkan banyak perkara tentang keagungan Allah. _Pertama_, bahwa ternyata Allah Subhanahu Wa Ta’ala telah menganugerahkan akal kepada manusia yang memiliki kemampuan luar biasa untuk menyerap hukum-hukum sunnatullah-Nya. Sehingga dengan pengusaaannya terhadap hukum-hukum sunnatullah itu manusia menciptakan berbagai satuan teknologi.

Kedua, bahwa ternyata Allah Subhanahu Wa Ta’ala telah menyiapkan dan menyimpan berbagai hukum-hukum alam yang dirancangnya sedemikian teliti dan bersifat tetap, sehingga ketika ditemukan oleh orang-orang yang telah diberikan anugerah ilmu kepadanya, maka muncullah berbagai keajaiban dunia. Dan semua itu merupakan cara Allah Subhanahu Wa Ta’ala menunjukkan kekuasaan-Nya. Menunjukkan mizan yang ada di alam semesta ini. Bahwa semua yang diciptakan oleh Allah adalah untuk kebahagiaan manusia di dunia. Terserah apakah mereka beriman ataupun kafir.

Ketiga, bahwa teknologi itu mampu membawa manusia kepada kemudahan dan kenikmatan yang lebih luas atas nikmat Allah yang telah disediakannya di muka bumi. Teknologi itu telah membawa manusia kepada kenikmatan-kenikmatan dan karunia dari Allah subhanahu wa ta’ala dengan tingkat yang lebih nyata. _Keempat_, bahwa teknologi itu merupakan pertemuan antara kekuatan akal, hukum alam, material dan kebutuhan hidup. Maka bagi orang-orang yang berpikir mendalam ketika dia menemukan suatu teknologi, dia harus semakin tunduk kepada Allah disebabkan dia telah menemukan tanda-tanda kebesaran Allah. Dia pun harus lebih bersyukur kepada Allah, karena Allah telah menganugerahkan kepadanya kehidupan yang baik.

Jadi singkatnya, teknologi itu merupakan rancangan dan karunia dari sisi Allah Subhanahu Wa Ta’ala. Tak perlu hal itu dijelaskan secara panjang lebar, karena kenyataannya sudah terang benderang, teknologi itu bersifat menunjang kehidupan manusia agar berjalan baik. Jadi orang yang beragama janganlah memandang remeh terhadap perkembangan teknologi. Hanya karena melihat bahwa kehidupan ini bisa beres oleh agama. Akan tetapi mestilah berpikir bahwa agama dan teknologi sama-sama berasal dari Allah. Agama Allah turunkan melalui nabi, sedangkan teknologi Allah turunkan melalui akalnya manusia yang dipilihNya.

Hendaknya juga orang-orang yang menguasai teknologi harus mau mengakui peran agama dalam kehidupan. Jangan karena teknologi itu memang mampu membawa kemajuan dalam hidup manusia, lalu ia meninggalkan agama. Teknologi itu memberikan kebahagiaan akan tetapi sedikit. Bahkan teknologi itu bisa menghancurkan manusia itu sendiri bila manusia meninggalkan agama.

Adapun negara, jelas merupakan sebuah entitas yang sangat dibutuhkan untuk menjamin kehidupan manusia berjalan baik. Mungkin di zaman dahulu ketika jumlah manusia masih sedikit, entitas negara belum begitu dibutuhkan untuk menjamin kehidupan tertib. Akan tetapi dalam konteks zaman sekarang dan hal ini sudah berjalan selama ribuan tahun, negara mampu memberikan suatu fakta kehidupan yang maju, mengembangkan ilmu dan teknologi, bahkan mengembangkan dan melebarkan agama, dan memberikan kesejahteraan baik harta ataupun batin terhadap manusia.

Allah Subhanahu Wa Ta’ala Allah menciptakan manusia terdiri atas berbagai golongan dan bangsa-bangsa. Lalu bagaimana golongan bangsa-bangsa itu mereka bisa hidup dengan identitasnya masing-masing, membangun negerinya masing-masing, tentulah hal itu terjadi karena Allah telah memberikan suatu fitrah pada manusia untuk berorganisasi hingga terbentuk negara. Kata lain bahwa terbentuknya berbagai negara di dunia ini, sejak zaman dahulu hingga saat ini, terlepas dari suatu fakta tentang timbul dan tenggelamnya negara-negara, yang jelas negara itu selalu ada, maka semuanya itu sama dengan agama dan teknologi, sebagai sesatu yang merupakan rancangan dari Allah subhanahu wa ta’ala.

Dan Allah telah memilih umat Islam yang dipimpin oleh Nabi Muhammad Shallallahu Alaihi Wasallam memunculkan suatu wujud negara yang ideal dan mampu memberikan kontribusi yang nyata bagi masyarakat manusia berupa negara Madinah yang kekuasaan yang meliputi Jazirah Arab, yang kemudian dalam perkembangannya menjadi Khilafah yang berkuasa selama ratusan tahun. Di samping itu ada juga negara-negara yang hidup bersamaan dengan masa-masa ketika negara Madinah dan Khilafah Islam berdiri. Itu adalah bukti bahwa negara yang merupakan entitas besar dalam kehidupan manusia, merupakan suatu fakta yang mampu memberikan jaminan kemajuan dan baiknya kehidupan manusia.

Akan tetapi harus diingat bahwa, jika hanya sekedar bernegara saja tanpa diikuti oleh teknologi dan agama maka eksistensi negara akan mudah hancur dan dihancurkan. Bagaimana penjelasannya, itu dapat kita kaji dari sejarah tentang negara dan negeri yang hancur akibat mereka mengabaikan agama sekaligus bangga dengan teknologi.

Berikutnya, adalah keluarga. Keberadaan keluarga adalah jaminan bahwa hidup manusia akan berjalan dengan baik. Karena dari keluarga timbul dan munculnya perasaan kasih sayang. Allah Subhanahu Wa Ta’ala telah merancang bagaimana manusia agar mencapai kebahagiaan dan kebaikan di dunia melalui sistem yang bernama keluarga yang dibuka melalui pintu pernikahan antara sepasang lelaki dan perempuan yang telah memenuhi syarat. Dari keluargalah timbul sifat tolong-menolong, melindungi, memberi, pengorbanan, kelembutan, penghargaan, dan keakraban. Dalam setiap generasi sejak zaman dahulu kala hingga saat ini, keluarga, sekalipun skalanya kecil dilihat dari jumlah manusia yang ada di dalamnya, akan tetapi kontribusinya menjamin kehidupan manusia berjalan dalam keadaan baik-baik dan aman amatlah besar.

Keluarga merupakan cara Allah Subhanahu Wa Ta’ala memperkembangkan manusia sehingga jumlahnya semakin banyak dari masa ke masa. Apa tujuan semua ini? Tiada lain adalah untuk menunjukkan Kemahakuasaan Allah dan keluasan rizki dan karunia-Nya. Sehingga setiap akal terbuka untuk memikirkannya.

Kemudian yang terakhir adalah akhlak. Akhlak merupakan suatu konsep yang mandiri sebagaimana konsep-konsep yang telah dibahas tadi. Akhlak memiliki kontribusi terhadap kehidupan manusia agar berjalan baik dan aman. Bagaimana agama, Negara, teknologi dan keluarga mampu memberikan hiasan dan kebaikan bagi hidup manusia, maka demikian pula akhlak. Bahkan akhlak itu merupakan puncak kebaikan dari kebaikan-kebaikan yang dicapai oleh semua entitas dan konsep tadi. Jadi salah satu puncak citra dan keadaan yang ingin dicapai oleh negara, agama, keluarga dan teknologi ialah semakin bagusnya tingkah laku manusia. Semakin indahnya tampilan manusia secara batiniah, batiniah itulah yang merupakan hakikat dari pada manusia. Sedangkan sisi lahirnya hanyalah penopang penumpangnya saja.

Selanjutnya adalah harta. Harta kekayaan berupa wanita, anak, ladang, perniagaan, ternak, dan lain sebagainya memiliki kontribusi yang nyata bagi baiknya jalan kehidupan manusia. Teknologi dan harta kekayaan adalah dua hal yang berbeda. Namun pada umumnya orang-orang yang menguasai teknologi tinggi, memiliki negara yang kuat dan kekayaan yang banyak. Namun tidak menjamin agama, keluarga dan akhlak mereka baik. Hanya saja memang kekayaan dan teknologi memberikan jaminan bahwa penampilan manusia menjadi indah dan mudah secara pandangan lahir.

Oleh karena itu kehidupan yang sempurna adalah kehidupan yang apabila ke enam perkara itu keadaannya lurus, kokoh dan kuat. Dari uraian diatas yang ingin ditekankan oleh saya ialah, bahwa akhlak memiliki sifat dan kedudukan yang sejajar dengan keberadaan agama, negara, keluarga, teknologi dan harta kekayaan.

Akhlak itu adalah pendorong bagi bermunculannya pikiran-pikiran dan tindakan-tindakan yang mendasari berbagai banyak sekali peraturan dalam urusan sosial. Sebagai contoh misalnya hukum, hukum yang berlaku di tengah masyarakat harus tunduk kepada nilai akhlak dan moral. Akhlak dan moral itulah yang mengawasi berjalannya hukum. Hal ini tidak terjadi sebaliknya. Hukum tidak pernah mengawasi berjalannya akhlak. Oleh karena itu akhlak bersifat memperbaiki dan mengarahkan peraturan-peraturan yang ada di tengah masyarakat. Peraturan peraturan itu dibuat untuk mengangkat dan melindungi harkat dan derajat manusia. Semua itu semata-mata karena secara akhlak, harkat dan derajat manusia harus ditopang diangkat dan dihargai.

Sehingga orang-orang yang berakhlak akan senantiasa memikirkan fenomena dan kasus yang ada di tengah masyarakat, artinya dia memiliki suatu pondasi untuk memikirkan tentang kewajiban yang harus dilakukan sedangkan kebanyakan manusia melupakannya. Sebagai contoh misalnya kebangkitan untuk melawan penjajah pada masa revolusi terdahulu. Orang-orang yang muncul ke permukaan untuk menyatakan penentangan terhadap penjajah adalah karena dorongan hati nurani dan dorongan akhlak atau moral. Bahwa tidaklah pantas suatu bangsa dijajah oleh bangsa yang lain. Sehingga diperlukan upaya untuk melawan penjajahan tersebut. Padahal di waktu itu mungkin kebanyakan orang melupakan pemikiran hal ini sehingga mereka tetap di dalam penjajahan.

Kesadaran moral tidak timbul begitu saja tiba-tiba. Akan tetapi melalui proses yang panjang, perhitungan yang matang dan kebiasaan yang konsisten dengan nilai-nilai kehidupan lainnya yang lebih luas. Maksud nilai-nilai kehidupan lainnya yang lebih luas itu adalah nilai kemanusiaan, sejarah dan agama. Dan ternyata, baik kemanusiaan maupun sejarah dan agama memiliki sifat menentang terhadap penjajahan serta memiliki arahan dan komitmen untuk mengangkat harkat dan derajat manusia.

Tetapi untuk menuju ke arah itu, untuk memfungsikan komitmen terhadap agama, kemanusiaan dan sejarah tidak bisa dilakukan oleh sembarang orang. Artinya ada satu syarat yang memungkinkan orang tersebut dipercaya oleh kebanyakan manusia untuk mengikuti gagasan dan ide-idenya menentang keburukan atau penjajahan itu. Kekayaan dan kecerdasan tidak mencukupi untuk menyatukan banyak hati dan pikiran manusia. Akan tetapi yang mampu menyatukan masyarakat adalah kemampuan diri yang terkait dengan akhlak yang baik.

Dengan kata lain orang-orang yang apabila dikenal oleh masyarakat sebagai orang yang biasa-biasa apalagi kalau akhlaknya buruk maka tidaklah mungkin dia mampu menggerakkan masyarakat. Bahkan masyarakat pun tentu tidak akan pernah mau mendengarkannya. Tak hanya itu orang-orang yang akhlaknya biasa atau buruk tidak akan memiliki pikiran dan dorongan jiwa untuk mengajak manusia meninggalkan keburukan dan mampu memberikan penjelasan tentang buruknya keadaan. Karena memang dirinya sendiri pun buruk.

Oleh sebab itu ketika kita membaca sejarah orang-orang yang hari ini diangkat sebagai pahlawan maka kita akan menemukan bahwa akhlak mereka senantiasa terjaga, mereka memiliki akhlak yang baik ditengah masyarakatnya. Hal ini membuktikan bahwa hanya orang-orang yang berakhlaklah yang mampu menggerakkan roda sejarah kehidupan manusia yang bisa diterima oleh kebanyakan masyarakat.

Lalu bagaimana dengan orang-orang yang mampu menggerakkan masyarakat tetapi setelah kita pelajari dari sisi moral lebih lanjut dia ternyata mengarahkan masyarakat kepada kerusakan moral dan kerusakan agama. Maka penjelasannya ialah, pada awalnya pikiran-pikiran dasar yang menumbuhkan ide-ide perubahan masyarakat selalu dikaitkan dengan dorongan moral. Dorongan moral yang dibingkai oleh batas-batas dan jenis pengetahuan yang dimiliki tentang hakekat-hakekat kehidupan. Jadi orang-orang yang mengarahkan masyarakat ke suatu jurusan ideologi, filsafat dan wujud peradaban tidaklah lepas dari dorongan dan motif moralitas atau akhlak. Akan tetapi bingkai pengetahuan yang mendasari dan melingkupi bagi tumbuhnya moralitas itu ternyata salah dan keliru total, sehingga arah kehidupan pun menjadi salah sekalipun arah itu didorong oleh cita-cita moralitas.

Sebagai contoh misalnya cita-cita komunis. Cita-cita komunis didasarkan kepada moral bahwa manusia itu harus sama rata sama rasa. Landasan moral ini tidak lepas dari dasar filsafat mereka yaitu filsafat atheism. Sehingga moral itu bersama-sama dengan ideologi dan politik mengarahkan wujud kehidupan masyarakat dan peradabannya ke suatu kehidupan yang mengabaikan agama. Bahkan menentang agama. Karena filsasafat ateisme mendasarkan diri pada pandangan bahwa Tuhan itu tidak ada. Konsep bahwa moral sebagai dasar bagi upaya menggerakkan masyarakat ke arah yang dicita-citakan, itu adalah nyata dan terbukti.

Dengan demikian moral bisa menjadi dasar bagi pembicaraan dan diskusi yang lebih luas antar berbagai bangsa dan golongan. Bahkan moral pun bisa menjadi dasar kesepakatan antara berbagai golongan manusia yang dibedakan oleh perbedaan agama. Jadi berbicara dalam masalah moral, orang Islam bisa duduk bersama dengan orang Kristen dan orang Hindu. Karena moral itu menyangkut aspek tentang cita-cita kehidupan yang baik menurut akal pikiran.

Allah Subhanahu Wataala memberikan dorongan dan naluri kepada setiap bangsa untuk mengenal golongan dan bangsa selain bangsanya. Sehingga mereka menemukan tentang puncak-puncak kebaikan serta akhlak yang dimiliki oleh setiap bangsa bangsa itu dan membandingkan dengan akhlak bangsanya sendiri. Kemudian pada ujungnya adalah Allah menegaskan yang terbaik dari golongan dan bangsa itu adalah bangsa dan golongan mana saja yang memiliki ketakwaan kepada Allah.

Seorang mukmin yang bertakwa kepada Allah akan memberikan apresiasi terhadap akhlak dan moral dari setiap bangsa itu dan mengajak mereka untuk bertakwa kepada Allah. Dalam pandangan orang-orang Mukmin setiap bangsa pastilah memiliki keunikan dan ketinggian derajat mereka masing-masing dilihat baik dari sudut pandang politik, kekuasaan, akhlak dan kemakmuran mereka. Dan akan lebih menjadi sempurna dan bagus serta memberikan manfaat yang lebih luas ketika segenap potensi yang ada pada bangsa itu dicelup oleh celupan Islam.

Hal itu karena Islam datang ke dunia adalah untuk menyempurnakan akhlak manusia. Bukan untuk mengajarkan manusia tentang akhlak mulai dari nol. Akan tetapi untuk menambah nilai akhlak mereka, memupus akhlak yang jelek dan menguatkan akhlak yang baik. Tidak ada satu bangsa pun di dunia ini yang seluruh anaknya buruk. Karena kalau ada suatu bangsa yang seluruh akhlaknya buruk sudah pasti mereka dihancurkan atau lenyap dengan sendirinya. Karena akhlak yang buruk itu bersifat menghancurkan bukan membangun. Buruknya akhlak pada suatu bangsa adalah satu satu warna dari akhlak secara umum. Artinya bangsa itu tetap dipandang memiliki akhlak baiknya. Yang mungkin tidak dimiliki oleh bangsa yang lainnya. Sehingga ketika dikenal bahwa akhlak tersebut baik dan sifatnya membangun, maka Islam akan menyokong dan mendorongnya untuk tetap ada dan berlaku.

Itulah tujuan dan fungsi Islam turun ke dunia. Itulah fungsi Nabi Muhammad Shalallahu Alaihi Wassalam diangkat menjadi rasul. Yaitu untuk menyempurnakan akhlak manusia. Berarti Islam dengan sosoknya Nabi Muhammad Shallallahu Alaihi Wasallam, beserta para sahabat dan umatnya, secara aksiomatis memiliki keunggulan akhlak. Dan akhlak itu puncaknya adalah Taqwa. Taqwa adalah akhlak yang sudah sampai ke puncaknya yang bersatu padu dengan keimanan, ilmu, keyakinan yang kuat, kedekatan dengan Allah, dan sifat Rahmat terhadap manusia dan alam.

Islam dan umat Islam tidak akan pernah kehabisan ide dan gagasan terkait akhlak. Karena apa yang dimiliki oleh Islam telah sampai kepada puncak-puncak pemikiran dan realitas yang dapat disaksikan oleh manusia. Dari golongan manapun manusia itu berasal dengan tingkat kecerdasan yang paling tinggi sekalipun, Islam siap dihadapkan dengan berbagai pernyataan dan pertanyaan terkait dengan akhlak dan moral yang diajarkannya.

Maka ketika kita menghadapi manusia yang mencaci-maki terhadap nilai moral dan akhlak yang dimiliki Islam, maka kita akan menemukan bahwa orang tersebut kalau tidak dua ciri pastilah satu diantaranya keduanya. Dia itu kebodohan tabiat rendah atau dengki. Orang-orang yang memiliki daya nalar yang rendah atau orang-orang yang terbiasa memiliki sifat kasar, kaku dan jahat. Demikian pula orang yang dengki, pasti akan menilai tidak ada yang berharga dari moral Islam.

Apabila ada seseorang dia mengatakan bahwa dirinya adalah seorang terpelajar, berwawasan luas dan berilmu tinggi dan memiliki punya kesadaran moral dan akhlak yang baik, namun kemudian dia menyimpulkan bahwa Islam itu tidak memiliki derajat yang tinggi, maka sudah pastilah dia telah dibodohi oleh akar pemikirannya yang keliru atau ia memang benar-benar dengki kepada Islam.

Dasar pemikiran yang membentuk akhlak Islam serta kenyataan-kenyataan akhlak yang dimiliki orang-orang mukmin memiliki standar dan kualitas yang tidak diragukan akan derajatnya yang tinggi. Ketika Islam tetap dihina, dihina tentang ajaran akhlaknya, salah satunya, dan hal itu ternyata hadir di tengah kehidupan kita, ada suatu penjelasan yang terang benderang bahwa mengapa orang-orang itu membenci akhlak Islam, karena mereka pun sebetulnya membenci dasar pandangan Islam terhadap dunia dan arah yang dituju oleh Islam. Yaitu tegaknya keadilan dan pupusnya zalim. Tidaklah mereka membenci Islam melainkan karena mereka melihat bahwa Islam memiliki kekuatan dari berbagai sisi untuk memupuskan zhalim. Sedangkan mereka itu selama ini berbuat dzolim terhadap diri dan masyarakatnya sendiri.

Mereka membenci Islam dari akar-akar Islam itu sendiri. Sedangkan akar dari pada Islam adalah tauhid yang dikandung di dalam aqidah, dan millah Ibrahim dalam cara beribadah kepada Allah. Milah Ibrahim artinya adalah bahwa ketika manusia beribadah kepada Tuhan yang telah menciptakan dirinya adalah dengan cara mengikuti ibadahnya para nabi. Karena kebenciannya terhadap dua hal ini mereka melancarkan kebencian dan permusuhan terhadap Islam termasuk terhadap nilai-nilai akhlak di dalam Islam.

Yaitu dengan cara membangga-banggakan akhlak-akhlak yang selama ini mereka junjung dan merasa bahwa akhlak yang mereka miliki berada di puncak-puncaknya. Padahal sangat nyata berlawanan dengan akhlak yang disodorkan Islam. Mereka merujuk rasa percaya diri itu kepada raihan-raihan mereka di bidang perkembangan teknologi, negara dan kekayaan. Padahal sebetulnya sekalipun mereka mencapai ketinggian teknologi, ketertiban negara dan kekayaan luar biasa, yang mereka, miliki tidak serta merta menunjukkan bahwa akhlak mereka itu adalah tinggi. Bahkan dapat dibuktikan bahwa sesungguhnya akhlak mereka secara umum dan global sangatlah rusak

Bagaimana dikatakan tidak rusak kalau keluarga mereka, remaja mereka, kebijakan negara mereka, sangat brutal dan dipenuhi dengan kelicikan dan kejahatan. Menghancurkan negara-negara lain dan membuat kerusakan di kota-kota mereka dengan kerusakan dari aspek moral. Jadi klaim mereka bahwa mereka memiliki nilai moral dan akhlak yang tinggi adalah omong kosong atau palsu.

Turunnya Islam ke dunia tidak hanya untuk menyempurnakan akhlak manusia tapi juga untuk menyempurnakan nikmat yang Allah berikan kepada manusia, berarti ada sesuatu yang sejajar dan setaraf nilainya antara nikmat dan akhlak. Marilah kita kaji secara mendalam tentang doa, ketika kita bercermin, kita memohon kepada Allah agar Allah membaguskan akhlak kita terkait dengan bagusnya penciptaan diri kita. _Ya Allah sebagaimana engkau telah perbagus penciptaan diriku maka perbaguslah akhlakku._

Ketika Allah menciptakan kita maka kita merasakan dua nikmat sekaligus yaitu nikmat diciptakan dan nikmat kehidupan. Kedua nikmat ini menjadi sempurna dengan adanya nikmat Islam. Jadi kalau seseorang tidak mengakui Islam sebagai agamanya, atau dengan kata lain dia tidak mau beriman kepada Allah, tidak mau beribadah tidak mau menjalankan syariat-Nya dan tidak mengakui Islam sebagai jalan kehidupannya, maka setinggi-tingginya nikmat yang dia peroleh, baik dari urusan harta dan lain sebagainya maka semuanya itu tidak akan mencapai sempurna.

Arti lain bahwa nikmat itu tidak sempurna adalah bahwa nikmat itu bersifat cacat. Bayangkan apabila kita punya tubuh cacat, telinga cacat, mata cacat, tangan cacat, kaki cacat dan lain sebagainya cacat, maka keberadaan tubuh kita itu menjadi tidak indah. Sekarang kita bayangkan bahwa yang cacat itu adalah hidup kita. Karena tadi sudah dikatakan bahwa hidup adalah nikmat. Sekarang kehidupan kita cacat. Maka ketika kehidupan cacat berubah menjadi malapetaka.

Demikianlah orang-orang yang tidak merengkuh Islam sebagai jalan kehidupannya maka di dunia dan di akhirat hidupnya cacat. Allah Subhanahu Wa Ta’ala menjelaskan di dalam Alquran bahwa orang-orang yang mencari agama selain Islam maka kehidupannya nanti di akhirat dibangkitkan dalam keadaan buta, hidupnya akan disempitkan. Makna lain yang lebih jelas dari perkataan hidup yang cacat ialah hidup itu hanya akan mendatangkan kerugian dan kesusahan bahkan kecelakaan.

Maka tidaklah mungkin orang-orang kafir menolak Islam melainkan karena mereka melihat Islam dari mata yang cacat, dari akal yang cacat, dari pendengaran yang cacat. Sehingga bertambah-tambahlah kecacatan mereka. Demikianlah kita harus memandang orang-orang kafir itu seperti demikian adanya. Hanya saja cacat mereka adalah cacat di dalam jiwanya, di dalam hatinya.

Salah satu unsur dari pada timbulnya keindahan dalam hidup adalah keseimbangan dan kesempurnaan. Sedangkan cacat adalah sesuatu yang membuatnya menjadi buruk. Apabila tubuh manusia dalam keadaan cacat maka berkuranglah keindahan dan kesempurnaan tampilannya bahkan fungsinya. Sedangkan inti dari pada manusia adalah jiwanya. Maka maka cacat jiwa lebih buruk lagi dibandingkan dengan cacat lahir.

Sebab apabila jiwa manusia sudah tidak sempurna sifat dan keadaannya, boleh jadi secara lahir dia tampil sebagai manusia yang sempurna wujud fisik dan biologisnya akan tetapi sesungguhnya dia berperilaku tak ubahnya seperti hewan buas atau ternak atau syetan. Hanya saja semua cacatnya jiwa itu bisa ditutupi oleh bekerjanya akal manusiawi. Sehingga di mata orang-orang awam tidak akan tampak bahwa perilakunya kurang lebih seperti hewan buas ternak atau setan tadi. Hanya di hadapan orang-orang yang berilmu sajalah, dipandang, bahwa hidup orang kafir itu adalah seumpama benda mati.

Jadi sekalipun manusia itu diliputi oleh banyak kekayaan, tingginya kekuatan politik dan kekuasaan atas ilmu pengetahuan itu tidak serta-merta bahwa mereka bisa menikmati semua kenikmatan itu dengan sempurna. Karena jiwa mereka sendiri tidak bisa menikmatinya dengan sebaik-baiknya karena keadaannya cacat. Islam datang untuk menyempurnakan nikmat-nikmat itu. Karena dengan datangnya Islam maka akan terjadi mizan dan arah yang jelas tentang bagaimana seharusnya memandang kehidupan, mengelola kehidupan, mengarahkan kehidupan dan mengakhiri kehidupan.

Islam berpesan agar setiap mukmin mengakhiri kehidupannya dalam keadaan sebagai muslim. _Janganlah kalian mati kecuali dalam keadaan sebagai Muslim_. Jalan kematian dilewati melalui jalan kehidupan. Jadi agar kematian dalam keadaan sebagai muslim itu dapat dicapai, maka di sepanjang kehidupan seseorang, harus menjalankan amalan-amalan sebagaimana yang seharusnya dijalankan oleh seorang muslim tanpa jeda.

Dengan cara itulah maka kehidupan sebagai nikmat dari Allah subhanahu wa ta’ala menjadi sempurna. Itulah tujuan Islam turun ke dunia, untuk menyempurnakan nikmat dari Allah yang dianugerahkan kepada manusia.

Sejajar dengan itu Islam turun ke dunia untuk menyempurnakan akhlak. Jadi sesopan dan sebaik apa pun moral dan tingkah laku manusia, bila tidak disertai dengan keimanan kepada Allah, maka hal itu pun hanyalah akhlak yang cacat, akhlak yang tidak sempurna.

Harta itu nikmat, tanpa iman maka harta itu mencelakakan. Tata tertiib dan etika, modal dan kebaikan perilaku, itu adalah akhlak yang baik, namun jika tanpa iman, maka akhlak itu bisa mencekakan juga. Dengan demikian berarti ketika kita menyempurnakan akhlak, dengan mengadakan suatu hubungan dengan Allah, berupa iman, itu sama dengan satu cara untuk menikmati keindahan kehidupan dari sisi kebagusan tingkah laku dan karakter manusia, sehingg terasa lebih nikmat dengan kenikmatan yang sempurna, sekaligus membuahkan kebaikan yang hakiki di dunia ataupun di akhirat.

Sebaliknya orang-orang yang selama ini berakhlak buruk berarti dia sedang menggerogoti nikmat lahir dan batin yang Allah berikan kepadanya. Dia sedang membuat kehidupannya cacat. Yang pada akhirnya akan membuat dia mendapatkan keburukan-keburukan dan kerugian serta kecelakaan dalam hidupnya.

Bersambung,…

18 Agustus 2019

_*sudah diedit*_


Ditulis dalam Uncategorized

Hikmah Iqro Edisi 2019

*HIKMAH DAN EPISTEMOLOGI IQRO*
_Oleh: Ading Nashrulloh_
*Edisi 2019*
*Latar Belakang*

Di kalangan orang yang beriman, mutiara paling berharga dalam hidup adalah iman itu sendiri. Harga Iman di atas harga ilmu atau akal, di atas harga nyawa, di atas keturunan, di atas harga harta. Maka entitas yang dapat mengantarkan kepada iman akan ditempatkan pada posisi yang sangat berharga. Ada tiga entitas yang dapat mengantarkan kepada iman, yaitu ilmu, ibadah dan lingkungan dengan ciri dan kategori tertentu.

Ketika seorang yang beriman telah sampai kepada entitas bernama ilmu, ibadah dan lingkungan dengan ciri dan kategori tertentu tadi, tentulah ia telah mendapatkan suatu kehidupan bagi hati, akal dan jasadnya. Ia beroleh karunia yang besar, ia beroleh inti dan mutiara hidup di dunia dalam makna yang sesungguhnya. Itulah tali penguat keimanan, penambah kualitas iman, dan penjaga iman yang sejati.

Boleh jadi entitas ini dinamakan dengan hikmah. Jika penamaan ini disepakati, maka kita bisa memulai. Ilmu dengan ciri dan kategori tertentu yang dengannya iman menjadi lebih baik, berkualitas sekaligus memperkuat dan memperbaiki ibadah dan lingkungan, maka saya menamakan imu tersebut adalah hikmah. Ilmu ini diturunkan dari penguasaan atas wahyu, dan ditunjang oleh ilmu pengetahuan, seni, sejarah, intuisi, hasil investigasi atau penelitian di lapangan, pengalaman, fakta-fakta, dan hasil pemikiran yang bersih serta mendalam. Itulah yang saya namakan sebagai hikmah.

Karakteristik dari hikmah adalah bahwa ia merupakan sebuah daya. Daya hati dan akal yang akan mampu menampung hidayah dari Allah Swt. Ia juga merupakan pengarah dan penguat. Yakni pengarah dan penguat ibadah-ibadah. Ia juga merupakan penata dan pembina. Yakni penata dan pembina lingkungan agar lebih sesuai dengan syariah. Sebab syariah yang diterapkan di lingkungan merupakan suatu bukti adanya keimanan.

Oleh sebab itu inti sari dari hikmah adalah kesesuaian dengan wahyu, kemampuan menjadi solusi atas kebutuhan hamba untuk beribadah, dan kenyataannya yang bias diandalkan sebagai jalan keluar atas berbagai masalah di lingkungan. Dengan kata lain, hikmah adalah proses, hasil dan tumpuan pemecahan masalah yang terjadi atas diri, tanggung jawab dan keadaan masyarakat atau alam. Untuk itulah mengapa hikmah hadir dalam kehidupan dan dimiliki oleh mereka yang beriman dan bijaksana.

Selanjutnya kita perlu mengetahui dan merumuskan ciri-ciri lebih lanjut yang harus melekat pada hikmah ini, sehingga mampu menjadi entitas dengan daya seperti dijelaskan di atas. Untuk keperluan tersebut saya teringat akan kalimat wahyu yang pertama kali turun kepada Nabi Muhammad Saw, yaitu Iqro bismirobbikaladzii kholak. Saya berpendapat bahwa hikmah itu harus merupakan suatu hasil dan proses iqro. Hikmah harus menjiwai maksud dan tujuan dari diturunkannya wahyu ke dunia.

Apa intisari tujuan dan maksud kata iqro tersebut. Saya menduga, berdasarkan banyak penjelasan dan dalam kaitannya dengan sejarah dakwah Islam selanjutnya, maksud iqro adalah menjadikan entitas iman sebagai landasan hidup, Allah sebagai tujuan hidup dan ibadah sebagai landasan harapan menuju kebahagiaan hidup. Dengan demikian Hikmah iqro adalah sebuah pandangan bijaksana di mana entitas iman, Allah dan ibadah menjadi sentral dari landasan dan tujuan-tujuan yang hendak dicapai dalam hidup, sehingga dicapailah dua tujuan utama, yaitu hilangnya kebatilan dan tegak kebenaran.

Berdasarkan latar belakang ini, maka saya memandang perlu membuat rumusan yang lebih jernis dan distingtif atas istilah akan istilah hikmah iqro ini. Maka mari ikuti tulisan saya selanjutnya di bawah ini.

*Perumusan Hikmah Iqro, Komitmen Konsep*

Hikmah iqro adalah ilmu dalam kepentingan iman. Di dalamnya termuat sistem dan metode memandang dan menempatkan diri, kehidupan dan Penciptanya. Sebab itu komitmen hikmah iqro haru menjadikan Iman sebagai landasan, Allah sebagai tujuan, Ibadah sebagai proses. Karena iman sebagai landasan, maka otomatis wahyu menjadi sandaran pertama dalam memandang kehidupan dan dalam mengkaji fenomena yang terjadi di dalamnya. Semua berangkat dari keyakinan bahwa dibalik kehidupan dan fenomena ini ada Allah Swt yang berkuasa atasnya. Dan kita bermaksud bahwa semuanya adalah untuk mendapatkan kejelasan akan tanda-tanda kebesaran Allah Swt sehingga hasil akhirnya adalah semangat untuk beribadah kepadaNya lebih baik lagi.

Manusia memiliki tiga potensi yaitu hati, akal, dan jasad. Hati merupakan tempat bagi iman, pemutus suatu tindakan dan penyerap makna dari apa yang dialami dan terjadi atas kehidupannya. Hatilah yang menangkap dan menanggung akibat dari segala perkara yang dipikirkan akal dan dilakukan jasad. Hati merupakan penangkap sinyal ilahi dan yang memerintahkan akal serta jasad untuk berbuat taat atau khianat. Akal merupakan alat bagi hati dalam menangkap rumusan-rumusan kehidupan baik yang berasal dari wahyu ataupun dari alam. Sedangkan jasad memiliki potensi untuk mewujudkan kewajiban dan harapan iman dan ilmu yang diperoleh. Hikmah Iqro menampung apa yang kehendaki oleh hati, dipikirkan oleh akal dan diperbuat oleh jasad yang secara sah serta meyakinkan mampu menopang komitmen hikmah iqro ini.

Manusia, Semesta dan Allah Swt adalah tiga ranah kajian. Hikmah Iqro sebagai jalan menata jiwa seorang yang beriman akan senantiasa aktif untuk mengkaji sebagai bekal untuk menganalisa dan memberikan solusi atas problem yang dihadapi manusia dalam konteks zaman dan tempat tinggalnya. Maka sasaran kajiannya terdiri atas tiga wilayah yaitu manusia, semesta dan Allah Swt. Mengkaji manusia secara garis besar adalah membahas tentang agamanya, filsafatnya dan politiknya.

Agama terkait dengan iman, filsafat terkait dengan fikirannya, dan politik terkait dengan perbuatannya dalam kategori puncak-puncak kenyataannya. Sasaran kajian semesta adalah kajian tentang tabiat statis dan dinamis alam semesta. Tabiat statis adalah hokum-hukum alam, sedangkan dinamis terkait peristiwa-peristiwa yang sulit diprediksi bila mengikuti hukum-hukum alam, contohnya adalah peristiwa bencana. Sedangkan Mengkaji Allah Swt berarti mengkaji wahyu dan cara beribadah kepadaNya. Tiga wilayah ini harus dibahas bersamaan, sekalipun tema dan fokusnya hanya pada salah satunya. Ketika kita fokus membahas semesta, maka kajian tentang Allah dan manusia harus diikut sertakan. Dibahas secara seimbang.

Membenarkan, melisankan, mewujudkan Iman adalah kewajiban setiap muslim. Orang beriman bukan hanya bahwa ia sadar akan kewajibannya untuk beriman, tetapi juga lebih dari itu yakni merealkan iman dalam waktu dan tempat kehidupannya. Hikmah Iqro merupakan pola berjiwa yang meliput hati, fikiran dan tindakan alam poros iman kepada Allah untuk menguatkan ibadah. Maka hikmah iqro merupakan suatu metode yang diharapkan dapat membantu seorang mukmin untuk merealkan iman berdasarkan ilmu, kefahaman dan kemauan yang kuat. Sehingga kuatlah hatinya membenarkan, tajam lisannya dalam mendakwahkan dan terampil jasadnya dalam mewujudkan pesan-pesan keimanan di tengah kehidupan manusia. Dengan hikmah iqro maka sains dipersatukan kembali dengan iman, politik dipersatukan kembali dengan agama, dan pekerjaan dipersatukan kembali dengan ibadah. Urusan ilmu adalah urusan iman, urusan politik adalah urusan agama, urusan pekerjaan adalah urusan ibadah.

*Pola Hikmah Iqro*

Real adalah yang benar-benar nyata dan ada secara hakiki. Setidaknya ada tiga real yang dimuat dalam al-Quran, yaitu Allah, alam dan pertemuan dengan Allah. Alam itu termasuk di dalamnya adalah manusia. Allah, alam dan manusia sering dibahas sebagai suatu kenyataan. Namun jarang dibahas bahwa pertemuan dengan Allah merupakan kenyataan pula. Maka dalam hikmah iqro, pertemuan dengan Allah merupakan salah satu perkara real, suatu kenyataan yang hakiki. Manusia pernah bertemu dengan Allah sebelum kehidupan di dunia dan akan bertemu dengan Allah setelah selesainya kehidupan di dunia. Dalam pandangan orang-orang beriman, perkara ini adalah real. Suatu kenyataan yang sebenar-benarnya ada.

Idealis adalah jalan-jalan menuju realis. Artinya ada jalan untuk mengenal dengan jelas apa alam itu, siapa Allah, kemudian siapa, mengapa dan bagaimana kita ada. Jalan itu adalah ibadah dan meminta pertolongan kepada Allah. Inilah pernyataan paling jelas untuk menjawab siapa kita, mengapa kita dan bagaimana kita. Kita adalah makhluk, maka tentu ada Khalik. Dan karenanya ada sejumlah kewajiban manusia yang harus ditunaikan pada Khaliknya, yakni ibadah. Ada sekian keadaan manusia sehingga ia perlu meminta pertolongan kepadaNya. Inilah jalan mendekati Allah untuk memahaminya dengan benar. Tanpa ibadah dan meminta pertolongan kepadaNya, manusia tidak akan memahami Allah, dirinya dan alam semesta ini. Sekalipun sampai kepadanya informasi tentang semua real ini, namun bila tidak membuatnya beribadah dan meminta tolong kepada Allah, hakikatnya ia tidak tahu apa-apa dan tidak berbuat apa-apa untuk mencapai real.

Empiris adalah fakta dan fenomena yang sedang kita hadapi di dalam kehidupan kita sendiri. Dalam sebuah ranah hikmah, selalu ada dua macam empiris yang menarik perhatian, yaitu yang problematik dan yang menakjubkan. Empiris yang problematik adalah empiris yang tidak memuat idealis. Sedang empiris yang menakjubkan adalah empiris yang sarat dengan idealis. Tidak ada empiris yang netral dari idealis dalam kehidupan manusia. Kemampuan membaca empiris dan menemukan hal yang problematis atau menakjubkan tergantung kepada kedalaman ilmu kita tentang idealis. Suatu empiris tanpa pisau analisa bernama realis dan idealis mungkin tidak akan terdeteksi ada tidak adanya problem di dalamnya.

Problem adalah detail empiris atas keadaanya yang tidak memuat idealis. Muara problem itu adalah sifat yang mengundang kemurkaan Allah dan sifat menetap dalam kesesatan. Yaitu keadaan di mana manusia tidak beribadah kepada Allah, dan tidak pula meminta pertolongan kepadaNya. Mereka beribadah kepada selain Allah dan meminta pertolongan kepada selain Allah. Mereka melupakan Allah dalam ibadah dan dalam kehidupannya, juga melupakan akan pertemuan dengan Allah di hari akhirat kelak. Empiris semacam ini contoh-contohnya banyak sekali dimuat di dalam al-Quran.

Problem adalah pemicu munculnya empiris yang problematis. Sedangkan problem itu pada intinya disebabkan oleh ketiadaan idealis dan ketiadaan keyakinan realis pada manusia. Sebab itu solusinya ada dua yaitu merujuk kepada teladan orang-orang beriman di masa lalu, dan berhati-hati dari tipu daya orang yang sesat dan dimurkai Allah yang merupakan akar dari fakta kehidupan yang problematis.

Berdasarkan deskripsi di atas, maka hikmah iqro itu mewajibkan kita menjadikan keimanan dan ibadah sebagai pisau analisa fenomena, sudut pandang menilai dan menakar fakta kehidupan. Dan jauh sebelum mengadakan penelitian dan tindakan dakwah atau resolusi, kita harus memahami dan memaknai dalam wujud penataan kehidupan kita atas penjelasan realis dan idealis yang dimaksudkan di atas.

Seorang yang memiliki hikmah iqro selalu mengajukan tiga pertanyaan atas fenomena atau fakta kehidupan zamannya. Apakah di zaman dan tempatnya iman menjadi landasan kehidupan? Apakah Allah menjadi tujuan dari setiap pengembangan setiap segmen kehidupan dan peradaban? Apakah dirinya dan masyarakatnya telah menjadikan ibadah sebagai poros dalam setiap aktifitasnya? Ia selalu bertanya untuk merumuskan kerangka jiwa dan mengambil sikap atas keadaan-keadaan yang fana ini.

*Metode Iqro*

Selama ini ilmu telah disekularisasi. Dipisahkan dari agama. Dengan alasan bahwa wilayah kajian ilmu hanya seputar ururan dunia, alam dan manusia. Tidak berbicara tentang surga. Kemudian setelah saya mempelajari berbagai diskusi filsafat ilmu, sudah saatnya saya membangun filsafat pengetahuan sendiri. Dan hasilnya adalah desekularisasi ilmu. Artinya pencopotan sekular atas ilmu dan memadukan kembali antara ilmu dan agama. Apa yang saya lakukan, banyak dilakukan oleh rekan-rekan yang lain.

Fenomena adalah kumpulan kasus serupa. Kasus adalah peristiwa dalam skala tempat dan waktu tertentu. Intelek itu hati. Tempatnya tata aturan keimanan dan akhlak yang telah padu menjadi fakta diri. Fenomena menyimpang artinya menurut timbangan keimanan kita, kasus tersebut sangat kontras dengan keimanan. Kenapa Alloh mengutus para nabi? Karena terjadi fenomena kemusyrikan.

Ceritanya kita sudah menangkap suatu fenomena, dan telah merumuskan masalah. Selanjutnya kita harus membuka lembaran-lembaran Al-Quran dan Hadits yang menyinggung fenomena tersebut. Kita kumpulkan ayat-ayat yang menjelaskannya. Untuk memahami fenomena tersebut dari kacamata Wahyu. Kemudian kita juga membuka lembaran-lembaran buku sains yang membahas fenomena tersebut. Siapa berkata apa. Sehingga dapat diperoleh gambaran teoritis tentang makna dari fenomena tersebut dari sudut pandang Sains/ilmu pengetahuan.

Tidak berhenti sampai di situ. Kita juga harus membuka lembaran-lembaran sejarah yang telah ditorehkan para pendahulu kita dalam menyikapi fenomena tersebut. Baik dari kalangan ulama, praktisi dan ilmuwan. Terakhir kita juga wajib membuka lembaran-lembaran Negara dan aturan formal yang mengatur dan menyikapi fenomena tersebut. Jadi Wahyu, Sains, Sejarah ,Hukum Negara harus dibuka.

Fenomena dan lembaran-lembaran yang kita buka buka itu selanjutnya harus menjadi bahan kerangka kita. Kerangka jiwa itu ada tiga, yaitu intelek (hati), berfikir (akal), beramal (tindakan, program). Kerangka jiwa adalah pengarah kajian. Kerangka intelek berarti berbicara iman. Kerangka intelek menyangku fenomena dari sudut pandang wahyu. Berfikir berarti berbicara teori, maka kerangka berfikir itu menyangkukt fenomena dari sudtu pandang sains/teori. Kemudian kerangka beramal, menyangkut fenomena dari catata sejarah para ulama, umat dan umat manusia menyikapi fenomena.

Jadi dalam setiap penelitian yang kita lakukani kita menggunakan tiga paradigma, Iman, Sains dan Negara. Sebagai mukmin, ilmuwan dan sebagai warga Negara. Jiwa kita harus mencakup ketiganya, Iman, Sains, Undang-undang. Wahyu, Teori, Hukum; Hati, Akal, Perbuatan. Kerangka jiwa ini harus dikembangkan dengan meluaskan dan mendalamkan isi bahasan. Berupa penyajian argumentasi-argumentasi yang mendukung. Setelah dikembangkan dan didalamkan pembahasannya kemudian kita kerucutkan menjadi hikmah.

Hikmah itu ada tiga, dakwah, hipotesis, resolusi. Dakwah adalah rencana Dakwah bilhikmah. Diturunkan dari Fenomena dan kerangka intelek. Hipotesis adalah pendapat/ pernyataan sementara. Diturunkan dari fenomena dan kerangka berfikir. Resolusi adalah Rencana Tindakan/program kongkrit. Diturunkan dari fenomena dan kerangka beramal. Hikmah saya adalah dakwah saya, hipotesis saya, resolusi saya. Dakwah harus diperkuat oleh bukti-bukti keteladan dan prestasi yang pernah dimiliki para ulama. Hipotesis harus didukung oleh bukti-bukti di lapangan. Resolusi harus didukung oleh kekuatan moral dan perangkat Negara.

Itulah metode iqro. Sebagai metode membina jiwa yang transendent, ilmiah dan negarawan dalam menyikapi fenomena. Sebagai metode membina jiwa pengkaji dan peneliti yang transendent, ilmiah dan negarawan dalam menyikapi fenomena. Manfaat metode iqro, tetap belajar kepada para ulama, tetap belajar kepada para filsuf, tetap belajar kepada hukama. Metode Iqro adalah upaya menyerap pengetahuan dan kesadaran tentang suatu realitas kehidupan menurut kedalaman makna yang sebenarnya. Metode iqro merupakan suatu upaya desekularisasi ilmu ditambah dengan kesadaran sebagai warga Negara.

Ada lima komponen utama dalam metode Iqro. Pertama adalah khazanah Pengetahuan, Kedua Fenomena Kehidupan, ketiga Kerangka Jiwa, keempat Pernyataan Pandangan, Kelima Langkah Pembuktian diri. Istilah-istilah ini mungkin terasa asing dan baru. Saya akan mencoba untuk menguraikannya sejelas-jelasnya. Dalam kesempatan-kesempatan berikutnya. Tiga Porsi cita-cita kehidupan merupakan pokok dan dasar penyusunan metode Iqro ini. Pertama Mutaqin, Kedua ilmuwan, ketiga Warga Negara. Sebab itu dalam keseluruhan metode iqro ini selalu melibatkan tiga ranah pemikiran ini.

*Metodologi Iqro*

Iqro itu artinya membaca. Membaca ayat-ayat Allah yang terdapat pada diri manusia, alam semesta dan berupa ayat-ayat al-Quran. Kenapa kita perlu membaca? Agar hidup di dunia semakin bijaksana. Cara membaca masing-masing ayat itu berbeda-beda. Namun sarananya sama. Yaitu Akal, hati dan indra. Dibantu oleh berbagai instrument buatan manusia. Setiap sarana itu ada cara-cara mempergunakannya. Ada kaidah-kaidahnya. Secara garis besar, tujuan iqro adalah memaksimalkan potensi diri manusia dengan segala aspek dan entitasnya untuk hidup lebih bijaksana dalam kerangka mengabdi kepada Allah dan memakmurkan peradabannya.

Manusia bisa sampai kepada posisi yang demikian itu dengan menggunakan sarana kehidupan, sarana peradaban, dan sarana khusus berupa ibadah. Sarana kehidupan adalah batas-batas takdir yang sampai kepada dirinya. Apakahi ia ditakdirkan di tengah keluarga miskin atau kaya, di negeri Barat atau Timur, sempurna atau cacat dirinya. Berbakat atau tidak. Dalam kelapangan atau dalam kesempitan. Berumah tangga atau belum. Sarana peradaban adalah apa-apa yang lumrah dalam kehidupan, seperti keluarga, bahasan, Negara, komunkasi, sekolah, tempat kerja, perkembangan zaman, teknologi. Sahabat, guru, forum, grup, kursus. Sarana khusus berupa ibadah adalah realitas aturan syariat yang dia jalankan dalam kehidupannya. Apakah syariatnya ia berupa ajaran yang lurus dan lengkap ataukan ajaran yang menyimpang dan sangat sempit. Juga apakah dirinya termasuk orang yang taat atukah orang yang tidak ambil peran apa-apa. Berilmukah dirinya atas agamanya atau bodoh.

Metodologi berbicara tentang cara-cara terbaik dalam membaca dan menyiapkan alat-alatnya itu agar yang dituju dalam iqro itu dapat dengan mudah mengantarkan kita kepadanya. Dengan metodologi Iqro, seseorang yang menempuhnya diharapkan sampai kepada posisi dimana potensi dirinya berkembang, untuk sampai menjadi seseorang yang bijaksana, adil, benar dalam bertindak, berbicara dan bersikap di dalam upaya menjadi hamba Allah dan menjadi pengembang peradaban manusia. Atau dengan kata mudahnya menjadi seseorang yang berakhlak mulia.

Metodologi Iqro menguji banyak ranah entitas dan aspek diri seseorang untuk dikategorikan apakah dia termasuk orang yang berhasil ataukah dia itu belum layak untuk dikatakan berhasil.

Pertama dari aspek dirinya sendiri, tentang akalnya, perkataannya, sikapnya, penampilannya, rencana-rencananya dan catatan kegiatannya. Atau dengan kata lain tentang penguasaan ilmu, kecakapannya dia berpidato atau menulis, agenda masa depannya atau proyeknya, langkah praxis dari teorinya, dan bagaimana ia menyampaikan gagasan-gagasannya. Kedua dari aspek pergaulan dan akhlaknya menurut catatan-catatan yang dibuatnya atau disampaikan pengamat yang bebas. Dengan kata lain, ia harus menunjukkan bukti-bukti keterlibatannya dalam kehidupan nyata akan peran apa yang pernah atau sedang ia perbuat. Sehingga apa yang ia perbuat itu mendukung upaya dirinya mewujudkan apa yang ada dalam pikiran dan sikap hidupnya. Ketiga, penilaian dari orang-orang sekitar yang mengujinya. Sehingga tidak boleh ada satu orang pun yang menilainya bahwa ia cacat atau lemah. Ia harus berusaha keras meyakinkan setiap orang yang memberikannya penilaian , bahwa ia pantas dan telah sesuai kapasitasnya.

Melihat berbagi unsur dan elemen yang terkait dengan metodolog iqro ini, maka di satu sisi memang berat untuk diterapkan, namun di sisi lain, ada suatu jaminan kualitas para penempuh metode iqro sampai kepada sosok yang secara fundamental kuat dan teguh dalam mengemban amanah yang akan diberikan kepadanya.

Garis besar dari sarana metodelogi iqro adalah hati yang bersih dan keimanan kepada Allah. Untuk meraih hati yang bersih dan keimanan kepada Allah memang ada ilmunya. Tapi hati yang bersih dan keimanan kepada Allah juga merupakan sarana bagi upaya mencapai ilmu. Bukan hanya ilmu makrifat, tapi ilmu-ilmu alamiah juga, yaitu dalam kedudukannya sebagai inspirasi dan pemberi arah.

Hati yang bersih dan keimanan kepada Allah juga merupakan sarana untuk mencapai rido dan pahala dari sisi Allah. Dari proposisi ini, dapat ditarik arah penjabaran yang akan semakin nyata, bahwa semua perkara yang tercakup dalam konsep dan amalan iman, semuanya merupakan sarana untuk meraih ilmu. Dan keadaan di mana tatanan hidup sudah diridoi Allah maka hal itu pun menjadi jalan bagi mudahnya turunnya ilmu ke dalam hati manusia.

Dari sini maka kita akan sampai kepada suatu konklusi, bahwa sholat, zakat, sedekah, kurban, haji, dzikir, tilawah al-Quran, bergaul dengan orang sholeh, shaum, dakwah, jihad dan apa pun yang merupakan lingkup syariat seperti meraih yang halal, meninggalkan yang haram, akhlak mulia, dan lain sebaginya, semua itu merupakan sarana ilmu. Sarana-sarana ilmu ini yang bersifat irfani, bukan ilmiah. Meode irfani menegaskan seseorang akan sampai pada beragam ilmu melalui mengamalkan cabang-cabang iman itu.

Dengan metode irfani hati bisa sampai kepada kesimpulan tentang adanya Tuhan, tentang kebenaran wahyu, tanpa menunggu penjelasan yang lengkap sejauh yang dapat dicapai oleh akal. Justru metode ini memberikan penjelasan bagi akal untuk memahami segala sesuatu melalui masukan dari hati. Bukankah akal selama ini terlalu mengandalkan kekuatan hukum-hukum konsistensi dan korespondesial dan fakta-fakta empiris yang diterima indra. Metode irfani memberikan masukan bagi akal dari sisi yang berbeda melalui tangkapan hati, atau intuisi.

Terkait kebenaran dan kesimpulan tentang adanya Tuhan, tentang kebenaran wahyu, yang dapat ditangkap dengan cepat oleh hati, tentunya hal ini bukan berarti ilmu dan penjelasan rasional itu tidak menjadi penting untuk dipahami secara akal fikiran selengkap-lengkapnya.

Penjelasan selengkap-lengkapnya tetap dibutuhkan dan semua penjelasan itu telah tersedia sumbernya dalam kitab-kitab yang ditulis para ulama. Penjelasan tentang siapa Allah, apa itu tauhid, apa itu aqidah Islam, syariat Islam, akhlak Islam, pemikiran-pemikiran inti dalam Islam semuanya sudah tuntas dijelaskan para ulama.

Penjelasan tentang siapa Allah, apa itu tauhid, apa itu aqidah Islam, syariat Islam, akhlak Islam, pemikiran-pemikiran inti dalam Islam semuanya sudah lengkap. Kalau begitu berarti hanya tinggal baca dan mengamalkan. Itu betul. Kita tinggal duduk manis membaca penjelasan para ulama dan mendengarkan uraian mereka tentang rahasia-rahasia agama.

Nanti pada gilirannya siapa yang mumpuni penguasaannya seperti para ulama itu, jadilah dia ulama berikutnya yang menjelaskan agama kepada umat. Siapakah yang mau melakukan semua ini? Orang-orang yang beriman, yang menempuh pendidikan di pondok-pondok pesantren dan lembaga-lembaga pendidikan Islam.

Kalau persoalannya bahwa umat harus faham agama dengan benar dan mumpuni seperti itu, itulah jawabannya, masuk pesantren. Tidak ada masalah di sekitar itu. Sebagaimana yang sedang berlangsung selama ini semejak kemunduran dunia Islam. Yang menjadi masalah adalah bagaimana menerapkan suatu sistem dan apa nama sistem itu sehigga memungkinkan yang ulama-ulama tadi juga sekaligus ilmuwan-ilmuwan sekelas lulusan ITB dalam bidang eksakta.

Atau memungkinkan lulusan-lulusan ITB namun memiliki kapasitas sebagai para ulama yang mengetahui rahasia-rahasia agama, lalu ilmuwan ini menciptakan ilmu-ilmu baru yang didedikasikan untuk memuliakan Islam dalam kehidupan. Dan ini harapan terbesar sehingga kejayaan Islam bisa diraih kembali seperti zaman dahulu ketika Islam menguasai puncak-puncak ilmu, pengetahuan, teknologi sekaligus politik.

*Hakikat Metodologi Iqro*

Kedalaman ilmu agama, loyalitas kepada Islam dan pembelaan terhadap umat merupakan simpul-simpul yang ingin dicapai oleh metodelogi Iqro. Kita mengetahui bahwa lapangan ilmu Islam sama luasnya dengan lapangan kehidupan manusia. Keduanya merupakan lapangan yang berbeda, namun harus disatukan ke dalam harmoni kehidupan di mana syariat berlaku.

Ilmu tentang Islam itu luas, orang yang memahami ilmu Islam, pasti menguasai sebagian ilmu tentang kehidupan. Karena Islam datang untuk membantu manusia menyelesaikan berbagai persoalan hidup. Namun dia tidak akan menguasai ilmu tentang kehidupan manusia secara utuh bila tidak terlibat di dalam kehidupan secara nyata dalam menuntaskan berbagai masalahnya.

Ilmu kehidupan bisa dikuasai oleh siapa pun, termasuk oleh orang yang tidak beriman. Namun perlu ditegaskan, cara yang dipergunakan dalam menuntaskan persoalan kehidupan dengan ilmu kehidupan yang terlepas dari Islam, akan mengakibatkan kebuntuan masalah, kepincangan dan salah arah. Bahkan tidak menutup kemungkinan menimbulkan kerugian dan kehancuran.

Banyak pihak yang merasa akan mampu menyelesaikan masalah apa pun yang dihadapinya tanpa bantuan syariat, karena ia melihat ilmu yang ada dalam genggamannya mampu menyelesaikan semua persoalan. Namun faktanya tidak demikian. Dari waktu ke waktu masalah semakin bertambah. Dan kehancuran semakin nyata. Kezhaliman semakin vulgar dipertontonkan.

Ciri khas metodologi Iqro adalah mengembangkan ilmu untuk memperkuat kedudukan agama dalam kehidupan. Ketika fungsi-fungsi kehidupan sejak awal sudah diatur oleh syariat. Sehingga semakin mudah dan jelas kontribusi agama itu setelah mendapat tambahan kekuatan dari ilmu-ilmu hasil penemuan itu. Jadi ilmu tidak boleh secara langsung mengatur urusan hidup manusia. Ia harus melalui saringan syariat.

Agama memberikan lisensi bagi berlakunya ilmu-ilmu itu untuk diterapkan ke dalam urusan sosial manusia. Dari sini tampaknya agama mengekang perkembangan ilmu. itu tidak benar. Bahkan agama itu memperluas cakupan dan garapan ilmu, lebih dari capaian yang di dapat ilmu ketika agama dibuang dari proses pembentukan ilmu.

Logika sederhananya adalah, agama mencakup realitas yang tidak bisa dijangkau oleh akal dan indra manusia, tapi bisa dibenarkan oleh intuisi dan hati nurani akan kebenaran dan keberadaannya. Jadi wilayah kajiannya tidak hanya sebatas apa yang hanya bisa diteliti oleh akal dan indra semata. Hal ini secara logika memberikan suatu gambaran bahwa agama itu memperluas wilayah kajian ilmu, bukan mempersempitnya.

Metodelogi Iqro memiliki komitmen untuk menghadirkan Ilmu agama di dalam kehidupan, dan membawa ilmu kehidupan kedalam kajian agama. Metode ini terbukti telah menghadirkan agama sebagai solusi bagi kehidupan dan mengantarkan manusia pada kegemilangannnya dalam semua aspek jiwa dan kehidupannya. Juga menghadirkan jiwa-jiwa yang agung yang mau mengorbankan jiwa fikirannya untuk agama. Sehingga agama itu menjadi kekuatan yang nyata dalam membangun manusia dengan segenap potesinya menuju keluhuran martabat.

Kita bisa membuktikan bahwa Tauhid yang merupakan landasan sekaligus arah yang dituju dalam pengembangan ilmu dan kehidupan, merupakan kekuatan yang menjamin kehidupan yang baik. Sedangkan kenyataan-kenyataan yang rusak adalah akibat dari rusaknya tauhid dalam kehidupan manusia. Akibat manusia meninggalkan tauhid. Akibat mereka tidak memperhatikan al-Quran dan mengabaikan kewajibannya kepada Tuhannya sehingga mengabaikan apa yang telah diwajibkan Tuhan kepada mereka dalam banyak hal.

Metode Iqro merupakan jalan menuju tauhid itu. Tauhid tidak mungkin dipahami tanpa menempuh metode iqro yang di dalamnya mengharuskan menjadikan al-Quran sebagai sentral ilmu, dan penghambaan kepada Allah sebagai hal yang dituju. Ketika metode Iqro diterapkan maka para pemikir otomatis bergerak ke arah penelitian terhadap al-Quran dan ilmu agama. Dan bergerak untuk menjadi hamba-hamba Allah yang secara penuh kesadaran mau membela agama sampai agama ini tegak di tengah masyarakat manusia.

Dari paparan di bagian terdahulu jelas dan terang bahwa metodologi Iqro tidak hanya berbicara tentang bagaimana meraih ilmu kategorikal, tapi juga membahas bagaimana meraih keimanan dan ketakwaan yang matang. Maka fakta-fakta di lapangan yang berhasil mengantarkan manusia kepada pengetahuan dan keimanan, merupakan lapangan kajian metodologi iqro dan mengakuinya sebagai suatu metode iqro.

Dengan demikian pada gilirannya saat seseorang membuat karya tulis dengan salah satu metodologi iqro, dituntut tidak hanya menunjukkan keluasan ilmunya secara sistematis, tapi juga menunjukkan aktifitasnya yang bermuatan keimanan dan ketakwaan dirinya. Indikator dari keimanan ketakwaan itu adalah loyalitas dan pembelaan dirinya terhadap Islam dan umatnya. Salah satu dari aktifitas yang dimaksud adalah dakwah.

Berbicara dakwah, berarti berbicara sistem komunikasi yang dimaksudkan untuk mengajak manusia kepada keimanan dan penghambaan kepada Allah melalui seruan tauhid.

Hati sebagai sarana ilmu, berguna untuk membentuk pribadi ilmuwan. Itulah intinya. Pada gilirannya hati yang berkarakter keilmuwan, memudahkan ilmuwan untuk mematahkan argument sesat, yang harus segera dikemukakan di saat itu.

Agama telah memberikan dasar dan pijakan untuk mematahkan pemikiran orang-orang sesat, namun kandungan pemikiran sesat itu sangat luas ragamnya, kadang berpijak kepada perkembangan zaman dan peritiwa kontempoer. Di saat itu dibutuhkan daya berfikir yang intuitif untuk membuat bantahannya, yang sifatnya spontan, tanpa melalui analisa penalaran akal yang rumit. Namun langsung menghujam dan mematahkan argumen lawan yang sesat itu.

Hidup seseorang yang telah sampai kepada makrifat, maka akan memiliki hikmah dalam kehidupannya. Ia akan menjadi seseorang yang bijaksana dan cerdas dalam melihat dan meangkap isyarat-isyarat alam yang paling lembut dan bersifat rahasia. Dia akan mampu menjadi seseorang yang menginspirasi banyak orang untuk hidup yang lebih disiplin dalam meraih kebaikan.

Iman memiliki kekuatan metodologi bagi orang-orang yang memiliki oreintasi ilmu dan hikmah. Bagi setiap orang yang memiliki iman dan hatinya bersih, ilmu dan hikmah bisa diraih setiap saat. Dan akan semakin efektif apabila orang-orang itu beroreintasi yang jelas di dalam keilmuan dan pemikiran. Karena kenyataannya tidak setiap orang memiliki perhatian yang mendalam terhadap bidang pemikiran.

Mengingat arah hati dalam kaitannya dengan ilmu makrifat semacam itu, maka diperlukan berbagai syarat agar hati mampu mencapai ilmu makrifat. Kata kunci yang bisa menggambarkan metode hati dalam meraih ilmu adalah irfani. Hanya saja akan semakin mudah dan jelas dipahami ketika disertai dengan sifat keimanan dan penghambaan kepada Allah.

Metodelogi Iqro mengantarkan para pemikir kepada pengetahuan dan keimanan sekaligus. Ilmu mensyaratkan adanya iman; dan iman mensyaratkan adanya ilmu. Tidak semua ilmu berbicara tentang iman, tapi ilmu itu harus berangkat dari nilai keimanan dan menuju keimanan. Ilmu itu harus ada dalam suatu kepentingan iman. Di dalam tulisan di atas dijelaskan bahwa ilmu dikembangkan dalam kerangka kepentingan agama. Nanti agamalah yang memberikan lisensi ilmu itu diterapkan dalam kehidupan umat Islam.

Iman perlu mendapat dukungan ilmunya pertama-tama. Iman itu bagaimana akan benar dan lurus kalau tidak didasarkan kepada ilmunya. Namun iman agar bisa berkembang, bertahan dan menginsipirasi serta mendorong jiwa untuk berkorban demi agama, perlu mendapat sokongan dari unsur kehidupan lain selain ilmu. Bisa saja ilmu terkait iman cukup mendalam, namun imannya sendiri lemah. Hal ini bisa terjadi karena iman bisa melemah oleh sebab lain, semisal melemahya ibadah, putus asa kepada Allah dan kegemaran pada maksiat.

Oleh sebab itu metodologi Iqro mensyaratkan para penempuhnya untuk meninggalkan kemaksiatan dan kelalaian secara mutlak. Karena tugas yang menanti mereka selanjutnya justru untuk menghentikan manusia melakukan kemaksiatan dan mengarahkannya ke jurusan yang suci bersih yaitu penghambaan yang utuh kepada Allah Swt.
*Ontologi dalam Metode Iqro*

Obyek pengamatan dan penelitian dalam lingkup metodologi Iqro itu banyak sekali. Bukan hanya sekedar entitias berupa realitas hakiki. Tapi juga berupa entitas berupa nilai, kecerdasan dan sumber ilmu, yang selama ini tidak dimasukkan ke dalam ontologi. Jadi Iqro mensyaratkan seorang pemikir, tidak hanya mendalam pengetahuannya tentang bidang-bidang ontologi secara umum, tapi juga mendalam pengetahuannya tentang nilai, kecerdasan dan sumber-sumber ilmu.

Bidang-bidang ontologi mencakup tiga bidang besar. Pertama berupa realitas hakiki yang disepakati secara umum. Yaitu manusia, alam semesta, Tuhan, Kehidupan setelah mati. Kedua realitas hakiki yang diakui secara khusus, yaitu Wahyu, Tauhid, Iman. Ketiga realitas berupa sarana dan arah ilmu, yaitu nilai, kecerdasan dan sumber ilmu.

Akal manusia tidak bisa memastikan apakah kehidupan setelah mati itu ada atau tidak ada. Tidak bisa sampai pada kesimpulan bahwa hidup setelah mati itu ada, tapi juga tidak bisa membantahnya. Jika alat untuk membantunya ke arah kesimpulan itu hanya mengandalkan pengalaman dan nalar. Tanpa ditunjang oleh wahyu dan iman. Dalam posisi tanpa wahyu dan iman, maka kehidupan setelah mati itu merupakan sesuatu yang abu-abu. Tidak ada hal yang bisa dibicarakan.

Ketika wahyu dan iman diakui sebagai suatu ontologi di dalam khazanah hidup manusia, maka kehidupan setelah mati itu menjadi suatu hal yang nyata, real, hakiki. Sekali pun tidak ada seorang pun yang pernah pergi ke alam sana, lalu ia bercerita tentang segala sesuatunya. Sama halnya dengan keberadaan Tuhan, Ia ada, sekali pun tak seorang pun pernah melihatNya. Ontologi ini hanya berlaku bagi orang yang beriman. Hal ini seumpama bahwa ilmu hanya berlaku bagi orang yang berakal.

Bagi orang yang tidak berakal, ontologi berupa ilmu itu menjadi tidak ada. Paling tidak bersifat samar, misteri, tak teranalisa dalam jiwanya. Dengan kata lain, ia tidak bisa memahami secara jelas tentang Tuhan, manusia, alam semesta. Ia tidak bisa berkata apa-apa tentang semua itu. Terhadap dirinya pun ia tidak memahami siapa dirinya. Hal itu terjadi pada bayi, orang yang tidur dan orang gila. Atau pada makhluk yang tidak berakal seperti bebatuan, pohon dan binatang. Benda-benda, tetumbuhan, dan binatang boleh jadi punya jalan pengetahuan dan arah kehidupannya, sehingga mereka bisa terus ada, kita tidak bisa memahami bahasa mereka.

Permasalahannya adalah, di manakah kita menempatkan diri. Kita menempatkan diri sebagai manusia yang berakal fikiran. Tapi tak cukup. Kita juga menempatkan diri sebagai orang yang beriman.

Metodologi Iqro berlaku bagi orang yang memiliki syarat berupa iman. Itulah sebabnya, ontologi berupa wahyu, tauhid, iman, dibawa juga. Karena kalau tidak ada bahasan dalam ilmu, pemikiran dan pengetahuan tentang ketiga hal ini, maka sama saja dengan tidak beriman.

Perupampamaan keadaan di mana wahyu, tauhid dan iman ketika tidak dibahas atau dibuang di dalam khazanah pengetahuan dan ilmu di tengah segolongan manusia, adalah seperti perihal tidak adanya pembahasan tentang teknologi, akhlak, industri oleh binatang, benda-benda dan pepohonan atau pada bayi, orang gila dan orang yang tidur. Secara psikologi, orang-orang yang hidupnya berlepas diri dari wahyu, tauhid dan iman, memang seperti orang-orang gila atau kerasukan syetan.

Jadi akuilah bahwa wahyu itu real dan apa yang terdapat di dalamnya adalah benar. Itulah ruang lingkup ontologi dalam metodologi Iqro.

Al-Quran dalam kedudukanya sebagai ontologi, ia adalah obyek pengetahuan, lapangan pemikiran, atau bahan kajian. Al-Quran merupakan suatu realitas, suatu fakta. Suatu entitas yang dapat diamati secara rasional, empiris dan intuitif.

Sumber-sumber pengetahuan yang menjelaskan al-Quran itu, salah satunya al-Quran itu sendiri. Al-Quran berbicara tentang dirinya. Disamping itu, Hadits dan sejarah berbicara tentang al-Quran. Ditambah dengan kajian kontemporer yang membedah keistimewaan al-Quran. Sumber ilmu dan pengetahuan tentang al-Quran itu menyatakan bahwa al-Quran adalah benar dan berguna bagi kehidupan manusia.

Dari al-Quran, dapat kita ambil beberapa informasi penting tentang al-Quran. Diantaranya, Al-Quran diturunkan dalam bahasa Arab. Diturunkan dari Dia yang menciptakan alam semesta dan manusia. Al-Quran juga berbicara tentang Dia yag menurunkannya. Yaitu Allah, pencipta dan tempat kembali manusia. Namun yang utama adalah Al-Quran itu hidayah. Hidayah itu artinya petunjuk hidup bagi manusia untuk hidup bahagia di dunia dan di akhirat kelak.

Bila kita melihat keberadaan realitas dari sisi fungsinya, dapatlah kita rinci bahwa setiap yang ada pasti memiliki guna. Tujuan dari pemikiran dan kajian adalah menggali fungsi dari segala realitas agar lebih jelas dan pragmatis. Untuk menjawab berbagai tantangan kehidupan yang dihadapi manusia, sehingga tidak keluar dari koridor sebagai makhluk yang berakal dan makhluk yang beribadah.

Rincian itu adalah sebagai berikut. Al-Quran berfungsi sebagai hidayah. Manusia berfungsi sebagai khalifah di muka bumi. Alam semesta berfungsi sebagai pelayan hidup manusia. Tuhan berfungsi sebagai tempat manusia bergantung. Hari akhirat berfungsi sebagai dibalasnya semua amalan manusia.

Kajian-kajian terhadap realitas-realitas tadi, jika dilakukan secara metodologis, maka dipastikan dapat mengantarkan dan membekali setiap manusia untuk hidup dengan penuh sikap bijaksana.

Ketika al-Quran menjadi obyek kajian, sebagaimana yang lainnya bisa dijadikan obyek kajian, maka al-Quran itu menjadi bertambah jelas dan terang benderang fungsi, manfaat, gunanya bagi kehidupan manusia sebagai hidayah. Sehingga mengantarkan pelakunya semakin mudah kepada sikap hidup sebagai orang yang diberikan petunjuk oleh al-Quran.

Di dalam metodologi iqro, al-Quran memiliki dua kedudukan, dipandang sebagai ontologi dan epistemologi. Sebagai ontologi, diajukan pertanyaan apa itu al-Quran dan apa gunanya dalam kehidupan manusia. Sebagai epistemologi, diajukan pertanyaan, apa yang diinformasikan al-Quran tentang segenap ontologi (realitas hakiki) dan epistemologi (sumber ilmu dan informasi).

Secara epistemologis, al-Quran merupakan sumber utama ilmu sekaligus barometer berbagai pemikiran yang muncul di tengah manusia. Jadi penjelasan tentang hakikat segala realitas itu hanya dapat ditemukan di dalam al-Quran. Dengan demikian, di dalam metodologi iqro, al-Quran itulah yang pertama-tama dijadikan rujukan dan timbangan dalam memahami apa pun yang ada di dunia.

Al-Quran sebagai ontologi, di lapangan praxisnya, diajukan satu pertanyaan kepada para pemikir. Apa manfaat yang telah diberikan dan ditunjukkan sejarah oleh al-Quran di sepanjang keberadaannya di muka bumi, sejak diturunkan pertama kali di masa Nabi Muhammad Saw hingga hari ini. Dan bagaimana gambaran manusia, bagaimana mereka memperlakukannya, dan bagaimana mereka memahaminya di sepanjang sejarah itu, hidup bersama al-Quran.

Kedudukan al-Quran sebagai ontologi dipandang berkonstelasi dengan realitas konsep Tauhid dan Iman. Sebagai suatu bidang bahasan yang memiliki hubungan erat dengan realitas berupa Tuhan, alam semesta, manusia, dan hari berbangkit. Al-Quran merupakan petunjuk hidup bagi manusia untuk bertauhid, beriman, beribadah, memanfaatkan alam dan bersikap yang baik terhadap sesama.

Al-Quran merupakan sentral ilmu, artinya ia istimewa. Memahami al-Quran dari sisi realitasnya merupakan pembuka jalan bagi upaya penguatan aspek epistemologis dalam metodologi Iqro.

Akhlak mulia atau tatakrama merupakan salah satu ontologi di dalam metodologi Iqro. Dalam kedudukannya sebagai ontologi, akhlak mulia merupakan realitas dan entitas kajian. Karena itu diajukan kepada para pemikir pertanyaan sebagai berikut. Apa fungsi dan guna dari akhlak mulia di dalam hidup manusia. Dan apa yang terjadi saat manusia hidup dalam keadaan mengabaikannya. Akhlak mulia bukan sumber ilmu, tapi tujuan dari pada ilmu.

Akhlak mulia adalah arah yang dituju kenapa kita berilmu dan berfikir. Sehingga di dalam metode iqro ciri khasnya jelas nyata. Sumber utama ilmu apa? Al-Quran. Tujuan utama ilmu apa? Akhlak mulia. Wujud nyata dari ilmu apa? Wujud nyata dari ilmu bukanlah hafalan, tapi berupa amal dan iman. Jadi tanda bahwa seseorang itu berilmu dalam ketegori normatif adalah bahwa beramal dan beriman.

Akhlak mulia hadir dalam kehidupan manusia, ketika manusia mendambakan suatu kehidupan yang maju, damai, sejahtera, bahagia, tenang, nyaman dan aman. Memang ada syarat lain untuk mewujudkan semua itu. Namun akhlak mulia memegang kunci utamanya. Jika bukan akhlak mulia yang menjadi arah dari suatu kegiatan diraihnya ilmu, atau gagasan dan ide-ide, maka yang akan lahir adalah suatu keadaan yang bertentangan dengan maksud adanya ilmu.

Ilmu tidak akan memberikan kebahagiaan kecuali sedikit. Yang memberikan kebahagiaan itu adalah akhlak mulia. Akhlak mulia menyatukan antara ilmu, amal, iman menjadi suatu motivasi yang kuat untuk mewujudkan suatu kehidupan peradaban manusia yang benar-benar bijaksana dan lurus. Tanpa akhlak mulia, maka ilmu, iman dan amal menjadi tercerai berai keadaanya. Masing-masing berjalan hanya memikirkan dirinya sendiri.

Ilmu diuji dengan diajukan pertanyaan-pertanyaan. Jika pertanyaan-pertanyaan bisa dijawab, maka seseorang dikatakan berpengetahuan. Adapun akhlak diuji bukan dengan pertanyaan, tapi dengan kenyataan. Yaitu kenyataan yang dihadapi dalam kehidupan real. Jika ia bersikap sebagaimana seharusnya dalam menghadapi kenyataan, maka ia berakhlak. Sebagaimana seharusnya dalam lingkup moral dan hati nurani.

Di dalam metode iqro, puncak akhlak mulia adalah bertauhid kepada Allah. Bertauhid itu artinya meyakini Allah sebagai satu-satunya yang berhak disembah dan ia menyerahkan diri kepada Allah sepenuhnya dengan mengikuti Islam. Metode iqro sebagai jalan menuju ilmu, mengharuskan adanya suatu pembahasan yang luas dan mendalam tentang tauhid dan cara beribadah yang benar kepada Allah. Kemudikan ilmu dan wuju kehidupan lainnya sebagai saran untuk memperkokoh akhlak ini.

Bagaimana gambaran kehidupan orang-orang yang berakhlak mulia dan bertauhid kepada Allah? Itulah bidang kajian ontologi di dalam metodologi iqro. Bahasan mendalam dan terperinci tentang akhlak mulia dan bertauhid ini menjadi suatu gambaran dan sekaligus motivasi bagi pemikir kenapa suatu ilmu mesti dikembangkan.

Bagi orang-orang yang beriman, bertauhid kepada Allah merupakan landasan sekaligus arah dari pengembangan ilmu dan pengembangan kehidupan manusia.

Sedikit menjawab pertanyaan, apa akibatnya bila manusia hidup tanpa akhlak mulia dan tauhid, padahal mereka menguasai pengetahuan teknis? Jawabannya adalah suatu kehancuran fatal. Bukannya suatu kemajuan yang mereka raih, tapi suatu kemunduran, kebodohan, bahkan kepunahan. Negeri mereka hancur. Kekuasaan mereka sirna. Nama baik mereka pupus dalam sejarah. Nama mereka ada dalam sejarah, tapi dengan sebutan yang buruk.

Sebab itu, akhlak mulia sebagai arah dalam metodologi iqro, harus dipahami dengan benar. Dan harus menyatu dalam kenyataan diri dalam kehidupan sehari-hari juga merentang jauh hingga akhir cita-cita kehidupan.

Metolodologi Iqro memiliki kepentingan untuk membahas cara berfikir manusia, karena berfikir inilah yang merupakan esensi dari metodologi iqro.

Berfikir sebagai ontologi, diajukan pertanyaan bagaimana berfikir dapat mengubah kehidupan suatu kaum menjadi lebih maju. Sarana apa yang harus dipersiapkan agar lahir orang-orang yang mau berfikir cemerlang bagi kehidupan manusia. Bagaimana gambaran metode befikir yang sudah ada mampu mengantarkan manusia kepada penemuan-penemuan penting terkait ilmu pengetahuan.

Berfikir itu sarana bagi metodologi Iqro. Berfikir tidak hanya melahirkan ilmu. Tapi juga menimbulkan adanya keyakinan, insipirasi, semangat, sudut pandang baru. Pebisnis yang handal tidaklah hanya mengandalkan ilmu, tapi juga kegiatan tafakur, litbang, menggagas. Demikian pula para pemimpin dan para pemikir pada umumnya.

Lahirnya ilmu-ilmu baru tidak lepas dari adanya kegiatan berfikir yang ditunjang oleh serangkaian penelitian, observasi, kajian, diskusi dan pendidikan. Sehingga dibutuhkan metodologi untuk melahirkan ilmu-ilmu baru itu. Ilmu-ilmu yang baru itu menjadi jembatan antara metodologi iqro dengan sikap hidup utama. Ilmu-ilmu baru selalu lahir dan dibutuhkan dalam kehidupan manusia. Untuk menjawab berbagai permasalahan yang dihadapi atau keinginan yang timbul di diri manusia.

Setidaknya ada tiga konsep yang akan selalu terbawa dalam metodologi keilmuan, yaitu berfikir, ilmu dan mengajar. Jadi metodelogi hanya mungkin bila ketiganya ada. Ada akal yang cerdas atau aktif untuk berfikir, ada ilmu yang sedang dikaji dan dibahas, ada kegiatan belajar mengajar sehingga terjadi transfer ilmu dan transfer semangat berfikir. Setiap konsep ini masing-masing membawa syaratya tersendiri.

Sebagai misal, bagaimana agar berfikir itu ditujang oleh kualitas otak yang cerdas dan sehat. Ini terkait dengan makanan. Bahwa makanan itu harus mengandung gizi seimbang. Bagaimana dengan kadar ilmu yag harus dipelajari. Ini terkait dengan kematangan usia manusia. Bagaimana agar proses mengajar itu efektif, ini menyaratkan adanya guru atau ilmuwan senior yang handal. Ditunjang pula oleh adanya institusi pendidikan, keputusan politik, tersedianya dana khsusus untuk pendidikan dan lain sebagainya. Bahasan ini bukan lagi wilayah kajian metodologi.

Sekarang terang benderang bahwa wilayah kerja metode Iqro adalah berfikir. Namun berfikir yang jelas pijakan dan arah yang hendak dituju. Kenapa dalam berfikir itu harus jelas dahulu pijakan dan arahnya? Karena di dunia ini tidak ada cara dan corak berfikir satu pun yang tidak memiliki pijakan awal dan arah yang hendak dicapai. Metode llmiah misalnya, memiliki pijakan awal dan arah. Justru karena dikatakan metodologi, disyaratkan adanya kedua unsur ini.

Pijakan dan arah inilah yang membedakan antara metodologi iqro dengan metodologi keilmuan lain. Syarat awal dan tujuan yang hendak dicapai dalam pemikiran yang ada pada Iqro berbeda dengan metode ilmiah.

Metodologi Iqro mensyaratkan adanya keimanan kepada Allah dan keimanan kepada wahyu. Di dalamnya terhimpun dua keyakinan, bahwa sumber ilmu adalah Allah, dan pengakuan bahwa Allah itulah sumber segala sumber dan tempat kembali semua urusan. Itulah syarat awal untuk menempuh metodologi Iqro. Berfikir dan keimanan merupakan sarana mutlak di dalam metodologi Iqro.

Sedangkan arah yang hendak dicapai dalam metodologi iqro adalah menjadikan para penempuhnya menjadi hamba-hamba yang rido kepada takdirNya. Metodologi Iqro bertujuan mencetak manusia-manusia yang rido kepada Tuhannya.

Dengan demikian metodologi iqro itu memuat serangkaian dan sekumpulan metode-metode berfikir yang bersifat ilahiah, qurani, ukhrowi, tanpa meninggalkan ciri duniawi, manusiawi dan alamiah. Kadang juga berisi ambisi dan kecintaan kepada kekayaan, kejayaan, kegemilangan, kesejahteraan dan kedamaian. Hanya saja ambisi ini dipatok harus selaras dan berdasar kepada syariat Islam. Boleh dikatakan bahwa metodologi iqro ini merupakan esensi dari cara berfikirnya seorang mukmin. Yaitu orang-orang yang rido kepada Islam sebagai agamanya.

Oleh sebab itu pula metodologi Iqro mencakup bahasan tentang cara-cara tercepat untuk memahami al-Quran sebagai hidayah, memahami Tauhid, memahami Iman, memahami manusia, alam semesta dan semua realitas yang ada secara hakiki. Jadi otomatis berfikir dan keimanan merupakan sarana mutlak. Kebodohan dan kemalasan untuk berfikir tidak memungkinkan di dalam metode iqro. Demikian pula kegemaran berbuat maksiat tidak memungkinkan seseorang untuk menempuh metodologi Iqro.

Ikhlasnya hati dan cerdasnya otak merupakan dua sarana utama dalam metodelogi Iqro. Bersihnya hati ditempuh dengan tiga cara, yaitu dibersihkan dari dosa. Diisi oleh keimanan dan ketawdluan. Dan digantungkan kepada Allah melalui ibadah dan dzikir. Sedangkan cerdasnya otak dibersihkan dari makanan beracun dan rendah gizi, diberi nutrisi yang cukup dan selalu dilatih untuk selalu berfikir. Otak harus distimulus untuk selalu bertanya dan mencari jawaban.

Hati yang bersih merupakan kekuatan untuk melihat, mendengar dan merasakan tanda-tanda kebesaran Allah. Sedangkan otak yang cerdas merupakan kekuatan untuk memerinci, mensistematiskan, menganalisa dan mensintesakan ayat-ayat Allah itu menjadi rumusan konsep yang berdaya guna bagi kehidupan manusia.

Untuk mewujudkan hati yang ikhlas dan otak yang cerdas, dibutuhkan kontribusi diri, keluarga dan politik. Seorang diri harus mampu merawat dirinya agar selalu sehat dan kuat. Keluarga tempat di mana diri berada, harus menjadi tempat yang nyaman, dan penuh kasih sayang dengan pondasi ibadah yang lekat. Politik yang menaungi keluarga-keluarga dan entitas sosial lainnya, harus memiliki kemauan untuk menjunjung keimanan secara nyata.

Kekuatan hati yang bersih bersumber pada banyak hal. Namun yang paling utama adalah mengenai obat dan kebiasaan. Obat bagi hati penting. Karena hati tak selamanya sehat. Akibat dari perbuatan salah atau dosa. Obat hati itu pada dasarnya adalah ibadah. Sedangkan kebiasaan yang dapat membuat hati tetap sehat adalah dzikir. Baik dzikir kepada Allah, dzikir dalam bentuk memahami al-Quran, atau mengingat mati. Semua ini ditempuh dengan diiringi sikap kehati-hatian terhadap beragam penyakit-penyakit yang dapat mengotori dan melemahkan hati.

Saat hati itu benar-benar ikhlas, maka ketajamannya dalam merengkuh ilmu, isyarat, tanda, yang ada di sekeliling kehidupan akan melampoi batas-batas capaian akal fikiran. Lebih dari itu, capaian kebahagiaan yang dapat dikejar oleh hati melampoi capaian kebahagiaan yang dapat disajikan oleh akal fikiran. Akal fikiran bisa sampai kepada ditemukannya Android, sedangkan hati yang bersih bisa sampai kepada ditemukannya adanya kekuasaan Allah di dalam Android.

Jika akal dan hati merupakan syarat bagi metodologi Iqro, maka satu-satunya konsepsi system kehidupan yang menunjang adalah diri mukmin, keluarga Islam, dan politik Islam. Bila system ini berlaku di tiga ranah kehidupan ini, maka metologi iqro akan menemukan wujudnya yang paling realistis. Dan ini tentunya pernah ada dalam sejarah manusia. Yaitu di kala kejayaan Islam masih ada.

Hati yang bersih selalu merindukan keagungan akhlak. Sedangkan fikiran yang cerdas selalu merindukan bukti-bukti kebenaran. Hati yang bersih selalu berada terlebih dahulu dalam kebenaran. Sedangkan akal yang cerdas selalu mempersiapkan segala sesuatunya menuju kebenaran itu. Hati yang bersih memandang bahwa akal itu merupakan jembatan untuk menyampaikan kebenaran kepada orang-orang yang belum memiliki iman. Sedangkan akal melihat hati itu sebagai tuannya yang akan membawanya ke mana pun pergi.

Bagaimana hati yang bersih bekerja dalam ranah metodologi Iqro. Kenapa ia menjadi syarat dalam metode iqro. Hati yang bersih di dalam metodologi iqro seumpama dengan syarat adanya bensin di dalam tangki kendaraan supaya bisa jalan. Tanpa adanya hati yang ikhlas dan bersih maka, metodologi iqro tidak akan berjalan sesuai maksud.

Oleh karena itu, di dalam metodelogi iqro dibutuhkan suatu system khusus yang memungkinkan bahwa para pemikir dan pencari ilmu memiliki hati yang ikhlas melalui beberapa indikator yang dapat dijelaskan dan diamati atau dirasakan adanya secara rasional, empiris dan intuitif. Sebagai contoh, indikator hati yang ikhlas adalah dikerjakannya sholat di awal waktu secara berjamaah. Itu bisa jadi bukti keikhlasan. Pastinya kita tidak tahu, karena hati itu rahasia.

Kenapa yang rahasia mesti tetap diungkit? Karena walau rahasia, hati itu selalu tampak ciri-cirinya pada ucapan, tingkah laku, wajah, komitmen, orientasi, dan catatan kegiatan. Dengan metode Iqro yang mensyaratkan adanya hati yang ikhlas, maka para pencari ilmu dan pemikir akan menjauhi kelakuan-kelakuan kotor, maksiat, dosa, lalai, dan sifat-sifat buruk. Yang selama ini tidak pernah diminta oleh metodologi keilmuan lainnya.

Kita lanjutkan bahasan, kita akan membahas tentang Allah, Tauhid, Iman dan Hari Berbangkit. Sebagaimana telah disebutkan di bagian sebelumya, bahwa keimanan kepada Allah dan al-Quran merupakan syarat bagi para penempuh metodologi Iqro. Syarat ini seumpama dengan syarat yang diminta oleh metodelogi ilmu lainnya, yang mensyaratkan percaya kepada kekuatan akal dan indra. Tema-tema ini merupakan ontologi yang penting dalam Iqro.

Seorang pemikir pertama-tama ia harus yakin kepada Allah. Yakin kepada Allah itu kalau kita rinci, adalah yakin bahwa Allah ada, Allah satu-satunya yang berhak disembah. Allah pencipta alam semesta dan manusia. Sekaligus tempat kembali manusia. Keyakinan kepada Allah yang dimaksud perlu ditunjang oleh ilmu dan amal. Yakni ilmu tauhid dan amal Islam. Orang mungkin mengenal Allah, tapi tidak dengan tauhid. Orang mugkin juga mengenal Allah tanpa mengamalkan Islam.

Sarana yang memungkinkan manusia berilmu tauhid dan beramal Islam, adalah iman. Iman adalah sebuah konsep keyakinan yang membutuhkan pengakuan kebenaran atas dakwah yang dibawa para nabi, yang membawa wahyu, yang mewajibkan dirinya untuk tunduk kepada perintah agama dan menegakkan agama itu dalam kehidupannya. Sehingga yakin saja tidak mencukupi. Tapi perlu bukti berupa loyalitas kepada agama.

Iman itu merupakan keyakinan atas akidah Islam dan menjadikannya sebagai akar dalam menata kehidupan. Di mana dalam menata kehidupannya itu seseorang menyandarkan kepada akidah sekaligus kepada syariat Islam. Ketika seseorang sudah dalam keadaan menyandarkan semua urusannya kepada akidah dan syariat Islam, persoalan hidup tidak otomatis berhenti dan selesai.

Selalu ada permasalahan-permasalahan yang timbul dalam kehidupan. Itulah sebabnya kemudian, fakta sejarah di dunia Islam memunculkan berbagai ilmu-ilmu baru yang sebelumnya tidak begitu sistematis dan real. Untuk apa ilmu-ilmu baru itu dihadirkan? Untuk menjawab berbagai persoalan dan untuk mempermudah beragam urusan.

Permasalahan kita di hari ini adalah, konsep iqro ini telah hilang dari sebagian besar para pemikir. Selama ini iqro dikonsepsikan sebagai suatu aktifitas membaca. Padahal Iqro merupakan suatu metode keilmuan yang handal. Kumpulan metodenya terdapat dalam banyak ayat-ayat al-Quran dan juga terbentang pada jalan kehidupan Nabi Muhammad Saw dan para sahabatnya, hingga umatnya sampai hari ini pada sebagian para ulama dan pemikirnya.

Hari berbangkit adalah ujung penantian totalitas dari kehidupan manusia yang beriman. Pandangan hidup orang yang beriman, hidup adalah perjalanan singkat menuju kehidupan yang . Kehidupan yang itu adalah di akhirat. Bagaimana rupa dan sifat kehidupan di akhirat, tergantung kepada pilihan jalan hidup di dunia ini.

Pemahaman dan keyakian atas kehidupan akhirat ini penting sampai pada titik di mana akhirat itu menjadi orientasi utama jiwa dan gerak hidup. Sehingga semakin memperkokoh keberadaan tauhid di dalam hati dan menguatkan semangat ibadah, serta semangat pembelaan atas Islam. Apa sebabnya? Modal untuk sukses di akhirat kelak itu, adalah tauhid, ibadah dan pembelaan kepada Islam dan umatnya.

Ontologi tentang Allah, tauhid, iman hari berbangkit ini merupakan pondasi bagi upaya pengembangan ilmu-ilmu. Sehingga ilmu itu tidak terlepas dari tujuan utamaya yaitu mengantarka manusia kepada sikap yang lurus, bijaksana, adil, takut kepada Allah, bersih hati, dan peduli atas kehidupan manusia.

Beberapa bangsa di dunia ini, ada yang mampu menciptakan suatu kehidupan yang secara kasat mata, sangat teratur, disiplin, indah, gemerlap, mengudang decak kagum. Namun di saat yang sama sangat biadab kepada sesama manusia lain. Masyarakatnya rusak secara moral. Tiap hari terjadi pembunuhan, bunuh diri, pemerkosaan. Dan hilang benar arah kehidupan yang mulia dari diri mereka.

Mereka mampu menciptakan teknologi, diplomasi, militer, tata kota yang demikian canggih. Namun sangat bodoh dalam urusan moral dan hak asasi manusia yang sejati. Itulah akibat dari ketiadaan hati yang bersih, dan hilangnya keimanan kepada Allah. Itulah akibat ketika wahyu dibuang, tauhid tidak dikenal, dan mereka mengumumkan perang terhadap kebenaran yang hakiki.

Pemikiran yang timbul di tengah manusia, merupakan obyek penelitian yang menarik. Manusia diciptakan Allah dalam perkembangannya kemudian jauh setelah diciptakan pertama kali, menjadi terdiri atas beragam bangsa. Setiap bangsa itu memiliki bahasa, adat, kebudayaan, sifat, warna kulit yang berbeda-beda.

Yang menarik kemudian setiap bangsa dan suku bangsa itu memiliki arah pemikirannya masing-masing. Semakin tinggi arah dan corak pemikiran suatu bangsa, maka pengaruhnya ke dalam sikap hidup dan penataan sosial dan material mereka semakin rapih dan mengagumkan.

Sosok nabi Nuh As merupakan sosok yang memahami agama dan teknologi. Teknologi itu Nabi Nuh as peroleh langsung dari Allah Swt demikian pula pemahamannya tentang agama. Teknologi yang dikuasai Nabi Nuh as dipergunakan untuk berdakwah dan memelihara agama. Teknologi yang dikuasainya adalah membuat perahu.

Nabi Muhammad Saw dan Para Sahabat menguasai teknik dan siasat perang, tata kelola masyarakat kota, hubungan diplomasi, dan mempergunakan semua itu untuk berdakwah dan menegakkan agama.

Nabi Ibrahim As, terkenal dengan cara befikir yang logis, masuk akal dan pemberari. Dipergunakan kemampuan berfikir yang logisnya itu untuk mematahkan argumen kaumnya yang sesat dalam beribadah.

Nabi Musa As, terkenal dengan kemampuannya dalam menjelaskan tentang keberadaan Allah dan hakikat keberadaan manusia. Juga memiliki kemampuan untuk mengorganisir kaumnya, memobilisasi keluar dari Mesir.

*Metodologi Khusus*

Al-quran menjelaskan banyak kisah para Nabi dan orang sholeh, lebih banyak menekankan tentang makna-makna ibadah, tauhid, keikhlasan, perjuangan dalam beragama, akhirat, dzikir, aturan hidup sosial. Mengindikasikan bahwa inti kehidupan yang mulia dalam pandangan Allah, sehingga al-Quran itu diwahyukan adalah sikap ketundukan kepada Allah, yang diringkas dalam kalimat takwa.

Di sisi lain al-Quran mengemukakan kisah tentang bangsa-bangsa yang didakwahi para Nabi, sebagai bangsa-bangsa yang maju teknologinya, kekayaan hartanya, ketinggian ilmu dan kemampuannya, kecerdasan berfikirnya, kota-kota dan bangunannya, kemakmuran negerinya. Dan ditutup dengan kehancuran semua itu ketika azab datag kepada mereka akibat menolak dakwah dan tauhid.

Hal ini menggambarkan secara meyakinkan bahwa urusan dunia itu kecil dalam pandangan Allah. Kekayaan duniawi bukan hakikat yang akan membawa manusia kepada kemuliaan hidup dan keselamatan hakiki. Bahkan seringkali menjadi perkara yang membuat manusia melupakan nilai kehidupan yang utama. Peradaban suatu kaum lebih baik dihancurleburkan untuk menyelamatkan manusia berikutnya dari ketertipuannya.

Apakah ini berarti bahwa keimananan itu menentang ilmu dan teknologi? Sehingga orang-orang yang beriman wajib atau harus meninggalkan ilmu dan teknologi? Yang menarik adalah dunia ini terus berbenah, teknologi semakin maju. Kenyataan yang tak kalah menarik bahwa perkembangan ilmu dan teknologi itu dilakukan oleh banyak golongan manusia dari berbagai bangsa.

Orang-orang beriman pun ikut serta dalam upaya mengembangkan ilmu dan teknologi hingga menekukan wajahnya yang sekarang.

*Epistemologi Iqro*

Pada bagian paling awal dari seri tulisan ini, telah diungkapkan bahwa ada tiga sarana untuk mencapai ilmu. Yaitu akal, indra dan hati. Dalam bagian ini kita akan menelisik batas-batas kemampuan hati dalam meraih ilmu. Hati bukan hanya berisi semangat di dalam dada yang memberikan motivasi untuk meraih ilmu, untuk belajar dan membaca buku sumber ilmu. Dan juga memberikan dorongan kepada akal untuk aktif berfikir. Namun yang terutama, hati adalah sarana untuk meraih ilmu.

Telah disinggung bahwa hati yang bersih merupakan kekuatan untuk melihat, mendengar dan merasakan tanda-tanda kebesaran Allah. Jadi hati merupakan sarana untuk meraih ilmu, namun dalam tingkat yang sifatnya makrifat. Makrifat itu merupakan jantungnya ilmu dalam metodelogi Iqro. Makrifat itu berisi pengetahuan dan kesadaran rasa tentang adanya Allah, kebenaran wahyu, perintah agama, dan kecintaan terhadap kesucian hidup.

Di dalam Islam, hati dipandang memiliki kedudukan utama yang berdampak pada baik buruknya diri seseorang. Para ulama pun memberikan perhatian terhadap pentingnya jiwa yang bersih. Yaitu jiwa yang di dalamnya terdapat sikap iman dan makrifat aqidah yang bersih dan bercahaya. Untuk itu para ulama membuat banyak tulisan yang mengupas tentang kekuatan hati dan upaya untuk merawatya.

Hati bisa sampai kepada kesimpulan tentang adanya Tuhan, tentang kebenaran wahyu, tanpa menunggu penjelasan yang lengkap sejauh yang dapat dicapai oleh akal. Karena hati memiliki logikanya sendiri. Ilmu yang dicapai oleh hati sering tidak melalui penalaran. Penalaran yang mana merupakan ciri khas akal fikiran, tetapi dicapai secara intuitif.

Artinya hati langsung sampai kepada kebenaran. Tanpa menelaah bukti-bukti yang sifatnya rasional dan empiris. Bukti-bukti itu sifatnya belakangan saja, itu pun kalau dibutuhkan. Hati yang memiliki ketajaman iman dan nurani, mudah sekali mencetuskan gagasan, ide, proposisi tentang sesuatu yang diamati indra atau yang tiba-tiba terpikirkan oleh akal. Bahkan terhadap perkara yang amat samar.

Keimanan dan pengakuan akan adanya Tuhan, bukan tak bisa dijelaskan melalui penalaran akal fikiran. Namun akan terlalu banyak waktu yang dibutuhkan dalam meyakinkan akal untuk menyatakan adanya Tuhan, benarnya wahyu dan lurusnya Islam. Jika hanya mengandalkan akal fikiran saja, manusia kebanyakan tidak sampai kepada keimanan yang dikehendaki.

Seringkali ditolaknya Islam, bukan karena Islam tidak rasional malah, tapi karena hati yang tertutup. Banyak orang yang memilih hati tetap tertutup lantaran hati mereka terlalu pekat oleh dosa. Mereka bisa membenarkan adanya Tuhan, tapi berbuat maksiat dan khianat terus menerus. Mereka tahu akan adanya akhirat, namun tak pernah beramal sholeh.

Mereka tahu, tapi tak punya rasa yang berwujud iman. Iman telah lenyap dari hatinya. Dan hatinya telah kotor karena sifat kasar dan memperturukan hawa nafsu dan kecintaan kepada dunia. Mereka makan, dari jalan yang batil dan haram. Pengetahuan tidak menjadi apa yang dirasa.

Keimanan yang dikehendaki adalah keimanan berupa ketundukan kepada syariat, hidup dalam naungan syariat dan hidup untuk membela syariat. Keimanan yang benar itu adalah keimanan yang selalu dijaga dan dirawat oleh ibadah-ibadah dan berbuah sikap adil, amanah dan kasih sayang di dalam kehidupan nyata.

Orang-orang pada umumnya tak membutuhkan tahu seseorang ahli ibadah, tapi butuh buah dari ibadah berupa baiknya akhlak dan tegasnya sikap dalam berbuat adil dan membela kebenaran. Karena tidak ada gunanya memamerkan ibadah-ibadah di hadapan manusia, yang dibutuhkan manusia adalah perubahan sosial yang dihasilkan dari didikan ibadah-ibadah itu.

Di saat hati sudah berisi keimanan dan diolah hati itu oleh sarana-sarana keimanan itu sendiri, maka hati akan memiliki ketajaman tersendiri yang mampu mencapai kebenaran-kebenaran yang sifatnya ilahiah dan rahasia. Ini seumpama dengan akal yang terus dilatih oleh ilmu-ilmu eksakta, apa yang sangat sulit bagi kebanyakan orang tentang rumus-rumus matematika dan fisika, bagi akal ilmuwan di bidang itu begitu mudah.

Salah satu metode dalam meraih ilmu menurut logika hati adalah mengamalkan ilmu atau keimanan. Menurut metode ini, orang yang mengamalkan ilmu yang telah diketahuinya, maka ilmunya akan bertambah, sekalipun ia tidak dengan sengaja melakukan penelitian-penelitian.

Perlu ditambahkan bahwa hal itu juga bisa berarti, orang yang senantiasa mengamalkan agama, ia terdorong untuk mengetahui rahasia-rahasia agama lebih lanjut. Hal ini seumpama dengan seorang ilmuwan umum yang memfokuskan diri pada satu bidang, akan menemukan banyak penemuan melalui fokus penelitiannya.

Ilmu makrifat, atau ilmu tentang rahasia Tuhan, ilmu tentang tauhid, keimanan, akidah, ikhlas, sabar, rido, adalah ilmu-ilmu yang kapasitasnya tidak hanya dimengerti oleh logika akal orang yang beriman tapi dirasakan oleh hati-hati mereka. Di mana rumusan-rumusan apa-apa yang dirasakan oleh hati itu merupakan hikmah dan kebijaksanaan. Sesuatu yang melampoi perkara ilmu.

Hal mana yang tidak bisa dipahami apalagi dirasakan oleh orang yang tidak memiliki iman. Karena sifatnya seperti ini, maka ilmu makrifat ini, ilmu tentang kebijaksanaan dan kearifan, tidak hanya dimengerti melalui belajar dan latihan. Tapi dimengerti melalui jalan misteri yaitu dengan tiba-tiba secara intuitif atau ilham.

Batas-batas ilmu agama, aqidah, tauhid, keimanan, makriat itu sudah selesai, sudah sempurna. Tidak perlu ada suatu upaya penambahan atau temuan baru. Sehingga cabang-cabang ilmu agama tak perlu ada penambahan lagi. Hanya bagaimana orang bisa sampai kepada ilmu-ilmu itu? inilah persoalannya.

Dan dibalik persoalan ini muncul fakta bahwa, orang terdahulu yang hidupnya semakin dekat dengan Nabi Muhammad sedangkan ia dalam keadaan beriman dan berilmu, pemahamannya tentang ilmu makrifat ini merupakan pemahaman paling mendalam, sempurna, dan lengkap. Tidak ada tokoh generasi selanjutnya yang bisa melampoinya.

Hal ini seumpama dengan ilmu alamiah. Ilmu alamiah sejak awal diciptakan Allah telah sempurna, mencakup bidang-bidang yang hari ini diraih manusia. Hanya ada perbedaan yang sifatnya terbalik. Kalau ilmu makrifat, dahulu orang memahami dan menyadarinya secara mendalam, sempurna, dan lengkap, lalu ketika makin bertambah zaman, maka makin berkurang kualitas manusia dalam menguasainya. Ilmu agama itu sendiri tidak berkurang.

Adapun ilmu alamiah terbalik; orang zaman dahulu memahami ilmu alamiah dalam kadar yang sederhana, belum sempurna, lalu dengan bertambahnya usia peradaban, maka ilmu-ilmu alamiah itu semakin banyak disadari akan kelengkapan dan kedalamannya.

Sehingga fokus utama buku ini ditulis adalah bagaimana kita mengkaji cara-cara memahami agama sebagaimana generasi terdahulu dari sudut pandang kajian filsafat.

Islam turun melalui wahyu berbahasa Arab kepada Nabi Muhammad Saw yang berbahasa dan berbangsa Arab. Bisakah Islam difahami melalui pengantar berbahasa Indonesia? Faktanya saat ini kita menemukan al-Quran terjemah, tafsir terjemah, dan ulasan-ulasan tentang Islam dengan menggunakan bahasa Indonesia. Dalam upaya apa? Dalam upaya memahamkan umat tentang Islam. Sama sekali bukan untuk mengaburkan makna dan hakikat Islam dari manusia.

Jadi bahasa Indonesia bisa menjadi jembatan untuk memahami Islam. Bukan bahasa itu saja yang bisa menjadi jembatan untuk memahami Islam seperti apa dan bagaimana. Berbagai disiplin ilmu apa pun yang ada di dunia ini, bisa menjadi jembatan untuk memahami Islam, baik satu sisinya atau pun mungkin keseluruhan sisi Islam.

Termasuk bidang itu adalah filsafat. Filsafat bisa digunakan untuk melihat dan menganaisa salah satu sisi Islam, yaitu hal yang terkait dengan ilmu. Jangan apriori secara negatif dengan filsafat, ketika filsafat ini dijadikan pisau untuk membedah sisi keilmuan di dalam Islam.

Bagaimana orang bisa sampai kepada ilmu? Untuk menjawab pertanyaan ini, orang bisa memberikan jawaban sesuai bidang kajiannya masing-masing. Ahli pedidikan dan pengajaran akan memberikan jawabannya sesuai sudut pandang mereka. Ahli lingkungan hidup dan sosial kemasyarakatan akan memberikan jawabannya sesuai dengan bidangnya. Ahli politik dan pemegang kebijakan publik juga akan memberikan jawaban tersendiri. Masing-masing jawaban akan memberikan garis penekanan yang berbeda-beda.

Ahli filsafat akan memberikan sesuai bidang keahliannya. Buku ini ditulis dalam suatu perspektif ahli filsafat. Setidaknya mengupas pertanyaan itu dari sudut pandang ilmu filsafat. Buku ini berguna bagi mereka yang sejak awal memahami filsafat. Dalam upaya menjelaskan kepada mereka tentang pentingnya iman dalam kehidupan dan khususnya dalam kajia ilmu. Juga berguna juga bagi siapa pun yang ingin menambah wawasannya untuk meluaskan perspektif pandangannya tentang Islam.

Menurut sudut pandang Filsafat, Islam itu fakta. Sesuatu yang ada dan real dalam kehidupan manusia. Nilai yang membangunnya ada sejak zaman sebelum Nabi Muhammad Sawa berupa tauhid, syariat, akhlak, dan hikmah. Wujudnya adalah ajaran dan pelaksanaan nilai keimanan, aturan syariat dan hikmah kehidupan yang berguna bagi siapa pun berupa rahmat bagi alam semesta.

Bagaimana orang bisa sampai kepada pengetahuan yang benar tentang Islam? Tentu dengan membaca sumber hukum dan ajaran Islam yaitu al-Quran, sumber bacaan yang diakui oleh para ulama dan dari para ulamanya yang lurus di dalam beragama. Mengetahui Islam dari al-Quran dan Hadits bisa, tapi untuk menjadi seorang yang beriman, pengetahuannya harus bersumber dari ulama. Bukan dari hasil pembacaannya.

Metodologi iqro ini mengkaji dan menjawab pertanyaan bagaimana orang bisa sampai kepada pengetahuan yang benar tentang Islam dari sudut pandang Filsafat dan Islam.

Apa yang ingin dituju oleh Islam? Jawabannya adalah menciptakan kehidupan yang diridoi oleh Allah. Allah rido kepada manusia dalam tiga tingkatan, pertama berlakunya hukum-hukum alamiah. Berlakunya hukum-hukum agama. Dan berlakunya balasan di akhirat kelak. Ketika manusia memenuhi hukum-hukum alamiah, dia akan sampai kepada yang disediakan oleh alam. Demikian saat manusia memenuhi hukum-hukum agama, ia akan sampai kepada apa yang disediakan agama.

Salah satu cabang dari filsafat adalah epistemologi yang secara khusus mengkaji terbentuknya ilmu. Salah satu cabang filsafat atau kajian filosofi dari epistemology adalah metodologi. Yaitu kajian filsafat tentang cara meraih ilmu. Iqro itu jelas merupakan satu konsep di dalam Islam yang berkaitan dengan ilmu, yang artinya membaca. Iqro memang bukan satu-satunya konsep di dalam Islam terkait ilmu. Namun iqro ini memiliki ciri-ciri metodologis. Yaitu sebagai suatu cara untuk meraih ilmu yang efektif namun berciri khas. Ciri khasnya, dalam lingkup Islam dan dalam lingkup menuju keimanan yang lebih matang.

Metodologi iqro ingin menjawab pertanyaan bagaimana orang bisa sampai kepada ilmu, baik ilmu alamiah ataupun ilmu makrifat? Metodologi iqro ingin menggali dan menjabarkan bagaimana upaya yang harus ditempuh para pemikir dan pencari kebenaran agar sampai kepada ilmu sekaligus kepada keimanan.

Upaya ini memungkinan seseorang memahami agama sebagaimana para sahabat memahami agama sehingga menjadi orang-orang yang rido kepada Allah, sekaligus juga menjadi orang yang menemukan ilmu-ilmu alamiah yang baru dan berdaya guna bagi kehidupan manusia. Di mana ilmu-ilmu alamiah baru ini didedikasikan untuk menguatkan penegakkan agama di tengah kehidupan manusia.

Karena sedemikian harapan yang ingin dicapai oleh metode iqro maka rupa wajah metode-metode iqro dalam pengembangan ilmu harus melibatkan dua hal utama, yaitu al-Quran sebagai sumber ilmu dan rido Allah sebagai tujuan yang hendak dicapai. Sehingga aktifitas keilmuan dalam metodologi iqro melibatkan penelitian terhadap alam dan manusia dan pengamalan bidang-bidang ibadah yang lekat.

Satu hal yang tidak boleh luput dari perhatian kita adalah kenyataan, bahwa Islam punya bahasanya tersendiri, punya sistem berfikirnya tersendiri, dan punya pemerintahannya tersendiri pula. Yang memungkinan manusia memahami Islam secara sempurna. Bahasa itu adalah bahasa Arab. Sistem berfikirnya itu adalah takwa. Dan sistem pemerintahannya adalah khilafah. Bahasa, sistem berfikir dan pemerintah di luar itu, tidaklah kemudian dipandang bid’ah dan sesat. Tergantung hakikat yang mendasarinya dan kecenderungannya kepada Islam.

Masalah yang sedang dihadapi saat ini adalah tidak semua muslim memahami bahasa Arab, tidak semua bangsa muslim berpemerintahan khilafah dan tidak semua muslim cara berfikirnya takwa, ada juga yang cara berfikirnya seperti orang-orang ateis, yaitu membuang wahyu dari kajian ilmu. Kenyataan-kenyataan seperti ini harus disikapi dengan dakwah dan direspon secara kreatif dan menarik, agar manusia tetap di jalan Islam, walaupun dengan segala kekurangannya di sana-sini pada diri mereka.

Diantara pembaca mungkin ada yang mengajukan pertanyaan, bagaimana jawaban Islam terhadap pertanyaan bagaimana orang bisa sampai kepada ilmu? Jawabannya jelas sebagaimana dijelaskan di dalam al-Quran pada surat al-‘Alaq sebagai wahyu yang pertama kali turun kepada Nabi Muhammad Saw. Yaitu Iqro. Ilmu itu diperoleh manusia dengan diajarkan oleh Allah dengan perantaraan kalam, tentang apa-apa yang belum diketahui manusia.

Secara teologis, diyakini bahwa diantara manusia itu digerakkan oleh Allah untuk menuliskan apa-apa yang telah dipahaminya. Secara faktual, manusia yang lainnya mengambil manfaat berupa ilmu dari apa yang telah dituliskannya itu, mewujudkannya menjadi barang-barang berguna atau konsep yang kemudian hari ditambah dengan hasil penelitian lebih lanjut sehingga bertambah kokohlah suatu ilmu.
*Tradisi Keilmuan dalam Islam*

_Kekuatan nama-nama_

Kisah Nabi Adam As sebagaimana dijelaskan di dalam al-Quran cukuplah menggambarkan tentang kekuatan nama-nama di dalam ilmu. Bahwa faktor utama kemuliaan Nabi Adam As sebagai manusia di waktu itu, terletak dan berawal dari khazanah hafalan nama-nama.

Karena itu wujud ilmu sejatinya adalah kumpulan nama-nama. Nama-nama itu kemudian disusun membentuk suatu kalimat yang memberikan pemahaman. Pemahaman yang nilainya lebih tinggi dari masing-masing nama atau kata. Jadi kejelasan makna, keajegan hakikat dari suatu nama atau kata merupakan kunci utama untuk sampai kepada pengertian-pengertian tingkat tinggi.

Oleh sebab itu, suatu kata atau nama di dalam Islam memiliki hakikat masing-masing yang sangat jelas kedudukan dan perbedaannya dengan kata-kata yang lainnya. Setiap kata di dalam Islam, dalam hal ini kata dalam bahasa Arab memiliki pengertian yang sangat jernih, sehingga dapat menentramkan hati orang yang menghafalnya dan memahaminya tanpa rasa khawatir tertukar dengan pengertian lain yang berbeda.

Oleh karena itu, seorang pemikir harus memiliki kemampuan menjelaskan makna setiap kata yang dibutuhkannya dalam menjelaskan suatu ilmu di suatu bidang. Sehingga dirinya itu memiliki modal pertama untuk menyusun kalimat yang jernih. Sebagai suatu upaya untuk menyampaikan apa yang menjadi pemikirannya. Baik dalam keperluannya berdakwah, mengembangkan ilmu, membuat syair, membuat karangan, atau untuk keperluan berpidato.

Suatu nama atau kata, memiliki makna dalam kesendiriannya, dan akan berkurang keluasan maknanya ketika digabung dengan kata yang lain dalam suatu kalimat. Namun semakin jelas kedudukannya dan tajam makna yang hendak dikemukakannya. Sehingga semakin nyata hukum yang keluar darinya. Sebagai contoh ada kata “tanah”. Tanah memiliki makna yang luas. Tapi ketika ditambah kata “masjid”, menjadi “tanah masjid”, maka maknanya makin menyempit tapi tajam dan jelas.

Dari mana kita mengetahui makna setiap kata yang sampai di dalam jiwa kita hari ini? Mula-mula dari proses sosialisasi di tengah keluarga, lalu meluas ke masyarakat, medalam di sekolah dan dari apa yang kita baca dan kita dengar, kemudian semakin luas lagi saat kita menjadikan diri sebagai pemikir, pembelajar dan ilmuwan yang aktif. Harus diakui bahwa banyak juga orang yang terhenti penguasaan kosa katanya ketika tidak lagi sekolah dan berfikir keilmuan.

Untuk memahami makna yang mendalam atas nama-nama atau kosa kata, seseoang bisa menempuh banyak cara. Ambil contohnya dengan membaca kamus, membaca buku, membaca majalah, mendengarkan uraian ilmiah, atau ceramah, atau kajian suatu bidang keilmuan. Maka seseorang akan bertambah luas dan dalam penguasannya terhadap makna dari kata-kata.

Kosa kata merupakan syarat mutlak untuk menyusun ilmu. Para ulama memberikan perhatian yang serius dengan kata-kata dan makna yang dikandungnya. Sehingga mereka menulis buku, menyajikan kamus, membuat kalimat-kalimat indah dan syair, sebagai upaya untuk menjelaskan makna dari nama-nama atau kosa kata.

Setiap kata itu memberikan pengaruh kepada jiwa manusia. Tergantung kepada persepsi yang dimiliki saat mendengar kata itu dalam suatu waktu. Sebagai contoh yang nyata, jika disebutkan satu nama, misal Muhammad Saw. Maka kita akan melihat respon yang berbeda atas manusia. Padahal namanya sama. Kenapa responnya berbeda, karena persepsinya berbeda. Ini menjelaskan bahwa suatu nama ketika disebut memberikan efek kepada jiwa. Tidak berefek pun sebenarnya efek. Efeknya zero atau kosong, istilahnya.

Ketika nama Islam disebut, orang yang dalam kepalanya tidak pernah ada kosa kata itu sebelumnya, akan melongo saja. Jika ia bertanya, bertanyanya bisa terasa aneh dan lucu. Apakah Islam itu merk kendaraan? Selama ini ia selalu berbicara merk kendaraan. Jika saya berkata, saya sedang di rumah sakit, orang bertanya, siapa yang sakit? Karena ia tidak tahu selama ini saya usaha di bidang alkes. Orang yang tahu saya usaha di bidang itu, bertanyanya lain, sedang ada proyek apa?

_Penunjang Keilmuan di dalam Islam_

Ciri utama keilmuan di dalam Islam adalah sumbernya wahyu, bersumber langsung dari Allah, dan diajarkan oleh Nabi kepada umat. Arah keilmuan di dalam Islam adalah kesucian hidup yang menjadi syarat diraihnya rido Allah Swt. Kandungan ilmunya membukakan jalan keimanan, akal sehat, tabiat yang baik, semangat yang kuat, luhurnya budi pekerti, dan pengembangan peradaban yang adil, serta terjaganya alam dari kerusakan.

Sepanjang yang dapat kita telusuri penunjang-penunjang tradisi keilmuan di dalam Islam, adalah kekuatan politik, hadirnya kemakmuran, timbulnya lembaga penelitian, semangat pencarian ilmu dan kecintaan kepada hikmah, dorongan penguasa, tokoh-tokoh yang brilian dalam pemikiran, dan arah baru yang mengikuti keimanan dan kesucian hidup.

Dalam hal ilmu agama, dipersyaratkan kejelasan sanad. Seseorang diakui kebenaran ilmunya hanya jika memperoleh ilmu itu dari gurunya yang jelas statusnya menurut syarat-syarat yang disepakati para ulama. Dalam ilmu alam dan manusia, seseorang dituntut untuk meneliti hingga menemukan sendiri hukum-hukum yang rasional, empiris, korespondesif, konsisten dan dalam aplikasinya benar-benar pragmatis, teruji dan bisa dikomunikasikan dengan jelas.

Di dunia Islam, ilmu agama dan ilmu tentang alam serta manusia dengan berbagai dimensinya mengalami perkembangan yang pesat karena sejak masa paling awal dari perjalanan Islam, mereka memiliki kekuasaan yang jelas. Bahkan kekuasaan itu menjadi besar dan kuat, menguasai hampir dua per tiga permukaan muka bumi. Sehingga tidak ada suatu ketertekanan oleh kekuasaan yang antipati terhadap Islam. Umat bebas mengembangkan agama dan kehidupannya.

Seiring dengan kekuasaan politik, kemakmuran juga mengalir ke negeri-negeri Islam. Di waktu itu umat menjadi tentram dan lapang dalam mengembangkan fungsi-fungsi agama, ilmu, militer dan berbagai hal lainnya. Kemakmuran itu menjamin para ilmuwan dan peneliti untuk fokus mengembangkan hal-hal terkait ilmu. Sehingga ilmu menjadi berkembang pesat. Ilmu-ilmu keagamaan dan ilmu-ilmu alam mencapai puncak yang mengagumkan di zamannya.

Di waktu itu, para khalifah sebagai penguasa yang menggariskan gerak dan masa depan umat, memiliki perhatian terhadap ilmu. Sehingga berbagai lembaga penelitian dan keilmuan didirikan, untuk menjadi tempat para ilmuwan mengembangkan risetnya. Bahkan tiba di suatu masa, upaya menterjemahkan buku-buku ilmu pengetahuan warisan Yunani yang tergeletak di Eropa.

Umat Islam di waktu itu, memiliki dorongan yang kuat kepada ilmu, kecintaan kepada hikmah sebagai miliknya. Kegemilangan politik, kemakmuran, keluhuran akhlak, kesucian hidup yang ditempa keimanan dan ibadah, dan lurusnya kaidah dan aqidah agama yang bersih dan jelas konsep-konsepnya menjadi jalan lebar dan mulus untuk agar jiwa melaju dengan cepat di bidang ilmu.

Dari rahim umat Islam, lahir suatu generasi yang brilian dalam pemikirannya, sekaligus jujur terhadap lintasan sejarah. Sehingga kita di hari ini, bisa mengetahui sifat-sifat politik, tingkah laku manusia, capaian ilmu pengetahuan, dan semua dinamika yang terjadi di dalamnya. Mereka menciptakan karya monumental dan menuliskan karya itu dalam buku-buku yang sebagiannya masih bisa kita baca di hari ini. Terutama buku-buku yang berkaitan dengan tema-tema agama.

Buah dari ilmu itu adalah semakin memperkokoh kekuasaan yang kegemilangan yang ada. Kemudian pada akhirnya memang layu dan melemah kekuasaan itu seiring dengan melemahnya semangat keilmuan. Sudah menjadi takdir sejarah hidup umat Islam. Bahwa dahulu umat Islam berjaya dalam semua bidang-bidang kehidupan, baik politik, militer, diplomasi, ilmu pengetahuan, teknologi, sastra dan lain sebagainya. Hari ini kita melihat hampir semua rata lemah.

Namun ada satu yang tetap bersinar di dalam umat Islam. Yaitu keimanan, akidah, ibadah dan akhlak; baik dari sisi penguasaaan ilmunya ataupun dari sisi pengalamannya. Dari sisi sumber ilmu dan karakter ilmu tentang agama, sama sekali tidak mengalami distorsi atau penyimpangan. Sejak dari dahulu al-Quran tidak berubah, cara sholat tidak berubah, konsep akidah tidak berubah. Dan itu merupakan hal yang fundamental dan mengagumkan.

_Tawadlu kepada Pemberi Ilmu_

Allah mengajarkan ilmu kepada manusia, melalui banyak jalan. Suatu ilmu ditampakkan Allah melalui, wahyu, ilham, intuisi, mimpi, tabiat hewan, benda, tumbuhan, gerak alam, dan tabiat manusia; kemudian hati dan fikiran manusia dibukakan untuk menangkapnya sehingga manusia sampai kepada apa yang dimaksud. Adakalanya manusia mengalami hal itu berlangsung spontan, adakalanya melalui aktifitas yang bernama penelitian.

Wahyu itu berisi ilmu. Demikian juga semesta alam berisi ilmu. Wahyu dan alam itu sumbernya sama, Allah. Dalam hal wahyu, penekanan utama ilmu itu adalah seputar keimanan, ibadah dan sosial. Wahyu itu pendidikan yang Allah berikan kepada manusia untuk menempuh suatu jalan untuk mengetahui siapa Tuhan dan bagaimana cara mengabdi kepadaNya. Allah sejatinya adalah pemberi ilmu.

Nabi Muhammad Saw dan juga para Nabi sebelumnya, datang mengajarkan hikmah kepada umat agar mereka mengenal kitab dan hidup dalam kesucian. Sesuai dengan wahyu yang diterima dari Allah. Maka hadirlah para manusia yang menyatakan keimanan, membenarkan dakwah, dan merengkuh ilmu itu dari Nabi. Sehingga mereka sampai kepada yang dituju yaitu kebersihan dan kesucian hidup. Nabi sejatinya adalah pemberi ilmu atas ilmu yang diterima dari Allah Swt.

Hari ini Islam telah menyebar ke seantero dunia. Beberapa dinamika terkait dengan ilmu dan iman dapat kita temukan dalam wujud dakwah dan pendidikan. Di dunia dakwah para ulama, mubaligh, ustadz memberikan pencerahan kepada umat tentang hukum-hukum, kaidah-kaidah agama. Dan tidak sedikit kemudian orang-orang ramai masuk Islam. Di dunia pendidikan, di lembaga-lembaga pendidikan Islam, para guru mengajarkan dasar-dasar Islam sampai ke hal-hal yang rumit dan seluk beluk tentang Islam kepada siswa, santri, mahasiswa.

Para guru, ulama, ustadz, mubaligh, penceramah, adalah para pemberi ilmu. Yang menyebarkan ilmu-ilmu yang berisi keterangan dan penjelasan tentang hakikat, cara dan tujuan segala sesuatu terkait dengan kehidupan manusia. Bahkan sebenarnya, bukan hanya mereka saja yang dikategorikan para pemberi ilmu. Segala sesuatu, siapa pun, barang apa pun, peristiwa apa pun, yang mengantarkan kita sampai kepada suatu pengertian yang jelas, adalah pemberi ilmu. Jadi semut pun bisa jadi pemberi ilmu kepada kita. Karena posisi yang utama adalah apakah kita di saat itu membuka hati dan fikiran untuk merengkuh pelajaran atau tidak.

Nabi dan umatnya menjadi hamba Allah yang selalu menyembahNya. Umat Islam selalu memuliakan Nabi Muhammad Saw. Para ulama selalu memuliakan guru-guru yang telah memberikannya didikan dan ilmu. Santri-santri di pondok pesantren selalu tawadlu di hadapan para ustadz. Banyak nilai yang hadir dalam suatu hubungan yang menjadi dasar munculnya sikap-sikap semacam itu. Namun jelas salah satunya karena mereka adalah sang pemberi ilmu.

Tawadlu adalah salah satu akhlak kepada pemberi ilmu. Sikap tawadlu di hadapan guru, atau pemberi ilmu, merupakan ciri utama tradisi keilmuan di dalam Islam. Itulah sebabnya mengapa hari ini para ulama dimuliakan. Bukan saja karena memang sejak awal mereka adalah orang-orang mulia yang ahli ibadah dan luas ilmunya. Kita muliakan mereka karena keharusan akhlak, bukan cuma keharusan secara rasional, tapi keharusan yang sifatnya moral.

Akhlak kepada guru atau pemberi ilmu, merupakan salah satu inti yang menjadi sebab berkahnya ilmu yang dimiliki. Berkah ilmu itu merupakan tanda dari dua keadaan sekaligus. Yaitu bersih sucinya ilmu yang dimiliki, dan sekaligus adanya rido dari sumber ilmu yang utama yaitu Allah Swt. Dan ini penting. Karena tujuan ilmu adalah mengantarkan hidup manusia kepada kesucian hidup sehingga beroleh rido Allah. Maka ilmunya itu sendiri harus berkarakter bersih dan diridoi. Bersih dan diridoi itu terangkum dalam kata berkah.

Begitu pentingnya sikap tawadlu pada tradisi keilmuan di dalam Islam, maka terdapat penjelasan panjang tentang seperangkat aturan moral untuk memperkuat ketawadluan ini, yang disusun oleh para ulama dan diajarkan di lembaga-lembaga pendidikan Islam. Esensi kandungannya adalah tentang akhlak para pencari ilmu yang dituntut untuk ditegakkan selama menuntut ilmu. Islam memberikan suatu pandangan bahwa mencari ilmu itu wajib seumur hidup, jadi tawadlu itu wajib ada seumur hidup.

_Akrab dengan al-Quran_

Fungsi al-Quran bukanlah hanya sebagai sumber ilmu. al-Quran juga sebagai obat bagi orang yang beriman. Membaca, menghafal dan mengkajinya dalam kerangka iman, dapat menentramkan jiwa setiap manusia, megobati jiwa yang sakit. Namun semua kandungan al-Quran adalah ilmu. Artinya setiap makna yang dikandungnya sangat jelas menurut pertimbangan akal fikiran.

Mengingat al-Quran itu mengandung penjelasan tentang segala sesuatu, maka keakraban dengan al-Quran menjadi hal yang mutlak bagi pemikir dan penimba ilmu di dalam Islam. Akrab dengan al-Quran berarti senantiasa membacanya, menggali makna darinya, membaca tafsirnya, dan menjadikannya sahabat dalam menyelesaikan berbagai persoalan hidup.

Akrab dengan al-Quran berarti juga akrab dengan ulasan-ulasan ke arah untuk memahaminya ke tingkat yang lebih tinggi, rumit dan detail. Ulasan-ulasan itu adalah al-Hadits, dan kitab-kitab yang ditulis ulama yang ahli tentang al-Quran. Juga segenap kitab-kitab yang mengulas kedalaman dan keluasan Islam. Pendek kata, seorang pemikir wajib memiliki keluasan bacaan atas khazanah ilmu-ilmu Islam. Dan bergaul atau berkelompok dengan ahli-ahli al-Quran.

Di saat para pemikir, pencari ilmu, pembelajar dan umat pada umumnya akrab dengan al-Quran dan kitab-kitab serta majelis dan tokoh yang menguasainya, maka hal itu mendekatkan umat dan siapa pun kepada kemudahan untuk memahami ilmu dan rahasia kehidupan yang hakiki. Dan itu juga berarti menjadi jalan yang mudah bagi upaya mewujudkan hidup di bawah naungan al-Quran.

Hidup di bawah naungan al-Quran berarti mengamalkan semua sisi agama di wajah kehidupan, dan meletakkan urusan kehidupan di bawah aturan agama sehingga berwajah ilahiah. Fungsinya untuk menjawab persoalan kehidupan dengan kacamata keimanan dan bimbingan wahyu, dan meletakkan agama itu sebagai pondasi serta arah dari setiap program yang tengah ditegakkan dalam kehidupan manusia.

Dalam suasana seperti itulah para pemikir Islam mengembangkan ilmu-ilmu dan teknologi. Mereka mengadakan kajian terhadap alam dan manusia, dengan berpedoman kepada al-Quran, dilandaskan kepada semangat keimanan. Sehingga ketika suatu ilmu alam atau ilmu sosial ditemukan di lapangan, semua dikembalikan kepada otoritas agama untuk menilai dan menimbangnya.

Sebelum seorang meneliti untuk menemukan hukum dan konsep tentang alam dan manusia, terlebih dahulu membekali diri dengan pengetahuan yang didapat dari al-Quran. Sehingga hakikat-hakikat menurut perspektif agama telah diperoleh lebih dahulu. Sebagai suatu mercusuar, garis pengarah, tujuan yang hendak dicapai dalam upaya menemukan detail dan teknis ilmu.

Buah dari metode ini adalah, semua ilmu yang ditemukan oleh ilmuwan yang beriman didedikasikan untuk membantu bagi mudahnya agama diterapkan di dalam kehidupan. Ilmu-ilmu ini tidaklah menciptakan hal baru di dalam agama, tapi menciptakan hal baru dalam kehidupan yang hukum-hukum intinya telah ada di alam. Singkat kata, para ilmuwan yang beriman ini memulai penelitian dengan atas nama Allah dan untuk kemuliaan agama. Bismillah wal hamdulillah.

Oleh karena itu, semua calon pemikir, ilmuwan, pembelajar, penemu ilmu, di dalam Islam, haruslah terlebih dahulu memiliki iman yang kuat dan memahami kandungan al-Quran atau agama. Sebelum mereka mengenal alam dan manusia secara luas dan mendalam sebagai lapangan ilmu dan teknologi. Atau sebelum mereka terjun ke dunia praktis, untuk menjadi pejabat, pengelola pasar, pekerja bangunan, menjadi dokter, pedagang dan lain sebagainya.

Hari ini kenapa banyak ilmuwan dan praktisi yang mengaku beriman, namun bertingkah laku jauh dari nilai agama? Karena mereka sejak awal tidak dibekali sesuai konsep tadi. Lebih parah dari itu adalah, upaya mereka untuk menjadi apa pun di dunia praktis, bukan dalam rangka mengabdi kepada Allah, bukan dalam rangka memuliakan agama. Sehingga iman itu hanya sebatas berupa sholat dan sejenisnya. Sedangkan wajah kehidupan sosial mereka sama sekali tidak menunjukkan nilai iman. Sholat iya, tapi agama diabaikan, umat ditelantarkan, urusan hakiki dienyahkan. Inilah tabiat yang hari ini muncul secara nyata dan meluas di sekeliling kita.

*Berfikir tentang Ilmu*

Ketika menuntut suatu ilmu maka sebenarnya kita sedang mengumpulkan nama-nama. Tahukah kita bahwa mengumpulkan nama-nama adalah hal yang merupakan ciri kekuatan yang dimiliki oleh Nabi Adam ‘alaihissalam. Dengannya Nabi Adam alaihissalam dimuliakan oleh para malaikat sesuai dengan perintah dari Allah. Dengannya pula Nabi Adam dipersiapkan oleh Allah untuk menjadi khalifah di muka bumi. Dengan tetap bahwa yang menjadi tugas utamanya adalah sebagai hamba dari Allah yang berkewajiban untuk mengabdi dan beribadah kepada-Nya. Dari sini timbullah pemikiran bahwa ketika kita berniat mencari dan menimba ilmu sebanyak-banyaknya, baik ilmu agama ataupun ilmu duniawi maka harus dimaksudkan sebagai upaya untuk menguatkan kedudukan diri kita sebagai khalifah ataupun sebagai hamba Allah.

_Ilmu untuk Memperbaiki Rasa Kehambaan_

Lagi pula kalau kita fikirkan, sebetulnya apa saja yang kita pelajari dari kehidupan sosial dan alam semesta, bukankah itu semua merupakan ayat-ayat Allah Subhanahu Wa Ta’ala. Jadi ketika kita mempelajari ilmu fisika, kimia, biologi, kedokteran antropologi antariksa ilmu bumi mau ke lautan dan seterusnya semuanya itu adalah ilmu untuk mengungkap rahasia dan kaidah yang ada pada ayat-ayat Allah. Semua itu seharusnya semakin mengantarkan jiwa dan pikiran kita, hati dan citra diri kita untuk melihat kebesaran Allah subhanahu wa ta’ala pada ayat-ayat-Nya. Di saat yang sama kita harus menyadari tentang kerdil dan kecilnya diri kita dihadapan Allah Subhanahu Wa Ta’ala.

Lalu apa yang akan muncul kemudian ketika dua kesadaran itu hadir dalam pikiran kita tiada lain kita akan selalu memperbaiki penghambaan kita kepada Allah. Kita akan merasa bahwa kita takut kepada Allah karena Kemahakuasaan Allah itu dan betapa kita harus bersyukur kepada-Nya karena besarnya karunia yang Allah berikan kepada kita. Dari mana kita tahu? Kita tahu itu dari membaca ayat-ayat-Nya. Lalu apa ujung daripada semua ini tiada lain ialah hadirnya kemauan yang kuat dalam diri kita untuk memperbaiki ibadah-ibadah kita selama ini.

Memperbaiki ibadah memang pada dasarnya adalah dengan cara berilmu tentang ilmu agama yang mempelajari tentang syariat. Akan tetapi hadirnya kesadaran tentang Kemahabesaran Allah subhanahu wa ta’ala itu bisa timbul dari renungan terhadap jati diri kita dan renungan terhadap tanda-tanda kekuasaan Allah di alam semesta dan ini diperintahkan oleh-Nya. Oleh sebab itu maksud bahwa ibadah kita akan harus lebih diperbaiki lantaran pengenalan kita terhadap Allah melalui ayat-ayat-Nya di alam semesta.

Jadi yang kita perbaiki adalah kesadaran jiwanya dan itu otomatis akan mendorong upaya kita untuk semakin menyempurnakan sikap terhadap kita dalam beribadah kepada Allah. Mungkin selama ini shalat kita lalai, cara kita sujud belum tuma’ninah dan lain sebagainya tetapi ketika kesadaran tentang Kemahakuasaan Allah yang ada pada ayat-ayat-Nya itu datang, maka shalat kita akan semakin baik. Itulah harapan dari semua urusan dari upaya kita menambah ilmu tentang ilmu apapun.

_Ilmu untuk Menunjukkan Sikap Mencintai Umat_

Berikutnya yang menjadi tujuan daripada kita mengumpulkan ilmu dan berfikir tentang segala sesuatu hal dimaksudkan untuk memperkaya amal sholeh. Tahukah kita apa sebetulnya hakekat daripada amal sholeh? Ternyata kalau kita perhatikan dari ayat-ayat Al-Quran, amal saleh itu lahir dari keimanan dan dia mewujud dalam fakta kehidupan sosial. Hal ini dapat kita temukan misalnya dalam surat al-‘ashr. Di situ dikatakan bahwa orang-orang yang dikecualikan dari orang yang rugi, adalah mereka orang yang beriman dan beramal saleh serta saling berwasiat dalam kebaikan dan di dalam kesabaran. Amal sholeh berada di tengah, antara iman dan sikap saling menasehati. Artinya amal shaleh itu lahir dari keimanan dan mewujud dalam bentuk menjaga kehidupan sosial agar orang-orang selalu berada dalam kebenaran dan kesabaran.

Yang paling berhak mendapatkan kebaikan dari diri kita siapakah mereka? Golongan manusia yang harus mendapatkan perhatian dari diri kita untuk kita upayakan agar kehidupan mereka semakin baik kesejahteraannya, semakin baik ibadahnya, semakin baik pola kehidupan, untuk mencapai kebahagiaannya tentu tiada lain adalah umat Islam. Umat Islam adalah golongan manusia yang harus menjadi pusat perhatian kita bagaimana agar kehidupan mereka semakin dekat kepada Allah, agar kesejahteraan mereka semakin makmur, agar semakin tunduk kepada Allah, agar mereka semakin baik ibadah ibadahnya. Itulah yang harus menjadi sasaran dari upaya kita melakukan amal saleh.

Dan amal sholeh itu hadir bukan hanya karena faktor iman saja, akan tetapi dia dikayakan dan diluaskan oleh kedalaman akan nilai-nilai ilmu yang dimilikinya baik ilmu agama ataupun ilmu tentang duniawi. Dari sini dapat kita simpulkan bahwa salah satu tujuan dari pada upaya kita menambah ilmu pengetahuan dan menambah penguasaan kita terhadap ilmu-ilmu yang ada di dunia ini adalah tiada lain untuk membuat agar amal shaleh kita semakin banyak ragamnya, semakin luas jangkauannya, semakin mendalam dan bermakna nilainya dalam membentuk masyarakat Islam yang lebih baik baik lahirnya ataupun batinnya. Jadi setelah kita berpikir bahwa ilmu yang akan kita kembangkan tiada lain adalah untuk memperbaiki ibadah-ibadah kita kepada Allah karena ditopang oleh kesadaran kehambaan yang mendalam juga dimaksudkan agar ilmu yang kita peroleh itu pada akhirnya mampu kita amalkan, kita gunakan untuk mengangkat derajat kaum muslimin.

Dan hal ini memang merupakan suatu tujuan dan hal yang sangat dicita-citakan oleh setiap Mukmin bahwa kehadirannya di dunia adalah untuk memberikan manfaat sebanyak-banyaknya terutama bagi umat Islam dan umumnya bagi umat manusia secara keseluruhan. Cita-cita dan manfaat yang besar itu tidaklah mungkin keluar dari orang yang tidak berilmu atau keluar dari orang yang berilmu tetapi di dalam dirinya tidak terdapat keimanan kepada Allah atau di dalam dirinya tidak memiliki orientasi untuk memperbaiki ibadah dan memperkaya amal sholeh nya. Oleh karena itu kita sebagai kaum muslimin yaitu orang-orang yang beriman kepada Allah subhanahuwata’ala upaya apapun dalam kehidupan kita terutama dalam hal berilmu mestilah dimaksudkan untuk agar kita bisa berperan lebih nyata bagi kemandirian dan kemuliaan umat Islam.

_Jangan Meniru Orang Kafir dalam Berilmu_

Janganlah kita bertabiat sebagaimana orang-orang kafir atau kebanyakan manusia yang lalai kepada Allah Subhanahu Wa Ta’ala. Jangan seperti orang-orang munafik atau orang-orang yang melupakan Allah. Bagi mereka ilmu yang diperoleh tidaklah mendatangkan kebahagiaan sebagaimana seharusnya. Padahal ilmu telah mendatangkan kemudahan bagi hidup mereka, seharusnya ilmu itu membawa mereka kepada satu tingkat ketentraman dalam hati dan kebahagiaan jiwa, namun keadaan itu ternyata tidak terwujud dalam kehidupan mereka. Mengapa hal itu terjadi tiada lain karena ilmu yang mereka miliki tidak diperuntukkan sebagai penunjang akan tugasnya untuk menghamba kepada Allah untuk mengelola bumi dengan sebaik-baiknya dan untuk meningkatkan kesejahteraan umat manusia secara adil dan merata.

Utamanya ilmu yang mereka miliki bukanlah dimaksudkan untuk urusan iman mereka, mengembangkan semua jurusan ilmu tiada lain adalah untuk menghiasi duniawi mereka, agar harta mereka bertambah banyak, agar kota mereka bertambah Indah, agar mereka bisa tampil di dunia ini sebagai orang yang gemerlap dalam hal harta kekayaan. Ilmu memang bisa mendatangkan kekayaan tetapi bukan itu yang menjadi tujuan ilmu yang Allah titipkan kepada manusia. Itu hanyalah sebagai kebaikan yang Allah berikan buah dari pada ilmu, akan tetapi yang harus kita tuju daripada ilmu adalah suatu suatu keadaan di mana ibadah kepada Allah semakin mantap dan keadaan manusia betul-betul merasakan nilai keadilan dan kesejahteraan, dan terasa tentram ketika dinikmati.

Adapun hari ini kita menyaksikan berbagai kemajuan di negara-negara Eropa, itu dasarnya dikembangkan oleh orang-orang yang berkiprah dan berfikir. Tetapi tidak berpondasikan kepada keimanan dan Ma’rifatullah dan tidak diperuntukkan bagi keimanan atau menegakkan agama. Maka semuanya itu pada hakekatnya bukanlah kebaikan tetapi merupakan keburukan. Dan karena semua itu dipandang sebagai suatu keburukan maka hakekatnya kegemilangan dan gemerlapnya duniawi yang mereka raih, sesungguhnya bagi hati mereka, bagi fikiran mereka itu merupakan siksa yang tiada henti-hentinya. Jadi ilmu yang mereka miliki dan kemajuan dunia yang ada dalam genggaman mereka itu semuanya berujung siksa lahir batin bagi mereka.

Bagaimana membuktikan hal ini sebagai suatu pernyataan yang benar. Pertama, ilmu dan kekayaan yang mereka miliki serta kekuasaan atas dunia tidaklah menambah-nambah pada jiwa dan pikiran mereka melainkan semakin nyata kekafiran mereka kepada Allah. Kita mengetahui bahwa ketika manusia terombang-ambing dan terus-menerus berada dalam kekafiran, dia semakin jauh dari Allah subhanahu wa ta’ala dan itu artinya mereka semakin dekat dengan azab dan siksa dari Allah subhanahu wa ta’ala. Ini pandangan teologis. Kedua, dalam kenyataannya di lapangan atau fakta-fakta yang dapat kita lihat maka kita akan melihat betapa mereka memiliki sifat yang brutal terhadap kemanusiaan. Mereka memiliki sifat tamak terhadap dunia, mereka memiliki sikap yang sangat tidak manusiawi.

Ditambah lagi dengan keadaan masyarakatnya yang selalu penuh dengan kekacauan, penuh dengan kejahatan, penuh dengan peristiwa pencurian, pemerkosaan hilang rasa cemburu, hilang kemuliaan dan kehormatan mereka dalam kehidupan sebagai umat manusia. Yang ada pada mereka dan yang dapat kita lihat hanyalah makhluk-makhluk yang berotak, hanya saja otak itu kemudian menemukan tata cara pergunakan hukum-hukum alam. Itu tidak ada bedanya dengan kemampuan yang dimiliki oleh Firaun, kaum Aad, kaum tsamud, yang mampu mengukir peradaban yang luar biasa di muka bumi, mereka menjadi khalifah di muka bumi tetapi mereka tidak menjadi hamba Allah yang baik.

Kita menemukan bahwa ujung kehidupan Firaun dan kaum Aad serta kaum Tsamud adalah datangnya azab kepada mereka. Maka ketika kita melihat orang-orang kafir pada saat sekarang dimana kehidupan duniawi mereka itu maju akan tetapi Allah tidak juga menurunkan azab kepada mereka itu adalah tanda lain dari suatu kenyataan yang berbeda. Apa maksud tanda lain dari suatu kenyataan yang berbeda itu? Firaun, kaum Aad dan kaum Tsamud dan mereka diazab oleh Allah subhanahu wa ta’ala, datangnya azab adalah setelah datang kepada mereka pemberi peringatan yang secara telah jelas mengingatkan kepada mereka tentang siapa Allah dan bagaimana sejatinya kehidupan dunia. Sehingga menjadi jelaslah bagi akal pikiran mereka tentang hakikat hakikat kebenaran. Kemudian mereka memilih untuk tidak membenarkan, untuk tidak beriman, untuk tidak tunduk kepada Allah Subhanahu Wa Ta’ala. Maka pada akhirnya mereka dibinasakan oleh Allah subhanahu wa ta’ala.

Sedangkan orang-orang kafir pada zaman sekarang kenapa mereka tidak dihancurkan oleh Allah subhanahu wa ta’ala setelah sekian lama mereka mengadakan kerusakan dimuka bumi, terutama di tanah air-tanah air umat Islam. Maka alasannya adalah karena selama ini kepada mereka belum datang orang-orang yang memberi peringatan terhadap penguasa-penguasa kafir Eropa itu tentang Islam, tentang kemuliaan Islam, tentang baiknya Islam, tentang benarnya Islam.

Jadi orang-orang kafir itu menurut suatu sistem dan sunnatullah sebagaimana yang telah berlaku pada umat-umat terdahulu sedang menunggu kedatangan para pendakwah Islam untuk menjelaskan kepada mereka tentang Islam. Sehingga apabila pendakwah-pendakwah itu telah sangat jelas menjelaskan Islam kepada mereka lalu mereka tetap dalam kekafirannya maka yakin azab Allah pasti akan datang kepada mereka. Atau mereka kemudian masuk ke dalam Islam sehingga mereka justru menjadi tonggak-tonggak perjuangan Islam yang akan menyebar ke seluruh dunia itu tidaklah mustahil.

_Kewajiban Meluruskan Kembali Ilmu_

Ketika kita menyaksikan bahwa ilmu dan kekayaan seperti sebagaimana dijelaskan dalam paragraf diatas maka kita memiliki suatu kewajiban untuk meluruskan kembali fungsi yang utama daripada ilmu dan kekayaan yaitu sebagai sarana untuk menguatkan ibadah kita kepada Allah. Bukan untuk menunjukkan kesombongan atau berbuat sombong diatasnya karena apapun yang kita miliki dari ilmu dan kekayaan, hakikatnya adalah, pertama dia bersumber dari Allah subhanahu wa ta’ala; kedua, semuanya itu akan kembali kepada Allah, akan dicabut kembali sedangkan yang tersisa dari diri kita adalah tentang amalan dan sikap kita terhadap kekayaan tersebut kemana arah yang kita tuju ketika menggunakan keduanya.

Seseorang selama hidup di dunia boleh jadi mendapatkan puncak-puncak kemuliaan dan kehormatan sebagaimana seharusnya, dari umat manusia. Dan itu merupakan tabiat yang biasa di dalam tataran sosial. Bahwa orang-orang yang telah mencapai puncak-puncak ilmu dan juga mencapai kekayaan dunia, mereka mendapatkan kemuliaan. Sebab bagaimanapun keduanya merupakan tanda kemuliaan dunia yang ada pada diri manusia dan itu merupakan karunia dari Allah.

Hanya saja ketika mereka berilmu dan berharta akan tetapi tidak disertai dengan keimanan kepada Allah Subhanahu Wa Ta’ala maka seluruh kemuliaan duniawi yang mereka miliki tidak menjadi catatan amal saleh bagi mereka di hadapan Allah dan juga tidak akan bisa memberikan manfaat yang banyak bagi umat manusia dari sisi kebenaran dan kesabaran dan ketaatan kepada Allah.

Oleh karena itu maka ketika kita mencari ilmu mencari harta kekayaan dan mencari apapun yang sekiranya itu disangka akan mengangkat derajat diri kita dihadapan manusia maka yang harus dicamkan dalam jadi kita, bahwa semua itu harus diniatkan untuk mendekatkan diri kepada Allah dan untuk menguatkan fungsi kita dalam menyelamatkan manusia dan mendakwahkan Islam kepada mereka.

Sehingga dengan demikian seorang ilmuwan duniawi yang menguasai ilmu fisika, biologi, kimia, kedokteran, militer, diplomasi dan lain sebagainya tetapi mereka harus mendasarkan diri kepada ilmu-ilmu Al-Quran dan ilmu-ilmu agama terlebih lagi di dalam Al-Quran itu sendiri terdapat dasar-dasar ilmu tentang duniawi. Kemudian mereka menjadikan ilmu-ilmu yang mereka miliki itu untuk mengokohkan amal sholehnya sehingga menjadi catatan amal kebaikan di sisi Allah untuk dia jemput nanti di akhirat kelak.

_Belajar Ilmu ke negeri Kafir_

Oleh karena itu masyarakat Islam ketika kita melihat bahwa puncak-puncak ilmu duniawi berada dalam genggaman orang-orang kafir, silakan siapapun untuk belajar di negeri sana. Untuk menimba ilmu di negeri sana sehingga menguasai bidang yang mungkin nantinya dapat membantu kehidupan pribadi, dia, masyarakat dia dan negaranya. Akan tetapi mestilah dicamkan dua poin utama. Poin pertama, adalah dia harus membekali diri dengan ilmu ilmu agama yang mumpuni agar dia tidak terbawa arus pemikiran yang salah di negeri sana. Poin yang kedua, adalah meniatkan sebagaimana dijelaskan di awal-awal paragraf ini bahwa ilmu yang nanti dia kumpulkan itu dimaksudkan agar dia menjadi hamba Allah yang semakin dekat dengannya dan agar menjadi hamba Allah yang berperan nyata sebagai khalifah dimuka bumi untuk menyebarkan Islam ke muka bumi dan untuk memperkaya amal shaleh sehingga menjadi catatan amal kebaikan di akhirat kelak.

Dan itu artinya bahwa ketika dia menimba ilmu di negeri kafir jangan sampai dia kehilangan iman bahkan sudah seharusnya ketika ilmu itu dia kuasai dipergunakan untuk mengangkat kemuliaan dan derajat kaum muslimin. Karena perubahan masyarakat di manapun itu sangat tergantung kepada para pemikirnya, tergantung kepada para pemikir dan pemegang kebijakan sosial dan politik atas masyarakat tersebut. Memang itu bukanlah satu dua faktor yang mempengaruhi wujud kehidupan masyarakat akan tetapi itulah yang merupakan poin utamanya. Artinya ketika di suatu masyarakat tidak memiliki tokoh-tokoh ilmuwan dan tokoh-tokoh pemegang kebijakan yang secara signifikan mempengaruhi kehidupan masyarakat maka keadaan masyarakat itu akan stagnan, tidak berkembang, akan tetap dalam keadaan yang statis.

_Pentingnya Ilmuwan_

Jadi begitu pentingnya kedudukan seorang ilmuwan sehingga arah dan tujuan yang harus dipegang oleh seorang ilmuwan itu merupakan poin yang sangat penting dan fundamental untuk ditanamkan dalam jiwa dan pikiran setiap muslim yang akan mengambil peran sebagai ilmuwan dan pemegang kebijakan bagi masyarakatnya. Perubahan suatu masyarakat betul-betul sangat tergantung kepada bagaimana para pemimpin mereka dan ilmuwan-ilmuwan mereka membangun dan mengelola kehidupan mereka sebagai sumber daya manusia dan mengelola lingkungan mereka sebagai sumber daya alam sehingga terwujud suatu tatanan dan kemajuan yang adil, sejahtera dan menentramkan.

Bersyukurlah selama ini masyarakat kita senantiasa berada dalam perkembangan yang sangat dinamis dengan munculnya faktor berupa selalu munculnya tokoh-tokoh ilmuwan dan tokoh-tokoh yang sangat kuat dalam bidang kebijakan sosial dan politik. Dan itu tidak lepas dari peranan lembaga pendidikan peranan kebijakan negara dan peran sikap dinamis masyarakat kita sendiri, yang memiliki sifat terbuka yang memiliki sifat mau maju dan memiliki sifat punya harapan bahwa esok akan lebih baik dibandingkan dengan hari ini. Demikian pula yang ada pada masyarakat Islam secara keseluruhan.

Namun yang harus diperhatikan sekali lagi tentang semua upaya itu adalah kemana kita akan melangkah dan menuju. Memikirkan bagaimana hidup kita supaya nyaman dan sejahtera juga termasuk memikirkan urusan bangsa dan Negara merupakan suatu kebaikan, itu merupakan hal yang sangat terhormat dan mulia. Akan tetapi hendaknya sebagai kaum muslimin kita juga harus melihat suatu realita bagaimana keadaan umat Islam saat ini yang hampir tidak memiliki kemuliaan di hadapan manusia dikarenakan keadaannya yang lemah, dikarenakan keadaannya yang tidak bisa mencapai kemajuan dunia sebagaimana yang dicapai oleh orang-orang kafir.

Sedangkan Islam sama sekali tidak memberikan larangan ke arah pernguasaan ilmu, bahkan Islam memberikan dorongan agar kaum muslimin menjadi penguasa-penguasa di atas bumi. Tinggal bagaimana kita mengarahkan diri kita sendiri, keluarga dan masyarakat agar semua tampil sebagai orang-orang yang memiliki ilmu sampai di puncak-puncaknya. Kemudian bagaimana mendorong agar kebijakan pemerintah mampu membawa setiap negara dan bangsa dimana masyarakat Islam tampil menjadi bangsa bangsa yang terhormat dan maju.

*Sistem Berfikir Seorang Muslim*

Bagaimana cara berpikir seorang mukmin sebagaimana yang seharusnya dalam kaitannya dengan upaya mencari, mengumpulkan dan meneliti sains dan ilmu-ilmu yang lainnya.

Bila kita berbicara ilmu agama maka sudah pasti orang yang mempelajarinya ketika disertai dengan semangat keimanan dia akan sampai kepada suatu kualitas keimanan yang lebih baik. Di kala itu orang akan menghadapi suatu kenyataan di mana hatinya semakin bersih. Dan akalnya penuh dengan kajian-ajian terhadap ayat-ayat al-Qur’an dan Hadits.

Namun ketika kita melihat realitas tentang bagaimana orang-orang yang mengkaji ilmu dunia maka akan tampak dalam pandangan kita bahwa mereka adalah orang-orang yang melupakan hal-hal terkait dengan agama. Mereka kurang memperhatikan ilmu agama, cara beragama, sikap beragama. Karena tidak ada keterkaitan antara ilmu dunia dan ilmu agama selama ini.

Hal itu menunjukkan dua kondisi yang sangat bertolak belakang, tidak ada keterjalinan antara ilmu dunia dan ilmu agama. Orang-orang yang ahli agama seakan-akan lupa terhadap ilmu-ilmu dunia. Bukan hanya lupa tetapi memang kenyataannya mereka betul-betul tidak menguasainya. Sebaliknya orang-orang yang ahli ilmu dunia lupa terhadap ilmu-ilmu agama bahkan mereka betul-betul tidak menguasainya.

Padahal seorang mukmin atau seorang muslim dia dapat mencerdaskan akalnya dengan ilmu dunia dan mencerdaskan hatinya dan dadanya dengan ilmu agama. Sehingga pada saat yang sama dia menjadi seorang saintis sekaligus juga seorang ulama dalam arti dia memahami tentang seluk beluk ibadah kepada Allah baik secara syariat ataupun secara hakikat dan ma’rifat.

Oleh karena itu penting sekali bagaimana kita menyajikan suatu penjelasan yang luas tentang bagaimana seharusnya seorang mukmin berfikir baik dalam kaitannya dengan ilmu-ilmu agama ataupun ilmu-ilmu dunia. Kita sangat berharap bahwa umat Islam itu tampil sebagai sosok yang menguasai ilmu dunia sekaligus juga menguasai ilmu agama.

Hal ini sebagaimana yang pernah terjadi pada generasi ketika Islam sampai di puncak peradaban. Memang pada saat Islam sampai di puncak peradaban dorongan psikologis dan semangat pada setiap diri mukmin di waktu itu sangat besar untuk mengkaji ilmu agama ataupun ilmu dunia. Bahasan ilmu dunia dan ilmu agama bukanlah dimaksudkan untuk mendikotomi akan tetapi hanya sebagai klasifikasi dan memiliki sifat hierarki.

Mudah-mudahan paparan yang akan saya sampaikan selanjutnya memberikan manfaat dan pencerahan baik bagi diri saya ataupun teman-teman sehingga teman-teman dalam grup peradaban Islam ini juga menemukan sisi-sisi penguat bagaimana seharusnya seorang mukmin atau muslim itu berpikir.

Sesungguhnya apa saja yang kita lihat, kita perhatikan dan kita rasakan kenyataan-kenyataan yang dapat ditangkap oleh panca indra dan akal pikiran serta hati maka kita akan menyimpulkan bahwa semuanya itu adalah ayat-ayat Allah. Ayat-ayat Allah itu merupakan sebuah kenyataan yang menunjukkan keberadaan Allah Subhanahu Wa Ta’ala. Meskipun kita tidak melihat Allah tapi kita yakin baik secara akal ataupun hati dan keimanan bahwa dibalik keberadaan alam semesta dan diri kita ada penciptanya dan dialah Allah Subhanahu Wa Ta’ala.

Maka secara logika yang sangat sederhana ketika kita melihat ayat-ayat Allah dari apapun yang dapat kita cermati baik itu berupa diri kita, baik itu berupa alam semesta, berupa dunia dan ayat-ayat kallamullah itu sendiri maka sudah seharusnya membuat kita semakin mengenal Allah. Sehingga orang-orang yang memiliki kapasitas pengetahuan yang luas dan mendalam tentang manusia, tentang alam semesta, tentang dunia dan tentang apa saja yang ada di dalam kehidupan kita ini, sudah seharusnya membuat dia semakin mengenal Allah.

Begitulah logika sederhananya. Seseorang ketika melihat keajaiban atau keluarbiasaan pada sifat fisik manusia termasuk juga tentang bagaimana manusia itu berpikir, merasa, berkeinginan, berjuang dan lain sebagainya, di harus ingat tentang siapa penciptanya. Betapa kagumnya kita terhadap manusia dari berbagai sudut pandang maka betapa Maha Kuasa Allah yang telah menciptakannya. Orang-orang yang memiliki pengetahuan dan ilmu yang mendalam tentang susunan organ dan tubuh manusia dia akan menemukan banyak sekali keajaiban dan yang membuatnya merasa takjub dengan apa yang terdapat pada tubuh manusia baik dilihat dari susunannya, sistemnya dan cara kerjanya.

Belum lagi berbicara tentang unsur hati, unsur pikiran, unsur intuisi, perasaan, pengalaman dan perjalanan sejarah umat manusia. Intinya adalah hal yang sangat mengherankan bagi kita apabila orang-orang semakin mendalam ilmunya, salah satunya tentang tubuh manusia tentang organ yang ada didalamnya tentang sistem dan kinerja nya namun tidak membuat dirinya kagum terhadap penciptanya.

Permasalahan hari ini kenapa orang-orang mereka semakin mendalam ilmunya tentang kali ragam cabang ilmu itu tidak membuat mereka semakin bagus dalam ibadahnya tidak semakin kuat loyalitasnya terhadap Islam dan ketaatan kepada Allah Subhanahu Wa Ta’ala itulah sebuah pertanda bahwa hari ini terjadi suatu sistem berpikir yang salah pada umat manusia. Dan hal ini tidak terjadi secara kebetulan akan tetapi merupakan sebuah rancangan besar dari orang-orang yang ingkar kepada Allah.

Atau dengan kata lain boleh dikatakan ini merupakan suatu rancangan daripada makhluk yang membenci umat manusia agar jauh dari Allah. Ya itu syetan laknatulloh. Hari ini kita harus selalu ingat bahwa ketika kita berbicara tentang kehidupan manusia maka banyak faktor yang terlibat di dalamnya. Ketika berbicara tentang keburukan maka faktor hawa nafsu, kebodohan, kelalaian, godaan syetan itu semuanya terlibat. Tidak ada satu perkara pun yang terpisah dari keburukan atas hal-hal tadi.

Orang-orang yang memiliki ilmu di bidang sains apalagi, di bidang agama maka berarti dia memiliki suatu penguasaan terhadap ayat-ayat Allah. Semua makhluk Allah adalah kalam-Nya. Apa maksudnya? Bahwa semua makhluk Allah itu menggambarkan ilmu yang dimiliki Allah. Setiap orang memiliki kadar pengetahuan dan pengenalan terhadap ilmu-ilmu tersebut sejauh dan sedalam apa yang Allah berikan kepadanya. Sehingga orang itu mengenal siapa penciptanya.

Setiap orang akan sampai pada suatu pemikiran bahwa dibalik kerumitan dan keteraturan alam semesta dari berbagai segmen dan sistemnya bentuk dan ukurannya, dan orang-orang yang mendalam Imunya lebih mendalam lagi pengetahuannya, dia akan menyimpulkan betapa Maha besarnya Allah Maha kuasanya Allah Dan tidaklah patut dia dipersekutukan dengan apapun. Akan semakin kuat tauhidnya kepada Allah. Karena dia melihat kenyataan betapa teraturnya alam semesta ini.

Dalam kajian kajian tasawuf dikatakan bahwa kita bisa melihat Allah dalam hal apapun. Maksud kalimat itu secara sederhana menurut kapasitas berpikir kita adalah kisah bisa melihat ayat yang menunjukkan kebesaran Allah pada apapun yang kita lihat. Hal ini karena memang Apapun yang terjadi dan ada di muka bumi semuanya merupakan rancangan dan senantiasa berada dalam genggaman dan pemeliharaan Allah.

Itulah sebabnya kenapa kita membaca alhamdulillahirobbilalamin. Karena dalam hal apapun yang ada di alam semesta itu terdapat Kekuasaan Tuhan, bagaimana cara Allah memelihara kehidupan. Betapa Maha Besarnya Allah, betapa Maha terpuji nya Allah. Disaat kita senantiasa mengucapkan kalimat-kalimat pujian kepada Allah yaitu ucapan Hamdalah, maka disaat itu sebetulnya kita sedang berdzikir kepada Allah. Dari sini tampak keterhubungan yang sangat erat bahwa setiap kali kita meneliti tentang ayat-ayat Allah, pasti lisan kita akan berdzikir. Dan ini merupakan sesuatu yang wajar ada pada sifat orang-orang Mukmin.

Apabila kita berbicara tentang orang-orang yang kafir dalam artian orang-orang yang tidak beriman kepada Allah dan tidak beriman kepada hari akhirat, maka mereka ketika mengkaji ilmu, memperdalam sains dan mengembangkan teknologi, semua yang mereka peroleh itu sama sekali tidak akan membuat mereka mengagumi akan Kemahabesaran Allah. Hal ini kalau dilihat dalam logika yang pendek tidak aneh. Artinya karena mereka tidak beriman kepada Allah, maka ilmu yang mereka peroleh tidak semakin mengenal Allah. Walaupun pada hakekatnya ketika mereka kafir kepada Allah itu sesuatu yang mengherankan.

Adapun yang menjadi sorotan, kita menghadapi suatu kenyataan dan fakta, tentang kita hari ini. Tidak dapat dipungkiri bahwa ada selalu ada orang-orang yang ketika mereka memperdalam ilmu sains dan ilmu-ilmu dunia mereka tetap menjadi hamba-hamba Allah yang senantiasa bertakwa kepada-Nya. Adapun kebanyakannya, ialah cara berpikir kaum muslimin mengikuti cara orang-orang kafir tadi. Mereka tidak hendak dan tidak ada niat dan tidak ada fakta untuk menghubungkan antara penguasaannya terhadap ilmu dunia sebagai suatu sarana untuk mengenal Allah lebih dekat. Padahal nyata-nyata sejak jauh hari dia yakin bahwa alam semesta itu diciptakan oleh Allah.

Kembali lagi kepada pokok dan topik diskusi kita. Sudah seharusnya ketika kita mengkaji ayat-ayat Allah hati harus selalu terkait dengan Allah. Kita harus selalu ingat tentang Pencipta, ketika kita mengkaji ayatt-ayat-Nya. Kita harus selalu ingat bahwa manusia dan alam semesta itu adalah makhlukNya, adalah kalam-Nya, ayat-ayat-Nya. Semua urusan kehidupan yang sedemikian rapihnya akan semakin disadari oleh orang-orang yang mendalami dan menelitinya bahwa Tuhan Maha Agung.

Ketika seseorang semakin menyadari akan Kekuasaan Allah subhanahu wa ta’ala pada alam semesta ini, melalui kajiannya terhadap ilmu-ilmu, di mana ilmu-ilmu itu mengungkap rahasia-rahasia alam dan kehidupan, maka dia akan melihat dirinya kecil dan lemah. Dia akan melihat bahwa dirinya diciptakan, artinya dia berada dalam dan kekuasaan Allah. Di saat itu dia harus semakin menyadari akan makna dan nilai kehambaan dirinya dihadapan Allah. Untuk itulah wajar dia menunjukkan sikap tawadhu merendah di hadapan-Nya.

Ketika dia mengarahkan pandangan dan kesadaran ke makhluk-makhluk ghaib yaitu malaikat dan jin. Maka dia akan melihat tentang Kemahakuasaan Allah dalam menciptakan mereka, mengatur mereka, mengarahkan mereka, membina kehidupan mereka, dengan sifat dan tugasnya masing-masing. Malaikat ditugaskan oleh Allah untuk mengurus alam dan manusia terkait benda-benda yang ada di alam semesta itu. Adapun jin yang ditugaskan oleh Allah sebagaimana manusia untuk beribadah. Mereka hidup di suatu alam yang tidak bisa dilihat oleh manusia. Sebagaimana juga malaikat. Kita bisa mengetahui keberadaan Jin dengan sifat dan segala sesuatunya sangat terbatas panjang yang diberitahukan oleh Allah. Karena kita tidak memiliki alat untuk mengetahui mereka lebih jauh melainkan hanya dengan Wahyu.

Namun betapapun terbatasnya pengetahuan kita tentang malaikat dan jin, yaitu dibatasi oleh sejauh penjelasan dari Wahyu dan Hadits namun tetaplah semua itu harus membuat kita menyadari terus-menerus dan semakin mendalam tentang kemahakuasaan Allah.


Ditulis dalam Uncategorized

Memulikan Hidup dan Agama

*Memuliakan Hidup dan Agama*
_Oleh: Ading Nashrulloh_
*Edisi 2019*
Memuliakan agama itu adalah dengan mengamalkannya. Letak kemuliaan agama terutama dalam panggung sejarah dan kenyataan-kenyataan sosial terletak pada pemahaman umat yang lurus terhadap agamanya. Dengan pemahaman itu mereka menjalankan, mengamalkan, dan melaksanakan agama dengan semua pokok dan cabang-cabangnya. Mereka tidak meninggalkan dan mengingkari satupun perkara atau bagian dari agama. Dalam hal ini kaidah melaksanakan Islam secara kaffah berlaku pada umatnya. Mereka memahami Islam dan tidak berhenti hanya sebatas pengetahuan saja, mereka pun dengan segera mempersiapkan diri dan berbuat untuk melaksanakan apa yang diperintahkan agama. Dan sesegera pula meninggalkan apa yang dilarang oleh agama.

Memuliakan hidup itu hanyalah dengan agama. Orang yang tidak pernah mengenal agama secara benar dan tidak pernah menjalankan agama sebagaimana yang seharusnya, tidak akan pernah mencapai kemuliaan hidup baik di dunia maupun di akhirat. Untuk memuliakan hidup dengan agama, pertama kita harus mengenal hakikat hidup, dunia dan manusia dari sudut agama, kedua kita harus mengetahui hakikat agama beserta ajaran-ajarannya dari sumbernya yakni Al-Quran dan Sunnah Nabinya. Ketiga, pokok agama adalah keyakinan kepada Alloh. Iman kepada Alloh. Sehingga kadar agama kita diukur dari seberapa besar perhatian kita kepada Alloh, baik dalam kadar ilmu kita, kadar akhlak kita kepada-Nya, dan kadar pengharapan kita atas pertolongan-Nya. Keempat, pokok hidup pada manusia tiga diantaranya adalah berfikir, merasa dan memenuhi kebutuhan fisik. Cara mengelola fikiran kita, hati kita dan makanan kita harus tunduk dalam aturan agama.

Agama memilki peranan yang besar dalam kehidupan manusia. Peranan paling besar dari agama bagi manusia adalah peranannya terhadap pemeluknya sendiri. Tidak ada manusia yang akan mengambil manfaat dari agama kecuali orang yang memeluknya. Manusia yang paling besar peranannya di panggung kehidupan dunia ini adalah manusia yang beragama. Peran manusia yang paling besar lagi di dunia ini adalah yang mengembangkan agama, medakwahkannya dan mewariskannya kepada generasi berikutnya.

Karena itu jika dipandang, agama penting bagi manusia maka jauh lebih penting lagi manusia yang beragama. Umat yang beragama keadaanya lebih baik daripada yang tidak beragama. Islam sudah besar, meskipun manusia mendustakannya, tetapi untuk menjadi manusia besar memang banyak yang harus dipahami, dilakukan, dijalani, dituju di bawah naungan cahaya Islam. Dan karena demikian pentingnya manusia yang beragama, maka sudah selayaknya setiap komponen umat ini mulai memikirkan bagaimana mencetak generasi selanjutnya yang imannnya kokoh, ibadahnya lekat, ilmunya tinggi, ekonominya kuat, fisiknya kuat, cita-citanya tinggi, dan struktur kekuasaannya luas. Mentalnya, keberaniannya, kecerdasannya unggul, kebaikan akhlak dan budi pekertinya baik dan cemerlang ide dan kreatifitasnya.

Karena demikian pentingnya agama, maka manusia sudah selayaknya mengenal agama lebih lekat. Salah satunya adalah dengan mengenal pokok-pokok agama. Demikian pula betapa pentingnya manusia yang beragama sehingga manusia perlu tahu sikap keagamaan yang benar, lurus dan baik. Tanpa mengenal pokok agama, bagaimana manusia bisa beragama dengan baik. Tanpa beragama dengan baik bagaimana pula manusia sampai pada kemuliaan hidup dan kedamaian di muka bumi ini.

Agama itu penting maka tidak boleh ada manusia yang jahil terhadap agama ini. Kekuatan apa saja yang mendistorsikan ajaran Islam harus ditentang. Siapa saja yang menghalangi umat memahami Al-Quran dan Sunah sert dasar-dasar agama harus diasingkan. Agar manusia tidak bodoh terhadap sesuatu yang amat berharga yang harus dimiliki manusia yakni agama dan agar manusia tidak meninggalkan agama lantaran tipudaya filsafat, sains, dunia, hawa nafsu dan syetan.

Manusia dengan sumber dayanya tidak boleh dibiarkan ia berada dalam kemiskinan, kejahilan, keterpurukan, dominasi syahwat dan syetan, tipudaya dunia dan sulap serta sihir. Manusia harus diselamatkan , karena agama punya hak atas mereka agar mereka bisa menikmati hidup indah bersama agama, dan supaya agama dijaga oleh mereka pula dari serangan musuh-musuhnya. Ini agar manusia memiliki martabat yang tinggi yakni dengan beragama, dan agar manusia tidak menyalahgunakan agama untuk kepentingan yang lebih rendah dari manusia dan agama itu sendiri.

Agama adalah penuntun filsafat, ilmu, intuisi, pengalaman dan fitrah manusia agar semua itu berjalan di atas jalan yang benar menuju tujuan penciptaan manusia dan mengarah ke arah jalan Tuhan yang menciptakannya. Beragama berarti aktif berkprah di segala bidang kehidupan dengan memuarakan semuanya untuk menjadi catatan kebaikan di sisi Tuhan untuk bekal di akhirat. Dan menjadikan ibadah, doa, mengharapkan pertolongan Tuhan sebagai poros gerak dan berputarnya roda kehidupan di zaman ia dihidupkan sampai kematian datang menghampirinya.

Akan tetapi manusia harus sadar dan mengakui bahwa tidak setiap apa yang dinamakan agama itu benar hakikatnya. Agama yang benar itu hanyalah Islam. Manusia yang terbaik di dunia ini adalah Muslim. Cara untuk mengenal hakikat ini adalah dengan mengadakan perbandingan atas pokok-pokoknya dengan agama-agama yang lain dan dengan mengkaji pokok-pokok yang ada dalam Islam.
Tuhan yang disembah oleh Islam adalah Alloh. Tuhan yang hak untuk disembah oleh manusia seluruhnya. Kitab sucinya adalah wahyu ilahi yang otentik sepanjang masa. Ajaran mengenai ketuhanan, iman dan hal-hal yang ghaib mudah dicerna akal fikiran manusia. Ajaran-ajarannya tentang moral dan kehidupan yang baik lengkap diaturnya. Peribadatan yang dianjurkannya mudah untuk dilaksanakan, tidak memberatkan, tidak menyusahkan. Itulah Islam, sederhana, tapi sempurna lengkap serta sesuai dengan kemajuan berfikir manusia atas ilmu dan teknologinya.

Siapapun yang menentang Islam adalah keliru dan akan hancur dengan logika yang dibangunnya sendiri. Siapa yang melawan kaum muslimin akan kalah oleh kekuatannya sendiri. Karena argumentasi mereka lemah, dan kekuatan mereka hanya tipuan belaka. Muslimin hakikatnya adalah pemberani sepanjang ia lurus dalam beragamanya, dan kafirin itu ketakutan, sepanjang ia tidak mendapat hidayah untuk memeluk Islam. Karena para pelindung orang-orang kafir itu lemah : dunia, syetan, teknologi, ilmu, agama, berhala mereka semuanya lemah. Sedangkan pelindung Muslim itu Maha Kuat, Maha Kuasa. Karena Dia Tuhan.

Pemimpin orang kafir membawa mereka ke dalam kegelapan hidup, betapapun gemerlapnya dunia dan ilmu serta teknologi meraka. Apa yang ada pada mereka hakikatnya milik Alloh, dalam genggaman Kekuasaan Alloh, dalam pengaturan Alloh. Sedang pemimpin Muslimiin dan Mukminin yakni Alloh membawa manusia kepada cahaya kehidupan dan pencerahan serta kemajuan spiritual dan rohani, betapapun saat ini keadaan kaum muslimin tertinggal jauh akan ilmu dan teknologinya. Hal ini janganlah membuat kecil hati karena dahulu pun di tengah umat Islam ada masa di mana mereka tidak memiliki kecanggihan di bidang sains, filsfat dan teknologi. Seperti yang dialami masa awal Islam yang merupakan masa terbaik dari umat Islam. Ketiadaan sains dan teknologi yang tinggi tidak mengurangi tingginya kedudukan Rosululloh dan para sahabat, padahal di belahan dunia lain seperti Cina, India, Persia dan Romawi berada dalam tingkat sains dan teknologi yang tinggi.

Dalam pandangan manusia, manusia yang besar adalah para pemimpin. Dan pemimpin besar itu dikenal karena kemuliaannya, pengaruhnya bagi kehidupan manusia, banyak pengikutnya, mampu memberikan kehidupan yang baik bagi para pengikutnya, membawa misi kemanusiaan dan mengajarkan nilai-nilai yang berguna. Pemimpin terbesar di dunia ini yang banyak diakui oleh para ilmuwan, dan para pemimpin, dialah Nabi Muhammad Saw, Nabinya umat Islam, yang hakikat sebenarnya Nabi bagi semua manusia di akhir zaman ini.

Tapi manusia itu memang aneh. Mereka mengakui kehebatan Nabi Muhammad Saw tapi tidak mau menerima risalah yang dibawanya. Yang lebih aneh manusia menolak yakin adanya Tuhan padahal bukti sudah begitu nyata dan logis-logis saja.

Akhirnya siapapun diseru untuk kembali belajar agama, membaca Al-Quran dan maknanya, mendirikan Sholat, menjadi pembela kaum muslimin, dan mengelola pribadi, keluarga, masyarakat dan negara berdasar syariat Islam.

Islam memiliki konsep-konsep yang jelas tentang hakikat hidup, dunia, manusia dan alam semesta. Konsep-konsep Islam mengenai manusia dan kenyataan-kenyataan di muka bumi ini merupakan konsep yang dijelaskan Alloh Penciptanya. Sehingga kualitasnya tak perlu lagi dipertanyakan. Siapapun yang menggunakan konsep-konsep sebagaimana yang dijelaskan oleh AL-Quran maka ia akan merasa puas dan tenang batinnya. Akan terarah tindakannya dan cara menyikapinya.

Dalam konsep Islam, kehidupan dunia adalah ujian bagi manusia. Untuk menguji manusia mana yang perbuatannya baik dan mana yang perbuatannya jelek. Mana manusia yang bersyukur dan mana manusia yang kufur. Hidup ini adalah ujian untuk kemudian manusia menerima balasannya di akhirat kelak. Kehidupan ini yang terdiri atas dunia bagian besar, yakni manusia dan alam semesta beserta isinya, hakikatnya adalah manusia diciptakan untuk beribadah kepada Alloh dan alam semesta adalah pelayan manusia. Baik manusia maupun alam adalah ciptaan Alloh Swt. Keberadaan manusia di muka bumi ini adalah berkat kekuasaan Alloh. Alloh yang menyediakan untuknya rezeki, yang memberinya akal, perasaan dan tubuh yang sempurna. Semua itu adalah sarana agar manusia beribadah kepada Alloh. Alloh turunkan wahyu sebagai petunjuk beribadah kepada-Nya lewat para rosul-Nya, maka manusia harus beriman kepada wahyu itu dan mengikuti wahyu itu sebagai pedoman dalam hidup selama di dunia ini.

Makna penting dari konsep ini adalah hidup dikatakan hidup menurut takaran agama jika manusia menjalankan agama. Menjalankan agama itulah kehidupan yang sebenarnya. Kehidupan yang mengingkari agama sama saja dengan mati atau hidup dirundung penyakit. Esensi agama dalam kaitannya dengan hidup ini adalah beriman kepada Alloh dan hari yaumul akhir. Beriman kepada Alloh adalah modal untuk menjalankan hidup sesuai apa yang dikehendaki-Nya. Sedangkan iman kepada hari kiamat adalah pendorong bagi manusia untuk beramal sebanyak-banyaknya karena setelah mati, nanti akan dihidupkan kembali dan bertemu dengan Alloh kemudian akan diminta pertanggungjawaban atas tingkah lakunya selama hidup di dunia. Orang yang percaya bahwa Alloh itu ada sedangkan ia tidak beriman kepada hari kiamat, akan bebas bertingkah laku di dunia ini. Ia berkeyakinan, berfikir bahwa setelah mati sudahlah selesai urusan. Tidak akan ada pertanggungjawaban, maka ia bebas bebas berbuat apa saja. Ia mencari rezeki tak peduli lagi halal dan haram. Ia memiliki pandangna hidup tak peduli berlawanan dengan Al-Quran atau tidak.

Jika kita lebih banyak mengetahui tentang hakikat manusia, hidup dan dunia ini dari Al-Quran maka akan semakin jelaslah arah, tujuan, sikap hidup yang harus kita lakukan. Betapa manusia yang keliru mengenal dirinya, dunia dan hidup ini, senantiasa gagal dalam mencapai kebahagiaan di dunia ini.Ketika mereka tidak merujuk sumber informasinya dari Al-Quran. Apalagi di akhirat kelak. Dunia ini adalah ujian. Banyak duri dan ranjau yang bisa menjebak manusia, menggiringnya ke jurang kehinaan. Tidak ada cara terbaik untuk melihat dan mengenal hakikat manusia selain dengan menggunakan apa yang dijelaskan Alloh dalam kitab-Nya Al-Quranul Kariim.

Mengetahui pokok agama beserta ajaran-ajarannya dari sumbernya yakni Al-Quran dan Sunnah Nabinya. Dalam Islam konsep agama begitu jelas. Agama adalah ketundukan dan penyerahan diri kepada sesuatu menurut sebuah aturan yang menjadi keyakinan, ibadah dan pegangan hidup. Ketundukan dan penyerahan diri kepada Alloh menurut aturan wahyu yang berangkat dari keyakinan, menjadi peribadatan dan pegangan hidupnya itulah yang disebut dengan Islam. Tidak terlalu rumit untuk memhami hakikat agama seperti ini. Sehingga memang selain Islam ada agama yang lainnya. Tetapi semuanya adalah palsu.

Siapa saja dari manusia yang mencari agama selain Islam, maka amal-amalnya tidak akan diterima Alloh. Di akhirat ia akan termasuk golongan yang merugi. Agama selain Islam dikatakan palsu dikarenakan apa yang mereka sembah bukanlah Tuhan tapi berhala. Aturan yang mereka gunakan untuk peribadatan tidak berasal dari wahyu Alloh. Manusia tidak akan bisa mencapai kepada hakikat peribadatan yang benar tanpa wahyu. Jadi kepalsuan agama selain Islam dapat ditelaah dari dua sisi saja sudah cukup : Pertama yang mereka sembah bukanlah tuhan dan aturan untuk menyembah bukanlah wahyu.

Demikian pula halnya dalam mengenal pokok-pokok dari Islam konsep yang harus digunakan adalah konsep Islam. Memahami Islam dengan cara pandang Islam. Tidak bisa seseorang mengenal hakikat Islam, menilai dan mengambil kesimpulan tentang Islam menurut konsep diluar cara Islam. Cara-cara di luar Islam bisa digunakan sebatas pengantar saja. Atau penambah untuk lebih meyakinkan. Meskipun tanpanya juga sudah cukup meyakinkan.

Sesungguhnya pokok dari Islam harus dikenal dari sumbernya yang terjaga. Itulah AL-Quranul Kariim. Pokok Islam itu, pertama mengenai tauhid, yakni keyakinan akan adanya Alloh dan Alloh itu Esa. Manusia wajib beribadah kepada-nya dengan tidak mempersekutukan-Nya. Tidak menyembah-Nya adalah kesalahan besar. Menyembah-Nya disamping yang lain juga kesalahan besar. Pokok Islam berikutnya adalah Syariat Nabi Muhammad Saw. Pokok Islam adalah sunah Nabi dalam menajalankan ibadah kepada Alloh. Ini mengingat bahwa sebelum Nabi Muhammad telah ada syariat yang mendahulinya, meskipun konsep tauhidnya sama. Seseorang yang hendak beribadah kepada Alloh, tidak boleh keluar dari syariat dan sunah Nabi Muhammad Saw. Apalagi dalam ibadah ritual. Ketiga, wahyunya adalah Al-Quran. Bahwa wahyu itu adalah AL-Quran merujuk Al-Quran bukanlah hal yang tidak logis. Karena Al-Quran dengan sendirinya dapat membuktikan bahwa ia adalah wahyu, meskipun manusia tidak mengenal sejarah penulisan dan pemeliharaannya.

Selanjutnya apa yang dituntut Islam dari manusia ? Hakikat manusia adalah untuk beribadah kepada Alloh. Hakikat Islam adalah aturan beribadah kepada Alloh. Jadi yang dituntut Islam atas manusia adalah hendaklah manusia beribadah kepada Alloh sesuai aturannya. Dengan kalimat yang lain yang dituntut Alloh atas manusia adalah beribadah kepada-Nya sesuai aturan Islam. Sekarang yang harus diperjelas adalah makna ibadah itu sendiri apa ? Ibadah itu artinya tunduk dan menyerahkan diri kepada Alloh. Jika kita mengambil bentuk umumnya ibadah itu adalah pertama, tunduk. Tunduk berarti taat pada aturan. Tunduk dalam Islam berarti taat pada aturan Islam.

Aturan Islam mengenai dua hal utama dalam kaitannya dengan konsep tunduk ini, pertama tunduk dalam beragama dan kedua tunduk dalam menjalani hidup. Tunduk dalam beragama berarti aturan-aturan pokok dalam beragama dilaksanakan. Seperti tentang keimanan kepada Alloh dan hari kiamat. Ibadah sholat, zakat, shaum, ibadah haji dan lain sebagainya. Kedua tunduk dalam kehidupan berarti urusan apapun dalam hidup rela berada dalam aturan Islam. Seperti bagiamana cara berkeluarga, cara berpakaian, cara berpolitik dan seterusnya. Hal-hal semacam ini adalah persoalan kehidupan.

Islam menuntut umatnya menyerahkan aturan ini kepada aturan Islam. Sekalipun manusia menganggap dirinya mampu untuk mengaturnya tanpa bimbingan wahyu. Islam menghendaki persoalan ini tunduk dibawah aturannya, jika dipenuhi maka semuanya menjadi bernilai ibadah. Kedua tentang persoalan menyerahkan diri. Konsepnya hampir mirip dengan yang pertama, tunduk. Menyerahkan diri lebih kepada rasa pengorbanan. Apapun yang dimiliki diri segalanya untuk Islam. Punya harta untuk Islam. Punya tenaga untuk Islam. Punya ilmu untuk Islam. Hal yang mendasari kepasrahan semacam ini adalah keimanan. Bahwa segalanya adalah milik Alloh. Yang akan dimilikinya adalah amal kebajikannya atas hidup dan kehidupannya yang mengacu kepada Islam untuk mencapai ridlo Alloh Swt.

Ini dapat kita pahami dari perjalanan generasi pertama dari umat Islam. Pada tahap awal mereka rela meninggalkan keyakinan lamanya yang didasarkan pada kejahilihan dan kemusyrikan. Dengan warna hidup yang sedemikian rendahnya. Mereka menggantinya dengan keyakinan yang baru. Mereka menundukan diri di hadapan wahyu. Mereka kerjakan apa yang diperintahkan wahyu dengan segenap ketaatan. Kehidupan mereka berganti dari jahiliah kepada Islam. Dari berkorban untuk berhala sekarang berkorban untuk Alloh.

Pokok hidup pada manusia tiga diantaranya adalah berfikir, merasa dan memenuhi kebutuhan fisik.
Telah jelas dalam uraian sebelumnya bahwa Islam menuntut dari mukminin untuk tunduk dan menyerahkan diri mereka. Tentu saja tidak boleh seorang mukmin hidupnya di satu sisi ia beribadah kepada Alloh sedangkan ia berkorban untuk membantai umat Islam. Logika mana yang bisa membenarkannya ? Tidak boleh seorang muslim mulutnya mengaku beriman kepada Alloh dan hari kiamat sementara pola pikir, hati dan perasaannya sama sekali tidak bersentuhan apalagi diisi oleh nilai-nilai Islam, konsep-konsep Islam.

Cara mengelola pikiran kita, hati kita dan makanan kita harus tunduk dalam aturan agama. Bagimana agama mengatur pikiran kita ? Agama mengarahkan agar pikiran kita dipergunakan untuk memikirkan minimal dua perkara penting. Pertama tentang tanda-tanda kebesaran Alloh yang ada di alam. Kedua berpikir tentang persiapan untuk hari berbangkit. Kedua hal ini sesugguhnya amat berdekatan dan berkaitan sekali. Letak keterkaitannya adalah yang satu mengantarkan manusia agar sujud kepada Alloh. Yang satu lagi mengokohkan manusia agar benar-benar dalam sujudnya, lantaran di hari kiamat nanti sujud itulah yang akan menjadi kebaikan di alam sana.

Yang satu mendorong manusia untuk banyak bersyukur, yang satunya lagi mengokohkan agar manusia banyak-banyak bersykur karena sikap syukurlah yang akan membahagiakan dirinya di akhirat kelak. Jadi berfikir ang hidup ini hakikatnya adalah bagaimana kita menangkap hikmah dari segala yang ada, yang semakin meyakinkan kita untuk tunduk kepada Alloh. Alam ini hikmah terbesarnya adalah mengingatkan pada manusia akan karunia Alloh yang sedemikian besarnya. Hari kiamat itu hikmah terbesarnya adalah mengingatkan pada manusia bahwa di ujung kehidupan nanti ia akan dibangkitkan dan dimintai pertanggungjawabannya atas perlakuan dirinya kepada nikmat-nikmat Alloh itu baik yang ada di alam ataupun yang ada pada dirinya. Pikiran berkaitan dengan kecerdasan, semakin cerdas seseorang dalam berpikir semakin besar rasa sykurnya kepada Alloh lantaran perhatinnya kepada dua hal utama : alam ini dan alam nanti.

Bagaiamana kita mengelola hati seharusnya agar ia sejalan dengan pengharapan Islam atas umatnya ? Hati kita harus dekat dengan dua hal utama pertama Alloh. Kedua, diri kita sendiri. Hati harus banyak mengingat Alloh dan menimbang setiap kejadian yang menimpa diri sebagai karunia dari Alloh. Apakah keadaan dan kejadian itu secara fisik membawa kebaikan atau kejelekan. Hati harus banyak merenungi diri, dan menimbang apakah selama in kita sudah berbuat benar atau belum dalam hidup ini. Agama meskipun kandungannya benar, lurus dan ilmunya telah mengisi relung-relung pengetahuan kita di kepala, tetapi semuanya tergantung hati. Hati yang memutuskan untuk taat atau tidak. Karena hati tempat bersemayamnya iman.

Ilmu dan indra kita hanyalah alat semata yang diam seribu bahasa jika tidak mendapat perintah dari hati ini. Bertanyalah kepada diri kita sendiri sudahkah kita menjadi pribadi yang baik dan lurus ? Pribadi yang tunduk kepada agama, pribadi yang menerapkan kaidah agama ? Agar hati kita senantias cerdas dan bergairah, maka ia harus banyak mengingat nama Alloh. Sebab ini adalah kunci ketenangan hati, ketenangan hidup. “Ingat, dengan dzikir kepada Allah hati akan menjadi tenang.” (Ar-Ra’du: 28)

Hati bisa menjadi kotor gara-gara ulah indra atau tubuh yang memasukan sembarang barang haram. Juga bisa menjadi kotor bila pembawaan hati berupa keingkaran tidak pernah dibersihkan.
Fisik kita pun harus tunduk kepada aturan Alloh. Fisik kita dalam rentangan yang amat luas semuanya berkaitan dengan hukum halal dan haram. Makanan, pakaian dan perhiasan, rumah, pekerjaan dan lain sebagainya akan senantiasa menghadapi tiga pilihan halal, haram dan syubhat. Ketundukan kepada Alloh dibuktikan dengan mengambil, mengusahakan, memilih yang halal dan meninggalkan yang haram dan syubhat.

Jika Umat bodoh terhadap agamanya,Maka ia bodoh pula dalam hidupnya. Ketidaktahuan tentang tujuan hidup ini dianggap sebagai kejahilan. Kejahilan termasuk di dalamnya ketidaktahuan tentang Alloh, Rosul dan dasar-dasar dari agama. Bagaimana mungkin seorang mukmin dan muslim dapat menjalankan agamanya dan hidup di bawah naungannya jika dia tidak tahu siapa Alloh, siapa Rosululloh dan bagaimana sikap beragama yang benar ini. Barangkali dia memiliki konsep tentang semua itu. Tapi apakah sudah benar konsep-konsepnya, sudah benar sumber informasinya, sudah benar cara mempergunakannya ? Terkadang orang berdoa kepada Alloh bersama-sama berdoa kepada selain Alloh.

Minta tolong kepada-Nya dan juga kepada Jin. Ini kan jahiliah namanya. Ada lagi orang yang mengambil pemahaman agamanya diambil dari kitab-kitab yang banyak berisi hadits palsu, isinya tidak menggambarkan Islam yang sesungguhnya. Bidah dianggap sunah, sunah ditinggalkan. Hal kecil dibesar-besarkan, hal besar dianggap sepele. Ketidak tahuan manusia tentang agama menyebabkan mereka berlaku dhalim dalam agamanya. Al-Quran dianggap sakral, tapi informasi yang ada di dalamnya tentang hakikat segala sesuatu, tentang kaidah Islam, tentang ajaran moral dan norma tidak pernah mereka pelajari. Terlebih lagi agama di tengah manusia yang tidak tahu untuk apa dia beragama, tentu agama menjadi sesuatu yang lucu dan menggelikan. Dan tidak tahu mengapa ia harus menyebah Alloh.
Alloh adalah Tuhan yang Hak. Setiap mukmin wajib beriman kepada Alloh secara Tauhid. Kalimat La ilaha ilallooh adalah kalimat tauhid. Konsekuensi tauhid adalah tidak mencari Tuhan lain selain Alloh. Kepada Alloh saja kita menyembah dan tidak menyembah kepada lainnya di samping Alloh. Berikutnya, tidak mencari pelindung selain Alloh. Kepada Alloh saja kita layak bertawakal dan meminta pertolongan serta memanjatkan doa-doa kita.

Selanjutnya, Tidak mencari Hakim selain Alloh. Hanya hukum Alloh saja yang berhak untuk dijadikan sebagai pedoman untuk mengarungi hidup yang luas ini. Ciri dari kebanyakan manusia yang menyimpang dari tauhid, diantaranya mereka menyembah kepada selain Alloh. Ada juga yang beranggapan bahwa Alloh tidak campur tangan dengan kehidupan dunia. Sebagiannya lagi berfikir bahwa wahyu yang hakikatnya dari Alloh hanyalah kumpulan cerita dari masa lalu, kumpulan mithos. Sebagiannya lagi menolak hukum Alloh dan meyakini hukum Alloh itu tidak ada.

Tauhid kepada Alloh dan pengakuan bahwa Nabi Muhammad SAW adalah Rosul adalah pondasi pertama dari keimanan dan keislaman seseorang. Kalimat syahadat merupakan pondasi bagi ibadah dan keimanan yang lainnya. Bagaimana mungkin seseorang beres dalam sholatnya dan rukun-rukun Islam lainnya juga dalam cabang-cabang keimanan yang lainnya, jika keimanannya kepada Alloh dan Rosul-Nya belum kokoh di hati. Bersaksi bahwa Muhammad Saw adalah Rosul berkonsekuensi pada bagaimana cara kita beragama.

Tidak ada Islam tanpa Sunah Nabi. Karena ibadah-ibadah praktek dalam Islam mendasarkan pada sunah Rosululloh. Dan Rosululloh memberikan pula contoh-contoh kehidupan nyata yang di dalamnya mengandung dasar-dasar ajaran Islam dalam berbagai bidang kehidupan. Beliau adalah Rosul, juga pemimpin, juga kepala keluarga, seorang lak-laki, dan dari setiap kedudukannya di tengah umat manusia menunjukan keluhuran Islam pada dirinya. Meskipun sebelum Muhammad saw diangkat jadi Nabi diakui memiliki kecerdasan luar biasa, ketinggian akhlak dalam pergaulan, kekuatan fisik dan pengetahuannya yang luas tentang masyarakat, beliau tetap dibimbing Alloh bagaimana cara hidup dan berdakwah, cara berkeluarga dan berperang, cara menata persahabatan dan ketatanegaraan. Semuanya dalam asuhan wahyu dari Alloh Swt. Karena itu Islam dibangun dengan dasar tauhid dan syariat yang dicontohkan Rosululloh SAW.

Yang sering kita saksikan adalah betapa banyaknya umat yang tidak memahami Islam secara benar. Atau kalaupun mereka memahami hanya sebagian kecil dari segudang keilmuan Islam. Kurangnya pemahaman yang luas tentang Islam bisa jadi sebab kurangnya umat Islam menerapkan Islam dalam kehidupan. Demikian pula memahami Islam dari bukan sumbernya telah menyebabkan umat ini keliru dalam melaksanakan Islam. Bukannya wajah Islam yang muncul tetapi kerancuan, bidah atau khurofat. Pesan-pesan Islam yang luhur, indah, bersih dan suci tidak nampak dalam kenyataan sehari-hari di tengah umat ini kebanyakannya. Bahkan kerusakan yang paling parah terjadi pada umat yang dianggap paling tahu tentang agama, tapi sesungguhnya ia ahli syirik, bidah, thoghut dan andad.

Bagaimana solusinya ? Pertama, setiap ilmu harus dilanjutkan dengan bukti pengamalan. Amal apapun yang kita perbuat hendaknya mendasarkan diri pada ilmu, dimulai dan diiringi dengan ikhlas. Demikian pula halnya agar Islam dilaksanakan secara kaffah, disamping kita mempersiapkan ilmu yang luas tentang Islam, kitapun harus mempersiapkan fasilitas yang akan memudahkan atau mendukung semuanya. Mengingat luasnya ajaran Islam mencakup semua lapangan kehidupan manusia, maka lapangan hidup macam apapun harus serta merta menerima kehadiran aturan Islam.
Pengetahuan kita tentang hidup dan ibadah menurut Islam. Telah diuraikan di atas bahwa hakikat hidup manusia adalah sarana untuk beribadah kepada Alloh. Hakikat Islam adalah cara untuk beribadah kepada Alloh. Bagi seorang mukmin dan muslim hidupnya adalah Islam, Islamnya adalah hidupnya. Kematian buat dirinya lebih baik daripada melepaskan Islam dari hidupnya. Hidup dalam Islam berarti hidup dalam mengabdi kepada Alloh.

Mengabdi kepada Alloh itulah yang merupakan tujuan utama hidup manusia. Tetapi tidak kemudian membuat manusia hanya sekedar shalat, zakat, shaum dan haji saja dalam hidupnya. Lantaran ibadah kepada Alloh itu cara-caranya mencakup seluruh apa yang dikandung dalam ajaran Islam. Sedangkan ajaran Islam bukan hanya teriri dari yang sedemikian itu. Ajaran Islam mengandung pula ajaran tentang ekonomi, berarti ketika kita bergerak di bidang ekonomi yang mendasari pada ajaran Islam, maka hal itu hakikatnya adalah beribadah kepada Alloh. Demikian halnya ketika kita berperang, itu juga ibadah, dengan syarat tentunya perang kita didasarkan pada ajaran agama pula.

Seluruh manusia wajib melakukan hal ini, yakni beribadah kepada Alloh dengan cara menerapkan seluruh ajaran Islam dalam kehidupan mereka sehari-hari. Baik dari sudut agama itu sendiri maupun dari sudut hidup manusia. Manusia yang menunaikan kewajibannya ini memperoleh ampunan dan kehidupan yang baik. Kehidupan yang tidak akan bisa diperoleh dengan cara hidu yang berbasis non-agama, non-Islam, non-tauhid, non-dzikir. Ketika proses ibadah kepada Alloh dijadikan poros utama atas segenap amal perbuatan manusia maka perbuatan manusia itu akan berisi kebaikan, dicatat seagai kabaikan, dan dibalasi dengan kebaikan pula. Ibadah kepada Alloh adalah wajib lantaran Dialah pencipta dan tempat kembali manusia. Menjalankan Islam wajib karena Alloh telah memilih Islam sebagai jalan yang lurus bagi manusia untuk sampai pada keridoan Alloh Swt.

Beribadah kepada Alloh merupakan jalan yang lurus. Satu-satunya jalan. Tidak ada jalan lain untuk manusia menuju selamat kehidupannya di dunia dan akhirat. Agar ia beroleh kebahagiaan di dunia dan beroleh pahala di akhirat kelak. Sedangkan menyembah syetan atau berhala adalah jalan yang sesat. Syetan dan berhala tidaklah bisa menolong manusia, tidak bisa mendatangkan kecelakaan. Menolak seruan untuk menyembah Allah dan mengikuti tipu daya syetan adalah penyebab datangnya bencana diduna dan diakhirat kelak. Jalan yang lurus itu adalah Islam, yang berpegang kepada wahyu, sesuai akal, hati nurani dan mengandung ajaran yang memuliakan manusia, memuliakan hidup ini.

Islam berpegang kepada wahyu. Ibadah kita berpegang kepada wahyu. Wahyu adalah petunjuk Alloh. Alloh adalah Pencipta manusia dan alam semesta. Hidup yang berbasis Islam adalah hidup bebasis petunjuk Pencipta manusia. Tetapi wahyu hanya bermanfaat bagi orang-orang yang memiliki iman dan takut kepada Allah. Wahyu membimbing manusia mengenal Allah lebih dekat, menghindarkan manusia dari kejahiliyahan, dan mengingatkan manusia dari kelalaian. Fungsinya akan seperti ini bagi mereka yang mengakui Alloh sebagai pencipta-Nya. Wahyu membantu menusia mengenal lebih banyak nikmat dari Allah. Bagaimana menyusun sikap yang terbaik atas nikmat itu, dan mengenal negri akhirat adalah sesuatu yang berada diluar jangkauan pengalaman manusia. Wahyu membukakan pikiran, hati, pengalaman dan akal manusia tentang hal itu dan tentang kepalsuan tuhan-tuhan selain Allah.

Dengan demikian kesimpulan yang dapat di ambil adalah manusia wajib mengenal Allah lebih dekat, agar semakin besar rasa keimanan, kecintaan, takut dan harapan kepadaNya. Manusia wajib mengenal Islam lebih dekat, karena Islam jaminan agama yang hak disisi Allah, sempurna, dan sesuai dengan fitrah manusia. Manusia wajib mengenal lebih dekat akan Al-qur’an dan Nabi Muhammad Saw. karena keduanya penuntun utama benar lurusnya ibadah kita kepada Allah SWT. Kurang lebih seperti itulah pengetahuan kita tentang Islam, dengan mengkaji salah satu surat dalam Al-Quran, yakni surat Yassin.
Cara agar hidup lebih hidup itu tiada lain adalah dengan ibadah kepada Alloh. Ibadah yang diterima Alloh, itulah kehidupan yang sesungguhnya. Hidup yang bermakna. Agar ibadah kita diterima Alloh Swt, menurut uraian di atas dapat kita simpulkan sebagai berikut : beriman kepada pokok-pokok Aqidah islam (iman), mengikuti petunjuk, arahan, bimbingan, dari wahyu dan Rasulullah. (ilmu), melaksanakan ibadah itu dengan penuh keikhlasan, diiringi ketabahan, kontinyuitas, koreksi, kesungguhan, melengkapi dengan sesama dan kemudahan. (ihsan), menghias diri dengan berbagai keutamaan-keutamaan untuk lebih mengenal Allah, agama, Rosulullah, menjadikan ibadah tersebut sebagai poros bagi amal perbuatan atau amal shalih ditengan umat manusia dalam kerangka melaksanakan syari’at Islam, agar semuanya berjalan lancar dan tuntas kuncinya, kaffah, dan berwibawa harus di sokong oleh kekuatan negara, mesyarakat, keluarga dan pribadi.

Jika manusia tidak beribadah kepada Allah dan hari kiamat. Apabila manusia tidak beribadah kepada Alloh, apapun alasannya maka dapat kita berfikir tentang hakikat ini. Manusia menyalahi akal, nurani, dan pengalamannya. Maka segenap amal perbuatannya didasarkan pada kebodohan dan hawa nafsunya. Menggantinya dengan beribadah kepada berhala, hawa nafsu atau syetan. Ketetapan yang berlaku atasnya adalah datangnya bencana dan kerugian hidup di Akhirat kelak. Perilakunya mencerminkan kejahilian, kekacauan berfikir, putus asa, senantiasa memiliki rasa permusuhan.

Senantiasa memiliki rasa permusuhan kepada Islam, dan berdaya upaya untuk menghancurkannya dari berbagai jurusan dengan berbagai cara. Ciri utamanya mencintai kehidupan dunia memandang logis, baik, indah, akan tingkah lakunya yang buruk. Tak henti-hentinya dirundung masalah problema, bencana, kesusahan, kesempiran. Kasus filsafat metrealisme, evalusi dan premasonsri dan kemunisme adalah bukti nyata kehancuran peradaban manusia.

Kenapa manusia bisa menyembah selain Alloh, padahal agama yang mula-mula adalah Islam?
Akibat tipu daya Iblis ( 34: 20 ). karena mereka ragu-ragu kepada negri akhirat ( 34 :21). Karena sifat sombong. (34: 31). Lantaran kemewahan, anak buah dan pengikut ( 34 : 34-35) Karena bersifat lemah di hadapan orang-orang yang sombong ( 34:32-33).Karena mereka menyembah jin ( 34 : 41) Karena keserakahan terhadap dunia dan ketidakpedulian terhadap sesama manusia. Yang menumpuk-numpuk harta kekayaan dan menghitung-hitungnya.

Yang tidak mempedulikan penderitaan anak-anak yatim dan orang-orang miskin dikualifikasikan sebagai orang-orang yang membohongkan agama. Surah al-akatsur, memberikan peringatan keras terhadap orang-orang yang asyik berlomba-lomba dalam kemewahan dan kekayaan. Dalam Surah al-Lail yang diwahyukan dalam urutan ke-10 diberikan kabar baik terhadap mereka yang suka memberi dan sebaliknya kabar buruk bagi mereka yang kikir dan bakhil. Yang terakhir Surah al-Balad yang diwahyukan dalam urutan ke-11, menyinggung keengganan manusia memberikan bantuan kepada sesamanya yang hidup dalam penderitaan dan kesengsaraan.

Meninggikan agama berarti membela setiap bagian dari agama yang terhinakan, menyerahkan segala potensi yang ada dalam hidup selaku manusia untuk agama, mencapai target agar Islam kembali jaya, mengembalikan umat Islam kepada kedudukan yang tinggi di muka bumi sebagai khalifah dan mengantarkan setiap mukmin untuk mencintai agama dan mencintai mati syahid. Di tengah kehidupan yang serba matrealistis, di mana umat Islam tertindas, namun sekaligus ditakuti. Musuh apapun bentuknya, dari mana pun datangnya, kapan pun dan di mana pun yang datang menyerbu Islam dan umatnya, harus dilawan dengan segenap kekuatan yang seimbang, itulah makna sebuah upaya meninggikan agama.

Adakalanya yang dihina oleh manusia dari Islam ini adalah Nabinya. Yakni Muhammad Saw. Kasus pembuatan karikatur itu adalah peristiwa penghinaan. Terlepas dari penyebabnya, dan latar belakang pemikiran yang menggerakannya. Adakalanya seluruhnya dari Islam ini dihina, mulai dari Alloh, Nabi Muhammad, Al-Qurannya dan umatnya, dihina tanpa tedeng aling-aling seperti yang ditulis oleh Morrey. Adakalanya hanya fokus Al-Quran saja. Jika hinaan dan celaan itu datang dari orang kafir maka itu wajar dan wajar juga harus dilawan dan jikalau ada kekuatan mereka perlu dimusnahkan dari muka bumi ini. Yang luar biasa adalah ternyata hinaan dan celaan itu datang dari orang-orang yang secara formal mengatakan dirinya muslim.

Kita ambil contoh, para ahli bidah, mereka adalah yang mengambil agama dari orang-orang yang menyimpanga dari akidah dan syariat Islam. Ahli matrealisme, mereka adalah yang mengambil filsafat matrealisme sebagai alat ukur kebenaran dan menjadikan matrealisme itu sebagai jalan kehidupan mereka. Ahli Pluralisme, mereka yang menjadiakan keyakinan semua agama adalah sama. Ahli sekularisme, mereka yang punya agama bahwa soal-soal agama harus dipisahkan dari soal-soal kehidupan duniawi terutama negara. Umat ini banyak sekali yang terperosok ke arah itu.
Baiklah kita soroti saja diri kita.

Pertama kita punya musuh besar, syetan namanya. Apa yang disukai syetan adalah yang dibenci Alloh. Apa yang dibenci Alloh adalah disukai Syetan. Boleh juga kita mengambil rumus ini. Yang mengherankan dari kita, adalah senang memenuhi panggilan syetan. Yang dibenci Alloh kita kerjakan, yang disukai Syetan kita balapan. Mengherankan. Kedua, kita yakin akan adanya alam kubur dan hari hisab di yaumul qiyamah nanti. Logikanya orang mestinya banyak berbuat amal kebaikan dan meninggalkan seluruh perbuatan maksiat. Nah kita lain. Budaya kejelekan kita tiru, budaya kebaikan kita sepelekan. Kita isi laptop amalan kita dengan rekaman tulisan, ucapan dan adegan yang seram-seram, yang kotor-kotor, yang haram-haram. Jadi nanti kalau dibuka di yaumul kiamah dengan apa kita harus menebusnya kalau bukan dengan masuk ke dalam neraka.

Katanya ingin ke surga. Tapi makanan yang kita makan kebanyakan syubhat. Tapi perlakuan bukanya menjadi pembela agama tapi mengkeruhkan agama di tengah kehidupan sosial. Lihat berapa besar uang yang kita miliki yang kita peroleh secara halal tapi tidak mau memberikan manfaat bagi anak-anak yatim dan kaum dhuafa. Jadi memang kita perlu meluruskan pemahaman kita tentang musuh dan alam kubur ini. Ini baru dua persoalan. Belum dari persoalan lainnya. Andaikan pemahaan kita berisi konsep-konsep yang keliru,keliru pulaah kita memperlakukan agama ini. Terkadang konsep yang sudah terang benderangpun, kita tidak konsisten untuk menerapkannya di dalam hidup ini. Kecerobohan kita adalah musuh. Juga termasuk musuh kita itu syetan, dan manusia-manusia yang ubun-ubunnya dibawah kendali syetan dan nafsunya.

Dengan apa kita meluruskan pemahaman umat, melawan musuh, menegakan Islam, menyumbangkan diri untuk kembangkitan Islam ? Kiranya kita semua butuh pendidikan, butuh belajar ekstra, butuh ibadah yang benar-benar berkualitas ahli zuhud, butuh kekuatan yang seimbang untuk menghadapi mereka. Untuk mengingatkan, meluruskan yang lupa, dan memupus yang murtad dari agama ini.
Ketika kehormatan umat Islam dihina,dilecehkan oleh musuh. Apa yang bisa kita perbuat ? Ternyata harta kita lebih mengalir begitu saja ke kantong-kantong kafirin. Umur dan tenaga kita habis untuk rukuk di hadapan dunia ini. Kenapa dan kemana kekuatan kita selaku umat Islam ? Sampai kita di hari ini bumi Indonesia, bumi Barat, Bumi Timur, Bumi Selatan, Bumi Utara, berada dalam tangan-tangan perusak hutan dan kandungannya.

Penting hari ini kita merubah cara berfikir, memilih teman, menyiapkan agenda, dan terus belajar tentang Islam dan dunia ini. Meninggikan cita-cita dan meluaskan ilmu adalah hal utama untuk meraih kejayaan Islam. Doa dan ikhtiar di berbagai lapangan kehidupan itulah yang mesti kita lakukan.

Logika orang-orang kafir. Mustahil badan yang sudah hancur sehancur-hancurnya atau telah menjadi tulang belulang bisa dikembalikan lagi menjadi makhluk yang baru. (34 : 7). Hakikatnya mereka ini tidak beriman kepada hari akhirat. ( 34 8 ). Nyata-nyata mereka mengatakan bahwa hari berbangkit itu tidak akan datang. ( 34 : 3 ). Jika ada manusia yang datang kepada orang yang memiliki logika ini dan mengatakan bahwa hari akhirat itu benar-benar akan ada, maka dengan mengikuti alur logika mereka sendiri, mereka akan segera membatahnya dengan mengatakan bahwa orang tersebut pembual ( tidak sesuai data ilmiah ) atau gila (irrasional).

Mereka mengatakan bahwa mereka mengingkari wahyu (34:34). Wahyu itu hanya menghalang-halangi ibadah, dan isinya hanyalah dusta belaka. Dan jika cukup bukti tentang benarnya wahyu mererka mengatakan wahyu itu sihir. (34 : 43). Kalau sudah demikian maka bagaimana mungkin mereka melakukan ibadah kepada Alloh. Apa yang mereka peroleh dari harta dan kehidupan duniawi dipercaya sebagai hasil usaha dan ilmu mereka tanpa ada campur tangan Alloh. Sehingga tatkala mereka disuruh untuk bersyukur kepada Alloh, tentu saja mereka menolaknya. Apalagi untuk beribadah kepada Alloh.

Manusia umumnya percaya bahwa Alloh ada. Tapi mereka tidak mempercayai Alloh dan menaruh keimanan kepada-Nya. Berilmu tapi tak beriman. Beriman tapi kurang ilmunya. Menolak kedatangan Rosul dan wahyu. Dengan memperhatikan ungkapan aktsar al-Nas, kita dapat menyimpulkan, sebagian besar manusia mempunyai kwalitas rendah, baik dari segi ilmu maupun dari segi iman. Menurut al-Qur’an sebagian manusia itu tidak berilmu (7:187; 12:21;, tidak bersyukur (40:61; 2:243; 12:38), tidak beriman (11:17; 12:103; 13:1), fasiq (5:49), melalaikan ayat-ayat Allah (10:92), kafir (17:89; 25:50), dan kebanyakan harus menanggung azab (22:18).

* Bertangung Jawab atas Akidah dan Syariat Islam.*

Yang paling utama dari sekian banyaknya tugas dalam hidup dan beragama, yang menggambarkan pokok dari melaksanakan Islam secara kaffah adalah memelihara, menjaga dan memperkuat akidah, melaksanakan sholat, zakat, shaum, haji, menegakan amar ma’ruf nahyi munkar dan jihad fie sabilillah dan membereskan pemikiran dan pemahaman tentang konsep-konsep tentang agama, Islam, manusia, hidup dan dunia. Sebab itu menjadi umat yang akan menjadi ciri dari kemuliaan agama adalah umat yang terus belajar, terus meningkatkan diri, dan meningkatkan rasa tanggungjawabnya terhadap hidup dan agama.

Menjaga akidah Islam itu dapat dilihat dari dua sudut pandang. Pertama, dalam memperoleh dan menempatkannya. Akidah Islam hanya diperoleh lewat keimanan dan diperoleh dari sumbernya berupa AL-Quran dan Sunnah. Akidah tidak bisa diperoleh hanya dengan menggunakan rasional dan hal yang bersifat empiris. Menjaga Akidah berarti menjaga keimanan dan kedekatan kita dengan AL-Quran dan Sunah. Kedekatan berarti kepahaman dan pengkajian. Karena AL-Quran itu kitab yang harus dibaca, diambil infomasinya dan digali konsep-konsepnya.

Menjaga akidah berarti menjaga iman. Menjaga iman berarti menjaga ibadah dan hati. Karena orang yang tidak beribadah dan kotor hatinya tidak bisa berlama-lama merangkul iman. Agar akidah tetap kuat di hati, di jiwa, perlu dijaga ibadah-ibadah kita dan perlu dibersihkan hati kita dari perkara-perkara yang mengotorinya. Kedua, dalam menghadapi musuh dan tantangannya. Musuh akidah adalah serangan dari agama-agama yang lain, sekte sesat dan bidah. Akidah Islam yang tertanam di jiwa kita harus dijaga dari bercampurnya pemahaman akidah, konsep akidah, pelaksanaan akidah dari akidah-akidah agama luar, dari pemikiran sesat dan dari nafsu ahli bidah.

Umat Islam, ulamanya, dan para pemimpinnya memiliki kewajiban untuk menjaga akidah ini. Sikap menyepelekan akidah adalah perbuatan dosa. Menjadikan akidah hanya sebagai hiasan agama, akan menimbulkan kaburnya tujuan beragama. Dan hilangnya arti hidup beragama. Yang akan terjadi kemudian ialah hilangnya harga diri umat Islam, hilangnya keberanian untuk berjihad, timbulnya cinta dunia dan takut mati. Kedudukan umat Islam yang seharusnya menjadi pelita bagi umat manusia yang kehilangan arah hidupnya di dunia, justru mereka sendiri bingung dan linglung. Ketika akidahnya rusak. Demikian halnya dengan keadaan ketika umat Islam jauh dari Al-Quran, tidak tahu isi Al-Quran, tidak dekat dengan ulamanya, akan mengakibatkan dangkalnya pemahaman umat terhadap agama.

Ditambah dengan sikap mencampurkan antara yang hak dengan yang bukan hak, antara yang sudah jelas aturannya dengan sikap ragu-ragu, suka berbuat dosa dan maksiat. Muaranya adalah agama dipandang hina tak berguna oleh manusia. Untuk mencegahnya jadilah kita orang yang paham agama dan berkata tentang agama sesuai hakikatnya yang terkandung dalam kitab-kitabnya dan keterangan para ulamanya, danj adilah pula kita sebagai pelakunya yang palin awal. Tak usah mencari teladan dari orang zaman sekarang, cukuplah diri kita saja sebagai teladannya, mengambil teladan dari Rosululloh dan para sahabat dalam beragama. Jangan menyembunyikan ayat, jangan menukarnya dengan iming-iming kedudukan dan uang, jangan berharap orang lain yang memulai.

Untuk menopang iman, ibadah dan pemikiran agar tetap terjaga dari kekeruhan, dari penyimpangan dan dari penyakit putur dan berbagai penyakit lainnya, maka berkumpul dengan para ulama sholeh, membaca kitab, menggali hikmah, banyak berdzikir, mensucikan jiwa, mendengarkan ceramah, belajar ilmu-ilmu, meneliti dan mengkaji merupakan aktifitas yang harus terus menerus digelorakan disemangati dan difasilitasi. Kedekatan kita dengan oang-orang memiliki kebersihan akidah, yang tidak pernah mengenal berhenti belajar agama, merupakan langkah utama. Jika orang yang kita berkumpul dengannya adalah orang-orang yang ahli di bidang agama, juga memiliki semangat untuk memurnikan akidah umat Islam, serta jelas sikapnya dihadapan ahli syirik, ahli bidah, ahli matrealisme, dan ahli sufi yang sesat, tentu merupakan menyertai mereka adalah kewajiban dan keutamaan. Yang akan menjadi pondasi gerakan dakwah, pendidikan, dan perbaikan umat.

Untuk menopang keimanan dibutuhkan dua hal yang tak kalah pentingnya. Pertama, ilmu dan yang kedua, hati yang bersih. Hati akan menjadi bersih apabila sholat kita, shaum kita, zakat kita, telah diamalkan dengan benar. Banyak mengingat Allah dan menjauhkan diri dari berbagai penyakit hati seperti iri, dengki, dendam, pemarah. Juga menjaga prilaku kita dari perbuatan maksiat. Orang yang merasa ilmunya telah tinggi dan merasa hatinya tidak pernah keliru umumnya kadar keimanannya rendah. Maka sikap sikap tawadlu dan takut kepada Allah adalah jaminan kita akan terus belajar dan menghindari dari berbagai kesalahan baik dalam berfikir, berbuat ataupun bersikap.

Masih banyak sekali paham-paham yang beredar di sekeliling umat Islam, masuk ke dalam pemikiran agama mereka, menjadi semacam keimanan, tetapi sesungguhnya racun yang mematikan. Itulah sikap menyepelekan akidah, mengambil konsep akidah dari sembarang orang dan pemikirannya. Tidak ada kemauan mereka untuk menata ulang konsep akidah dan keimanannya menurut dalil-dalil Al-Quran dan Sunnah. Tidak ada kehendak pada mereka untuk berakidah seperti akidahnya para Rosul, para sahabat Nabi, dan ulama-ulama terdahulu. Umat ini lebih senang membiarkan kejahatan dan kemungkaran berada di sekelilingya. Mereka lemah, tak punya pemimpin. Tidak mau berorganisasi. Jihad malah dianggap sebagai sikap teroris. Dunia lebih dicintai, kematian begitu ditakuti. Inilah yang ada di jiwa-jiwa umat ini, yang kita baca lewat perilaku mereka yang tiada henti-hentinya berburu dunia dan melupakan persiapan untuk menyongsong kematian. Bukan kematian lewat menunggu umur tua.

Setiap mukmin hendaklah memerikasa dua hal utama, akidah yang benar dan keadaan hatinya. Hati adalah tampat bersemayamnya akidah. Hanya hati yang besih,suci dan lapang yang akan menerima kehadiran akidah Islam. Demikian pula tidak sembarang sumber ilmu, agama dan pengetahuan yang dapat dijadikan rujukan untuk menemukan konsep yang benar tentang akidah Islam. Apalah artinya hati yang bersih, jika akidah yang brsemayam di dalamnya penuh dengan kekeliruan dan kesesatan. Sumber dari akidah Islam adalah AL-Quran dan Sunnah. Hendaknya hati diarahkanuntuk lebih mencintai apa yang diajarkan akidahm syariat dan pemikiran yang bersumber dari agama.
*Jihad Fi Sabilillah*

Puncak dari beragama, sekaligus puncak kemuliaan hidup, puncak ketakwaan dan keshalehan, puncak dari iman dan membenarkan agama adalah Jihad fi sabilillah. Menjalankan agama tidak sekedar meraih kebahagiaan di dunia dengan mengambil menfaat dari kaidah-kaidah agama, tetapi juga meninggikan agama itu agar agama dimenangkan di atas agama-agama yang lain. Untuk menjadi mujahid dan terbentangnya jalan jihad, tak dapat dipisahkan dari upaya-upaya dakwah, pendidikan, membentuk negara berdasar Islam dan persiapan pribadi-pribadi mujahid yang tangguh.

Seorang mukmin selaku manusia, tidak bisa lepas dari dosa, kekurangan, kesenangan terhadap nafsu dan sahwat, terkadang juga dari sifat riya dan meremehkan orang lain. Dalam kadar tertentu semua sifat negatif ini membahayakan. Tetapi jika ia seorang yang dekat dengan agama dan berjiwa mujahid, maka semua itu bukan masalah. Sebab dalam dirinya telah tertanam untuk tidak berbuat dosa. Jika suatu masanya ia terpeleset tingkah dan perbuatan, melakukan dosa, segeralah ia bertaubat. Adapun kekurangan entah itu ilmu, fisik, ekonomi, ibadah, akhlak, itu juga bisa diatasi dengan cara meningkatkan kualitas diri. Demikian pula halnya sifat terpedaya nafsu tergantikan oleh keteguhannya beragama, sifat riyanya tergantikan oleh ikhlas. Daripada berbuat riya, ingin dipuji manusia ketika berbuat, lebih baik ikhlas saja. Daripada sombong lebih baik tawadlu saja. Darai pada biasa-biasa saja dalam beragama sebagaimana umumnya umat ini, lebih baik menjadi pembela agama , menjadi mujahid saja.

Dosa itu akibat dua hal utama. Pertama ketidaktahuan, kedua kelalaian. Bersikap diam dalam ketidaktahuan, artinya tidak berupaya untuk menambah ilmu tentang Islam, itu adalah dosa. Bersikap lalai, artinya tidak bersegera untuk beramal padahal potensi dan kesempatan begitu berlimpah di hadapan kita, juga dosa. Bertaubat artinya, jangan mengulangi kesalahan yang sudah dilakukan. Segera belajar kembali agama, karena masih banyak segi-seginya yang kita tidak mengetahuinya. Datangi para ulama, miliki kitab-kitab penting dan bersih dari hawa nafsu. Segera mencari proyek amal agar kehidupan kita bagi agama ini berarti. Belajar dan bersegera beramal itulah makna bertaubat. Sebab untuk meninggalkan dosa orang mesti menggantinya dengan hal yang baru. Dari bertaubat baru kita melangkah ke upaya perbaikan kualitas diri.

Waktu, sarana, dan kesempatan, jika tersedia di hadapan kita, mengapa kita tak memanfaatkanya untuk menambah ilmu kita, kontribusi kita, memperbaiki akhlak dan ibadah kepada Alloh. Mutu pribadi kita masih bisa terus ditingkatkan dengan berbagai cara dan jalan sesuai kaidah iman, amal sholeh, bersabar dan saling menashihatkan. Dengan perbaikan diri berarti telah tertancap, telah tercanang bagi siapapun yang melewati semua ini untuk menjadi mukmin yang teguh pendiriannya dalam beragama. Ia tidak mudah digoda, tidak mudah dibodohi, tidak mudah ditipu, tidak mudah dibawa-bawa hawa nafsu, bisikan syetan dan godaan duniawi. Teguh beragama, berarti serius dirinya beragama. Serius dalam akhlaknya kepada Alloh.

Besar rasa cinta dan kagumnya pada Rosululloh. Takut sekali jika dirnya kembali terperosok ke dalam kubangan dosa. Ia tampil sebagai orang yang istoqomah dalam beragamanya. Pergerakan pikiran dan hatinya tak pernah lepas dari kedekatannya dengan agama. Alloh senantiasa disebutnya, Rosululloh selalu diteladaninya, Al-Quran selalu dibaca dan dikajinya. Dan ia taat atas aturan-aturannya. Dan semua ini hanya bisa dilewati oleh orang yang mau meningkatkan kualitas dirinya terus menerus. Ini baru awal bagaimana manusia ikhlas dalam beragama. Awal untuk menjadi seorang pembela agama dan kaum muslimin. Orang semacam ini pantang berbuat dosa, pantang untuk merencanakan dosa kembali.
Puncak beragama adalah berjihad dan puncak persiapan untuk berjihad adalah menjadi pembela kaum muslimin dan itu hanya bisa dilakukan orang-orang yang hati dan perbuatannya bersih, kualitas dirinya baik, berpegang teguh pada syariat dan agama Alloh dan ikhlas dalam setiap amal ibadahnya. Merekalah yang lebih layak untuk menjadi mujahid bagi Islam ini.

Jihad fisabilillah yang pernah dilakukan Rosul, para sahabat, umat Islam generasi pertama, tidak lepas dari upaya untuk menyebarkan dakwah Islam, untuk membuktikan keagungan Islam. Orang yang berjihad dari mereka adalah orang-orang yang bersih suci hati dan pikirannya. Yang akidahnya kokoh. Yang memiliki semangat amar makruf nahyi munkar dalam skala luas. Amar makruf dalam skala besarnya adalah mengajak manusia kepada Islam. Dan nahyi munkar dalam skala yang sama adalah mencegah manusia dari jalan yang sesat dan jalan yang menyebabkan datangnya murka Alloh. Jihad adalah amar makruf dan nahyi munkar dalam skala ini.

Tujuan yang ingin dicapai dari jihad adalah meninggikan agama Alloh. Agama akan memiliki kedudukan yang tiinggi dalam kehidupan manusia, jika agama ini mampu mengungguli agama yang lain. Agama yang bisa membuktikan akan perannya di tengah umat manusia, yakni sebagai pemberi petunjuk ke arah kehidupan yang suci, fitrah, makmur, logis, dan membawa ketenangan bagi hati, kehidupan dan dunia. Jihad membutuhkan banyak sekali persiapan baik bathin maupun lahir. Butuh persiapan strategi, perkakas, kekuatan dan sasaran yang jelas. Orang yang hendak berjihad dipilih dari umat mukmin yang ikhlas, berakidah lurus dan memiliki kriteria tertentu lainnya. Sehingga jihad itu pada dasarnya tidak lepas dari nilai-nilai ilahi dan manusiawi. Terlepas dari konsep jihad, peristiwa peledakan gedung di Amerika lebih manusiawi ketimbang perlakuan Amerika terhadap rakyat dan tawanan Afganistan, begitulah kajian seorang penulis di majalah Percikan iman.

Wahai umat manusia. Beragama itu bukanlah kita Cuma duduk di mesjid dan berdoa, setelah itu kita pulang ke tengah keluarga dan tidurlah di atas ranjang. Sementara umat yang masih bodoh dalam agamanya kita biarkan. Anak-anak yatim dan kaum dhuafa yang mencari penghidupan layak tak pernah mengusik hati dan pikiran kita. Pemurtadan terus berlangsung tanpa ada sedikitpun usaha kita untuk mencegahnya. Sementara masih banyak umat manusia yang tersesat jalannya lantaran tidak mengenal Islam. AL-Quran yang suci hanya tinggal tulisan tanpa ada yang berusaha untuk menjadikannya sebagai jalan petunjuk hidup ini. Sunah Nabi tidak lagi menjadi panutan orang tua, pemuda dan anak-anak. Tingkah laku, pola hidup dan pakaian mereka telah digantikan oleh gaya hidup materialistis, hedonis, dan tampilan-tampilan yang tidak bisa dimengerti oleh logika keimanan dari umat ini.

Setiap dari kita mari kita memperlas pelaksanaan ajaran Islam. Memperdalam bidang yang sedang kita amalkan. Memperluas bidang dan memperdalam bidang yang sudah digarap adalah penitng agar kita biosa lebih menghayati aama dan memuliakan aama dan hidup ini sekaligus. Jika di waktu-waktu sebelumnya ekonomi kita masih menggunakan sistem kufur, maka mulailah hari ini untuk beralih ke sistem Islam. Jika di waktu waktu sebelumnya yang k ita ketahui dari Islam itu Cuma soal akidah saja,maka mulaialah hari ini untuk mengkaji Islam bidang sosianya,ekonominya, dan politiknya.
Ditulis Tahun 2004 di Lembang
Bandung Barat


Ditulis dalam Uncategorized

SISTEM BERFIKIR DAN BERILMU PENGETAHUAN MUSLIM

_Oleh: Ading Nashrulloh_
Assalamualaikum warahmatullahi wabarakatuh

Teman-teman peradaban Islam
Alhamdulillah pagi ini kembali hadir Group peradaban Islam.

Dalam kesempatan kali ini saya ingin memaparkan secara luas berupa analisa terhadap cara berpikir seorang mukmin sebagaimana yang seharusnya dalam kaitannya dengan upaya mencari, mengumpulkan dan meneliti sains dan ilmu-ilmu yang lainnya.

Bila kita berbicara ilmu agama maka sudah pasti orang yang mempelajarinya ketika disertai dengan semangat keimanan dia akan sampai kepada suatu kualitas keimanan yang lebih baik. Di kala itu orang akan menghadapi suatu kenyataan di mana hatinya semakin bersih. Dan akalnya penuh dengan kajian-ajian terhadap ayat-ayat al-Qur’an dan Hadist.

Namun ketika kita melihat realitas tentang bagaimana orang-orang yang mengkaji ilmu dunia maka akan tampak dalam pandangan kita bahwa mereka adalah orang-orang yang melupakan hal-hal terkait dengan agama. Mereka kurang memperhatikan ilmu agama, cara beragama, sikap beragama. Karena tidak ada keterkaitan antara ilmu dunia dan ilmu agama selama ini.

Hal itu menunjukkan dua kondisi yang sangat bertolak belakang, tidak ada keterjalinan antara ilmu dunia dan ilmu agama. Orang-orang yang ahli agama seakan-akan lupa terhadap ilmu-ilmu dunia. Bukan hanya lupa tetapi memang kenyataannya mereka betul-betul tidak menguasainya. Sebaliknya orang-orang yang ahli ilmu dunia lupa terhadap ilmu-ilmu agama bahkan mereka betul-betul tidak menguasainya.

Padahal seorang mukmin atau seorang muslim dia dapat mencerdaskan akalnya dengan ilmu dunia dan mencerdaskan hatinya dan dadanya dengan ilmu agama. Sehingga pada saat yang sama dia menjadi seorang saintis sekaligus juga seorang ulama dalam arti dia memahami tentang seluk beluk ibadah kepada Allah baik secara syariat ataupun secara hakikat dan ma’rifat.

Oleh karena itu penting sekali bagaimana kita menyajikan suatu penjelasan yang luas tentang bagaimana seharusnya seorang mukmin berfikir baik dalam kaitannya dengan ilmu-ilmu agama ataupun ilmu-ilmu dunia. Kita sangat berharap bahwa umat Islam itu tampil sebagai sosok yang menguasai ilmu dunia sekaligus juga menguasai ilmu agama.

Hal ini sebagaimana yang pernah terjadi pada generasi ketika Islam sampai di puncak peradaban. Memang pada saat Islam sampai di puncak peradaban dorongan psikologis dan semangat pada setiap diri mukmin di waktu itu sangat besar untuk mengkaji ilmu agama ataupun ilmu dunia. Bahasan ilmu dunia dan ilmu agama bukanlah dimaksudkan untuk mendikotomi akan tetapi hanya sebagai klasifikasi dan memiliki sifat hierarki.

Mudah-mudahan paparan yang akan saya sampaikan selanjutnya memberikan manfaat dan pencerahan baik bagi diri saya ataupun teman-teman sehingga teman-teman dalam grup peradaban Islam ini juga menemukan sisi-sisi penguat bagaimana seharusnya seorang mukmin atau muslim itu berpikir.

Teman-teman peradaban Islam

Sesungguhnya apa saja yang kita lihat, kita perhatikan dan kita rasakan kenyataan-kenyataan yang dapat ditangkap oleh panca indra dan akal pikiran serta hati maka kita akan menyimpulkan bahwa semuanya itu adalah ayat-ayat Allah. Ayat-ayat Allah itu merupakan sebuah kenyataan yang menunjukkan keberadaan Allah Subhanahu Wa Ta’ala. Meskipun kita tidak melihat Allah tapi kita yakin baik secara akal ataupun hati dan keimanan bahwa dibalik keberadaan alam semesta dan diri kita ada penciptanya dan dialah Allah Subhanahu Wa Ta’ala.

Maka secara logika yang sangat sederhana ketika kita melihat ayat-ayat Allah dari apapun yang dapat kita cermati baik itu berupa diri kita, baik itu berupa alam semesta, berupa dunia dan ayat-ayat kallamullah itu sendiri maka sudah seharusnya membuat kita semakin mengenal Allah. Sehingga orang-orang yang memiliki kapasitas pengetahuan yang luas dan mendalam tentang manusia, tentang alam semesta, tentang dunia dan tentang apa saja yang ada di dalam kehidupan kita ini, sudah seharusnya membuat dia semakin mengenal Allah.

Begitulah logika sederhananya. Seseorang ketika melihat keajaiban atau keluarbiasaan pada sifat fisik manusia termasuk juga tentang bagaimana manusia itu berpikir, merasa, berkeinginan, berjuang dan lain sebagainya, di harus ingat tentang siapa penciptanya. Betapa kagumnya kita terhadap manusia dari berbagai sudut pandang maka betapa Maha Kuasa Allah yang telah menciptakannya. Orang-orang yang memiliki pengetahuan dan ilmu yang mendalam tentang susunan organ dan tubuh manusia dia akan menemukan banyak sekali keajaiban dan yang membuatnya merasa takjub dengan apa yang terdapat pada tubuh manusia baik dilihat dari susunannya, sistemnya dan cara kerjanya.

Belum lagi berbicara tentang unsur hati, unsur pikiran, unsur intuisi, perasaan, pengalaman dan perjalanan sejarah umat manusia. Intinya adalah hal yang sangat mengherankan bagi kita apabila orang-orang semakin mendalam ilmunya, salah satunya tentang tubuh manusia tentang organ yang ada didalamnya tentang sistem dan kinerja nya namun tidak membuat dirinya kagum terhadap penciptanya.

Permasalahan hari ini kenapa orang-orang mereka semakin mendalam ilmunya tentang kali ragam cabang ilmu itu tidak membuat mereka semakin bagus dalam ibadahnya tidak semakin kuat loyalitasnya terhadap Islam dan ketaatan kepada Allah Subhanahu Wa Ta’ala itulah sebuah pertanda bahwa hari ini terjadi suatu sistem berpikir yang salah pada umat manusia. Dan hal ini tidak terjadi secara kebetulan akan tetapi merupakan sebuah rancangan besar dari orang-orang yang ingkar kepada Allah.

Atau dengan kata lain boleh dikatakan ini merupakan suatu rancangan daripada makhluk yang membenci umat manusia agar jauh dari Allah. Ya itu syetan laknatulloh. Hari ini kita harus selalu ingat bahwa ketika kita berbicara tentang kehidupan manusia maka banyak faktor yang terlibat di dalamnya. Ketika berbicara tentang keburukan maka faktor hawa nafsu, kebodohan, kelalaian, godaan syetan itu semuanya terlibat. Tidak ada satu perkara pun yang terpisah dari keburukan atas hal-hal tadi.

Orang-orang yang memiliki ilmu di bidang sains apalagi, di bidang agama maka berarti dia memiliki suatu penguasaan terhadap ayat-ayat Allah. Semua makhluk Allah adalah kalam-Nya. Apa maksudnya? Bahwa semua makhluk Allah itu menggambarkan ilmu yang dimiliki Allah. Setiap orang memiliki kadar pengetahuan dan pengenalan terhadap ilmu-ilmu tersebut sejauh dan sedalam apa yang Allah berikan kepadanya. Sehingga orang itu mengenal siapa penciptanya.

Setiap orang akan sampai pada suatu pemikiran bahwa dibalik kerumitan dan keteraturan alam semesta dari berbagai segmen dan sistemnya bentuk dan ukurannya, dan orang-orang yang mendalam Imunya lebih mendalam lagi pengetahuannya, dia akan menyimpulkan betapa Maha besarnya Allah Maha kuasanya Allah Dan tidaklah patut dia dipersekutukan dengan apapun. Akan semakin kuat tauhidnya kepada Allah. Karena dia melihat kenyataan betapa teraturnya alam semesta ini.

Dalam kajian kajian tasawuf dikatakan bahwa kita bisa melihat Allah dalam hal apapun. Maksud kalimat itu secara sederhana menurut kapasitas berpikir kita adalah kisah bisa melihat ayat yang menunjukkan kebesaran Allah pada apapun yang kita lihat. Hal ini karena memang Apapun yang terjadi dan ada di muka bumi semuanya merupakan rancangan dan senantiasa berada dalam genggaman dan pemeliharaan Allah.

Itulah sebabnya kenapa kita membaca alhamdulillahirobbilalamin. Karena dalam hal apapun yang ada di alam semesta itu terdapat Kekuasaan Tuhan, bagaimana cara Allah memelihara kehidupan. Betapa Maha Besarnya Allah, betapa Maha terpuji nya Allah. Disaat kita senantiasa mengucapkan kalimat-kalimat pujian kepada Allah yaitu ucapan Hamdalah, maka disaat itu sebetulnya kita sedang berdzikir kepada Allah. Dari sini tampak keterhubungan yang sangat erat bahwa setiap kali kita meneliti tentang ayat-ayat Allah, pasti lisan kita akan berdzikir. Dan ini merupakan sesuatu yang wajar ada pada sifat orang-orang Mukmin.

Apabila kita berbicara tentang orang-orang yang kafir dalam artian orang-orang yang tidak beriman kepada Allah dan tidak beriman kepada hari akhirat, maka mereka ketika mengkaji ilmu, memperdalam sains dan mengembangkan teknologi, semua yang mereka peroleh itu sama sekali tidak akan membuat mereka mengagumi akan Kemahabesaran Allah. Hal ini kalau dilihat dalam logika yang pendek tidak aneh. Artinya karena mereka tidak beriman kepada Allah, maka ilmu yang mereka peroleh tidak semakin mengenal Allah. Walaupun pada hakekatnya ketika mereka kafir kepada Allah itu sesuatu yang mengherankan.

Adapun yang menjadi sorotan, kita menghadapi suatu kenyataan dan fakta, tentang kita hari ini. Tidak dapat dipungkiri bahwa ada selalu ada orang-orang yang ketika mereka memperdalam ilmu sains dan ilmu-ilmu dunia mereka tetap menjadi hamba-hamba Allah yang senantiasa bertakwa kepada-Nya. Adapun kebanyakannya, ialah cara berpikir kaum muslimin mengikuti cara orang-orang kafir tadi. Mereka tidak hendak dan tidak ada niat dan tidak ada fakta untuk menghubungkan antara penguasaannya terhadap ilmu dunia sebagai suatu sarana untuk mengenal Allah lebih dekat. Padahal nyata-nyata sejak jauh hari dia yakin bahwa alam semesta itu diciptakan oleh Allah.

Kembali lagi kepada pokok dan topik diskusi kita. Sudah seharusnya ketika kita mengkaji ayat-ayat Allah hati harus selalu terkait dengan Allah. Kita harus selalu ingat tentang Pencipta, ketika kita mengkaji ayatt-ayat-Nya. Kita harus selalu ingat bahwa manusia dan alam semesta itu adalah makhlukNya, adalah kalam-Nya, ayat-ayat-Nya. Semua urusan kehidupan yang sedemikian rapihnya akan semakin disadari oleh orang-orang yang mendalami dan menelitinya bahwa Tuhan Maha Agung.

Sahabat-sahabat peradaban

Ketika seseorang semakin menyadari akan Kekuasaan Allah subhanahu wa ta’ala pada alam semesta ini, melalui kajiannya terhadap ilmu-ilmu, di mana ilmu-ilmu itu mengungkap rahasia-rahasia alam dan kehidupan, maka dia akan melihat dirinya kecil dan lemah. Dia akan melihat bahwa dirinya diciptakan, artinya dia berada dalam dan kekuasaan Allah. Di saat itu dia harus semakin menyadari akan makna dan nilai kehambaan dirinya dihadapan Allah. Untuk itulah wajar dia menunjukkan sikap tawadhu merendah di hadapan-Nya.

Ketika dia mengarahkan pandangan dan kesadaran ke makhluk-makhluk ghaib yaitu malaikat dan jin. Maka dia akan melihat tentang Kemahakuasaan Allah dalam menciptakan mereka, mengatur mereka, mengarahkan mereka, membina kehidupan mereka, dengan sifat dan tugasnya masing-masing. Malaikat ditugaskan oleh Allah untuk mengurus alam dan manusia terkait benda-benda yang ada di alam semesta itu. Adapun jin yang ditugaskan oleh Allah sebagaimana manusia untuk beribadah. Mereka hidup di suatu alam yang tidak bisa dilihat oleh manusia. Sebagaimana juga malaikat. Kita bisa mengetahui keberadaan Jin dengan sifat dan segala sesuatunya sangat terbatas panjang yang diberitahukan oleh Allah. Karena kita tidak memiliki alat untuk mengetahui mereka lebih jauh melainkan hanya dengan Wahyu.

Namun Betapapun terbatasnya pengetahuan kita tentang malaikat dan jin, yaitu dibatasi oleh sejauh penjelasan dari Wahyu dan Hadits namun tetaplah semua itu harus membuat kita menyadari terus-menerus dan semakin mendalam tentang kemahakuasaan Allah.

Bersambung…..

Bandung, 14 Agustus 2019


Ditulis dalam Uncategorized

Catatan dan Nasihat

*Beberapa Catatan dan Nasihat Ringan*
_Oleh: Ading Nashrulloh_
Ketika hati jauh dari Allah, ketika ibadah berkurang kadarnya, maka hati diliput kegelapan. Cahayanya redup, sehingga tak mampu menangkap hikmah kehidupan yang terjadi di hadapannya. Kadar ilmu ikut berkurang. Yang keluar dari lisan, hanyalah kata-kata yang tak banyak manfaatnya. Jika kita masih menyadari keadaan ini dan masih ada kerinduan kepada beningnya hati dan khusyunya jiwa, marilah kita memohon kepada Allah, agar dimudahkan dalam menjalani ibadah-ibadah yang lebih berkualitas.

Kalimat terakhir di dalam surat al-fatihah itu, merupakan peringatan keras dari Allah bagi setiap hamba. Bahwa di hadapan mereka selalu ada kekuatan jahat yang mencelakakan umat. Yaitu kekuatan yang disokong oleh orang-orang yang dimurkai Allah dan kekuatan yang disokong oleh orang-orang sesat. Merekalah yang menjadi sebab hilangnya nikmat berupa iman. jadi sebab kaburnya jalan kehidupan yang bersih. Sampai pada ujungnya menyebabkan manusia tak mengenal Allah yang Menciptakan.

Setiap perkara memiliki efek. Tauhid merupakan perkara besar dalam kehidupan manusia. Siapa yang meyakininya akan berefek kebaikan yang banyak. Siapa yang tertutup darinya akan berefek kerugian yang besar. Memang tauhid merupakan sentral nilai seseorang dan kehidupannya. Tauhid merupakan perintah tertinggi dari Allah kepada segenap manusia. Dan kebalikan dari Tauhid, yaitu syirik merupakan larangan terbesar. Sebab itu mendalami ilmu tauhid dan meyakini tauhid merupakan hal utama.

Sholat itu merupakan pernyataan iman. sholat itu bukti iman. Seseorang tidak bisa disebut beriman, ketika dia tidak melakukan sholat, sekali pun perkataannya mengaku orang yang beriman. Iman itu ada dalam kerangka terkait hal ghaib. Jadi iman memiliki nilai ujian tersendiri. Bisakah seseorang berlaku lurus dalam kehidupannya dan berjuang atas nama iman, padahal apa yang menjadi dasar dari keyakinannya itu ghaib, tak terlihat. Hanya memang bisa dipahami melalui kaidah ilmu.

Apa efek beriman kepada hari kiamat? Semangat dalam beribadah kepada Allah. Dan sekaligus menyandarkan kekuatan hidup hanya kepadaNya semata. Ini merupakan suatu rumus. Kalau kita ingin bersemangat dalam beribadah kepada Allah, cobalah perdalam pengetahuan tentang hari kiamat. Dengan memohon kepada Allah agar ditanamkan pula rasa keimanan yang kuat terhadap hari kiamat itu. Yakin dengan cara itu, kita akan melihat kehidupan kita sesungguhnya di alam sana saja.

Nikmat terbesar dalam kehidupan adalah iman. Jadi betapa pun negeri kita kaya, harta kita banyak, ilmuwan kita banyak, pejabat, tentara, polisi tak kurang jumlahnya, perniagaan lancar, peternakan dan perkebunan selalu menghasilkan, tapi kalau tidak beriman, maka semua nikmat itu tidak ada artinya. Imanlah yang memberikan bobot kenikmatan dalam kehidupan. Orang-orang yang jauh dari keimanan, apa saja dari kenikmatan dunia yang sampai di tangan mereka, tidak membuat hati bahagia.

Materi-materi tentang Islam mudah kita dapatkan. Ilmu tersebar luas dengan adanya buku dan internet. Tinggal kemauan yang kuat untuk banyak membaca. Atau datang ke majelis-majelis ilmu. Maka senantiasalah kita mendapati orang-orang yang berkomitmen dalam beragama. Tidak tergoda oleh urusan dunia. Dunia tetap mereka genggam sekedar untuk menopang kehidupan lahir. Namun di hati mereka, kekayaan yang sebenarnya adalah keimanan. Sehingga mereka menjaganya siang dan malam.

Sholat di masjid itu memberikan kesempatan untuk berjalan pulang pergi antara rumah dan mesjid dan mengisinya dengan dzikir atau istighfar. Pastilah banyak manfaat sholat berjamaah di masjid itu, walaupun terkadang di sepanjag masa, bentuk dan sifat kehidupan masih begitu-begitu juga. Terjebak dengan rutinitas. Paling tidak pilar kebaikan itu tetap berdiri. Paling tidak kita tetap bisa menjaga hati dan fikiran tetap positif. Paling tidak iman itu masih ada di dalam hati sanubari.

Apa isi Al-Quran itu secara intisarinya? Isi al-Quran itu adalah kebaikan dan kebenaran. Al-Quran berbicara tentang hakikat alam semesta dan manusia. Hakikat keberadaan saat ini dan arah yang sedang dituju oleh kehidupan manusia. Al-Quran itu hanya diperuntukkan bagi orang-orang yang beriman. sedangkan bagi orang kafir, al-Quran itu tidak menambah apa-apa melainkan suatu kegelapan. Sebab antara al-Quran dan orang kafir ada dinding pemisah. Jangan sampai kita berjarak dengan al-Quran.

Taubat hanya mungkin dilakukan oleh para perindu kesucian hidup. Taubat itu merupakan suatu anugrah Allah yang diberikan kepada hambaNya. Maka mintalah kepada Allah dalam setiap keadaan agar dibimbing kepada kesucian hidup. Sehingga kita bisa melihat kesalahan demi kesalahan yang selama ini diperbuat. Karena untuk melihat bagaimana kita berbuat salah atau benar, tak cukup hanya sekedar menyandarkan kepada ilmu, tetapi pada pokoknya tergantung bagaimana Allah beri hidayah.

Kebaikan yang kita perbuat adalah cahaya. Bukan hanya untuk diri sendiri tetapi juga bagi semua umat manusia. Jika hari ini kita masih merasakan ketentraman hidup, padahal kebaikan kita masih sedikit, sejatinya hal itu adalah buah yang kita rasakan dari baik dan tulusnya manusia lain berbuat dan menanam kebaikan. Maka dukunglah kebaikan apa pun yang dilakukan siapa pun. Karena cahayanya akan ikut serta menerangi alam semesta dan berjalanlah manusia di atas cahaya itu.

Iman itu ibarat kecambah. Dan takwa merupakan pohon yang tumbuh dari kecambah itu. Jika iman tumbuh kuat menjadi ketakwaan, maka iman harus dijaga, disiram, dipupuk. Iman dijaga dari para pencuri. Pencuri iman itu adalah syaithan dan nafsu yang diikuti. Iman harus disiram dengan ilmu. Ilmu tentang tauhid, akidah, ibadah, akhlak, dan apa saja yang diajarkan oleh Islam. Iman harus dipupuk dengan ibadah yang lekat, dengan taubat dan sikap bersungguh-sungguh dalam ketaatan.

Orang beriman akan senantiasa tolong menolong dalam kebaikan dan ketakwaan. Dan kebalikan dari perkara ini adalah antara syetan dan orang kafir, antara keduanya juga saling tolong menolong. Orang kafir menolong syetan dalam menyesatkan manusia. Sedangkan syetan menolong orang kafir dalam kemaksiatan. Manusia yang bisa terhindar dari tipu daya syetan adalah orang ikhlas, sedangkan yang bisa terhindar dari tipu daya kafir adalah orang yang sabar. Sabar itu bukan diam saat dijajah.

Suatu perbuatan yang baik ternyata belum tentu baik secara hakiki. Adakalanya perbuatan itu niatnya riya. Kadang sebagai topeng untuk menyembunyikan hakikat lain. Mungkin dilakukan karena ikut-ikutan tanpa ilmu. Adakalanya dunia yang dituju darinya. Semua itu keliru.

Perbuatan baik yang hakiki adalah perbuatan yang dilakukan atas nama Allah. Perbuatan itu dilakukan untuk Allah. Di kalangan awam perbuatan baik itu dilakukan untuk meraih pahala, kasih sayang, rido, cinta dan balasan kebaikan dari Allah. Singkatnya ikhlas.

Empat dimensi beramal baik. Pertama niatnya atas nama Allah. Kedua, selaras dengan aturan agama dan hukum kehidupan. Ketiga, menumbuhkan kasih sayang dan berguna bagi manusia. Keempat, menjadi bekal untuk menghadap Allah kelak.

Wujud amal baik terdiri atas empat macam sifat. Pertama, ibadah dan selalu bergantung kepada Allah. Kedua, menempuh jalan yang dijelaskan Kitab. Ketiga, mengikuti jejak orang-orang beriman. Dan keempat tidak berisi pertentangan dan penentangan terhadap semua dimensi di atas.

Beberapa sifat menghancurkan yang harus selalu diwaspadai. Prasangka buruk, panjang angan-angan, mengikuti nafsu, dengki, takabur, putus asa. Kemudian, jahil, lupa, lalai, gegabah, tertipu. Penjelasan panjang tentang sifat-sifat buruk ini ada di kitab-kitab.

Di samping itu ada penamaan atas sifat-sifat yang melawan keimanan. Seperti munafik, musyrik, fasik, zhalim, kafir, murtad, bughot. Masing-masing sifat ini mencakup banyak sifat-sifat buruk turunannya. Kita harus mengetahui ilmunya agar bisa menjauhinya.

Dua sifat buruk utama yang wajib selalu diingat dan diwaspadai: maksiat dan sesat. Perbedaannya begini, maksiat itu mengasumsikan tahu kebenaran tapi tidak mengamalkannya. Tahu kewajiban tapi tidak melakukannya, tahu larangan tapi dilanggar. Maksiat.

Sedangkan sesat itu mengasumsikan tidak tahu kebenaran. Melakukan sesuatu hanya berdasarkan prasangka, disangka sesuatu itu kewajiban. Menjauhi sesuatu berdasarkan prasangka, disangka sesuatu dilarang. Mau beramal tapi tidak berdasar kepada ilmu yang benar. Sesat.

Inti atau akar masalah dari maksiat dan sesat adalah lalai. Lalai itu lupa, melupakan, tidak mau memperhatikan, tidak peduli, masa bodoh, malas, tidak mau berfikir, tidak mau berusaha ke arah yang benar. Sebab lalai ada lagi yaitu dunia, nafsu dan sihir.

Dunia memang dirancang menuju dua arah yang berlawanan. Menarik manusia kepada kepatuhan dan kelurusan; atau menariknya kepada penentangan terhadap kebenaran. Nafsu pun demikian selalu mendorong manusia ke arah yang bengkok. Sihir apalagi.

Obat lalai adalah selalu ingat. Ingat kepada takdir diri. Apa takdir diri? Diciptakan, dianugrahi dan dituntut. Tiga hal yang tidak bisa disangkal. Karena dicipta maka wajib menyembah, karena dianugrahi maka wajar bersyukur, karena dituntut maka harus taat.

Untuk selalu ingat banyak jalan. membaca, berdiskusi, berkumpul, bertanya, berdoa, berfikir, tafakur, dzikir, sholat, belajar, mengajar. Semua itu jalan-jalan untuk selalu ingat. Jalan-jalan harus dipilih dan berkomitmen kepada keimanan. Dijamin tidak akan lalai.

Ingat itu berisi komitmen. Dan itu merupakan kekuatan anti maksiat dan sesat. Sekaligus juga merupakan kekuatan untuk tetap di dalam prinsip keimanan sekali pun berat beban berhadapan kejahatan. Kejahatan tidak pernah diam.

Kejahatan itu mengasumsikan kekuatan anti ketaatan dan kelurusan. Kejahatan tidak sekedar merupakan kemaksiatan, tapi penopang dan pendukung kemaksiatan. Kejahatan tak sekedar perbuatan merusak kehidupan sosial, tapi juga utamanya perusak kelurusan.

Jadi hidup yang baik dan lurus tak cukup waspada dari maksiat dan sesat. Yang mungkin dilakukan oleh diri sendiri akibat lalai. Tapi juga harus waspada terhadap kekuatan yang menggulirkan kemaksiatan dan kesesatan itu, yang kita sebut kejahatan.

Yang lebih berat dari itu adalah bertahan dalam prinsip dan keimanan ketika kejahatan bersatu dengan kekuasaan. Sebab yang menjadi panglima dari pengaturan kehidupan sosial adalah kebatilan. Kekuasaan yang bersatu dengan kejahatan mampu menghanguskan seribu kebenaran.

Terkadang kita dihadapkan dengan kenyataan yang serba membingungkan. Maju bingung mundur pun bingung. Diam bahaya, maju pun bahaya. Serba takut, dan hampir putus asa. Di kala itu yang dibutuhkan adalah kekuatan akal fikiran. Tenangkan diri, tarik nafas dalam-dalam dan cobalah berfikir dengan jernih dan berdoa. Pada akhirnya kita harus memilih dengan suatu keyakinan yang kuat apakah akan maju atau mundur. Apakah akan diam atau bergerak.

Jangan pernah kita melakukan kesalahan yang sama di masa selanjutnya. Karena, suatu kesalahan, dirasakan ataupun tidak akan akibatnya, tetap saja kesalahan itu merupakan suatu hal yang buruk. Terkadang kesalahan itu membuat terhalangnya diri kita dari kesuksesan. Terkadang mengakibatkan keruhnya cara bertingkah laku dan buruknya penampilan kita di masyarakat. Dan seringkali akibat suatu kesalahan menyebabkan banyak orang menjadi korban dan ikut menderita.

Memperbaiki diri itu pasti bisa dilakukan setiap orang. Jangan menunggu hari yang baik untuk berubah ke arah yang lebih baik. Hari yang baik itu adalah hari di mana kita mau berhenti dari jalan yang keliru, dan berkomitmen untuk menempuh jalan yang lurus dan rasional. Jalan yang menyelamatkan dan mengikuti tuntutan yang benar. Tidak harus melakukan perubahan besar untuk menjadi baik. Asalkan suatu perbaikan dilakukan terus menerus, maka ketinggian derajat hidup pasti diraih.

Akhlak yang baik dimulai dari berfikir yang rasional, perasaan yang halus, pengalaman yang menyentuh dan suatu harapan yang luhur. Tidak pernah suatu akhlak berlawanan dengan akal sehat. Semakin kita mengasah akal sehat, dari mulai perkara yang paling sederhana dalam hidup, hingga paling pelik, tidaklah akan memberikan suatu perumpamaan dan pelajaran bagi diri seseorang melainkan ia akan memandang tentang tingginya nilai akhlak, yang pada akhirya ia berkomitmen untuk selalu mewujudkannya dalam hidup.

Hati nurani bukanlah sumber kebenaran, tetapi dengannya lah kita bisa melihat kebenaran. Ia seumpama mata yang melihat, ketika cahaya ada mengelilingi. Mata bukan sumber cahaya, namun tanpa membuka mata, cahaya menjadi tak bermanfaat. Begitulah pula keadaan hati nurani, ia akan sangat peka melihat kebenaran walaupun di sekeliling pekat dengan kekotoran tingkah laku manusia. Namun jika hati nurani telah padam, maka seindah apa pun akhlak manusia di hadapannya, ia tetap tak mau mengakui.

Hati nurani seumpama akal. Jika akal menimbang suatu persoalan menurut alur logika, maka hati nurani memberikan bobot penilaian atas suatu persoalan, apakah hal itu pantas atau tidak untuk dibahas ke permukaan. Orang-orang yang berhati nurani tajam, pastilah jeli melihat persoalan hidup di sekelilingnya. Ia mau berfikir dan sekaligus bertindak tegas dalam membela kebenaran. Namun halus dalam pergaulan normal. Tajamnya hati nurani tergantung kepada bagaimana akal dan tingkah laku dilatih untuk mengikuti kebenaran yang terang benderang.

Hidup lapang kadang menjadi suatu racun bagi diri. Yaitu ketika kelapangan itu membuat kita merasa aman dari malapetaka yang senantiasa mengancam. Padahal ancaman itu tidak pernah lengah untuk menipu dan menampakkan fatamorgana. Sehingga kita terjebak dalam kelalaian demi kelalaian. Kalaupun sadar, kesadaran sudah sangat terlambat karena diri di waktu itu sudah berada di pinggir jurang kehinaan, kerugian dan kecelakaan. Itulah mengapa dibutuhkan kita harus bermuhasabah diri. Agar tidak lalai dalam mengingati diri.

Suatu perkataan kasar, mungkin tidak begitu jelas apa yang menjadi latar belakangnya. Sekalipun jika mau diteliti, pastilah ada sebab-sebabnya secara pasti. Namun biasanya ucapan kasar memberikan sebentuk perwajahan pada raut muka kita yang tidak menyenangkan. Sebab, setiap ucapan bukan hanya gambaran dari isi hati kita, tapi sekaligus memberikan efek terhadap hati. Baik hati sendiri ataupun hati oran lain. Apalagi hati anak-anak. Ucapan kasar itu bisa membuat hati menjadi keras. Kemudian menyebabkan akal fikiran menjadi beku. Dan pergaulan menjadi kaku kasar.

Ketika kita memandang kehidupan ini tampak selalu menzhalimi kita, padahal belum tentu zhalim, sedangkan ilmu untuk menganalisanya tidak ada, maka biasanya kita menjadi orang yang selalu berkeluh kesah. Semua orang disalahkan. Sampai presiden pun disalahkan. Setiap peristiwa selalu menjadi bahan gerutuan. Menggerutu menjadi kebiasaan. Menjadi ucapan, menjadi nyanyian. Sampai mencari uang pun dengan cara menyanyikan gerutuan demi gerutuan. Semua dikritik, semua dicaci. Seakan sudah tidak lagi hal terpuji dalam kehidiupannya. Di saat itu, berhentilah sejenak mari kita mendatangi bijak bestari.

Jika ada orang yang mampu mengurus keadaan rumahnya, begitu gesit dan cekatan, sehingga rumah pun kinclong, tertata rapi dan menyenangkan; maka ada pula orang yang mampu membuatnya berantakan. Begitulah pula dalam kehidupan bernegara. Rumit memang memandang persoalan Negara dari kacamata orang awam, seperti kita. Namun bagi mereka yang mendalaminya, urusan Negara ini sangatlah enteng. Untuk membangunnya menjadi indah atau merusaknya menjadi luar biasa kacau, tanpa kelihatan bahwa dialah sang perusak.

Untuk bahagia, setidaknya kita bisa mencapainya dengan mengenal empat kata, kemudian kita mempraktekkannya. Empat kata itu adalah; bersih, lurus, kering, penuh. Bila menemui hal yang kotor-kotor, bersihkan. Bila menemukan hal yang bengkok dan keliru, luruskan. Bila menemukan hal yang becek dan mengganggu, keringkan. Dan bila punya utang atau kewajiban apa pun itu, segera penuhi. Maka dengan cara itu dijamin hidup akan bahagia. Kalau misal belum bahagia, kunci terakhir adalah luaskan intensitasnya atas empat perkara di atas.
Bandung, 6 Mei 2019


Ditulis dalam Uncategorized

Bab Ikhlas

*DARI BAB KHLAS*
_Oleh: Ading Nashrulloh_
*Edisi Agustus 2019*

Seseorang ingin memiliki bangunan yang indah, besar dan monumental. Hal apakah yang harus dipersiapkannya? Konsep, bahan, tenaga kerja dan waktu. Semakin besar dan indah wujud bangunan, semakin banyak bahan yang harus dia siapkan.

Semisal ikhlas itu adalah bangunan, maka demikianlah kita harus memiliki beberapa syarat dan bahan untuk mewujudkannya. Kita tidak bisa memiliki keikhlasan yang secara tiba-tiba bernilai tinggi. Kita butuh waktu untuk membangunnya. Butuh banyak ilmu, latihan, komitmen, pengorbanan.

Pondasi dari wujud ikhlas adalah konsep yang benar tentang ikhlas. Agar gambaran ideal dari ikhlas itu ada dalam jiwa kita. Dengan kata lain, kita harus punya ilmu yang jelas dan tegas tentang ikhlas. Karena kalau tidak demikian, boleh jadi kita salah arah.

Secara konseptual, ikhlas hanya ada dalam dua keterkaitan. Keterkaitan dengan Agama, dan keterkaitan dengan Tuhan. Ikhlas itu hanya ada dalam dua kondisi. Kondisi raga taat pada Islam dan kondisi jiwa bergantung kepada Allah.

Berarti, ikhlas itu tidak ada pada orang-orang yang kafir dan lalai. Ikhlas tidak ada di hati orang-orang munafik dan orang-orang yang mengabaikan perintah-perintah agama. Ikhlas tidak akan ada di hati yang kotor, penuh dosa, dan bertabiat kasar dan keras terhadap kebenaran.

Kondisi raga taat pada Islam dan kondisi jiwa bergantung kepada Allah, di situlah ikhlas berada. Sebab itu keikhlasan ini menuntut usaha keras dan sabar agar raga kita senantiasa berada dalam ketaatan kepada syariat Islam. Panjang deskripsi bagaimana agar kita taat kepada Islam.

Keikhlasan juga menuntut komitmen agar hati kita selalu bergantung kepada Allah. Bergantung kepada Allah artinya selalu mengingat Allah, mengaitkan hal apa pun dengan Allah, merindukan Allah, dan menjadikan semua gerak aspek hidup sebagai pengabdian kepadaNya.

Mengingat Allah tidaklah bisa kita lakukan kecuali kita mengenal Allah dengan benar. Pengenalan yang bersifat makrifat. Bukan mengenal hanya sebatas tahu secara akal. Tapi tahu yang disertai dengan pengakuan dan ketundukan. Karena banyak orang yang mengenal Allah tetapi tidak dengan makrifat.

Makrifat adalah pengetahuan dan pengakuan. Kebenaran dan sikap membenarkan. Seseorang dikatakan bermakrifat, bila ia memiliki pengetahuan yang benar, dan tunduk kepada kebenaran itu. hal ini bertolak belakang dengan pengetahuan yang keliru dan sikap menentang kebenaran.

Seseorang boleh jadi dalam keadaan bersikap tunduk dan membenarkan kepada pengetahuan yang datang kepadanya, tapi pengetahuan itu salah. Batil. Sehingga membuahkan jalan kehidupan yang sesat. Apalagi bila pengetahuan itu berkaitan dengan Tuhan.

Ikhlas itu didirikan di atas makrifat. Makifat itu ilmunya benar, sikapnya membenarkan. Jadi ikhlas menegasikan ilmu yang batil dan sikap mendustakan kebenaran. Orang tidak akan pernah sampai kepada ikhlas, ketika kebenaran telah datang , namun ia menolaknya atau kafir.

Orang yang membenarkan kebenaran, memiliki pondasi untuk ikhlas. Ia serta merta tidak akan pernah mengakui konsep kehidupan yang keliru, apalagi membenarkannya. Namun ketika seseorang tidak mengakui suatu konsep yang batil, tidak serta merta telah bersikap benar.

Mengenal Allah harus dengan makrifat. Ilmunya harus benar, dan sikapnya harus membenarkan. Tidak sedikit manusia yang mengenal Allah dengan tidak benar. Sehingga sikapnya yang membenarkan tetap saja membawanya kepada kesempitan dan kecelakaan. Kesesatan dan kezhaliman.

Bagaimana manusia bisa mengenal Allah dengan benar? Dan bagaimana manusia bersikap yang berkualitas terhadap pengenalannya itu? Jawaban atas kedua pertanyaan ini, ada dalam dua kalimat yang bernama syahadat. Mengenal Allah secara tauhid dan mengenal Allah melalui RasulNya.

Jadi pintu gerbang kita mengenal Allah secara benar, hanyalah melalui pintu yang bernama nubuwah, kenabian. Apa yang dibawa Nabi Muhammad Saw? Wahyu, Risalah dan hikmah tentang hakikat kehidupan dan hakikat manusia. Jadi ikhlas itu terkait dengan kenabian.

Kita bisa menemukan praktek keikhlasan yang paling ideal, fenomenal, real dan mudah untuk ditiru pada kehidupan Nabi Muhammad Saw. Dan melalui nuhuwah, ikhlas menjadi ada di muka bumi. Dengan ikhlas itulah manusia menjadi sosok yang tahan dan tidak bisa digoda oleh syaithan.

Nilai yang dibawa di dalam nubuwah atau kenabian, atau risalah pertama-tama yang diserukan oleh para Nabi sepanjang zaman adalah tauhid. Tauhid ini merupakan inti sari dari makrifat. Konsep dan sikap kepada Tuhan yang hanya ada di dalam Islam; pondasi dari lurus dan beresnya kehidupan manusia.

Tauhid itu adalah ilmu yang benar tentang Tuhan. Sedangkan sikap yang benar terhadap tauhid adalah syahadat. Syahadat itu membawa serta tauhid. Ketika bersyahadat, manusia berada dalam dua keadaan. Ia telah berilmu tauhid secara mendalam, atau ia mengetahuinya secara dasarnya saja.

Tauhid dalam konsep yang paling mendasar adalah mengetahui bahwa tidak ada Tuhan selain Allah. Allah itulah satu-satunya Tuhan. Apa saja selain Allah, disembah ataupun tidak disembah oleh manusia bukanlah Tuhan. Penyembahan yang dilakukan manusia kepada selain Allah adalah dipandang salah.

Termasuk suatu kesalahan yang dilakukan oleh banyak manusia, sehingga terhalang dari makrifat adalah sikap menyekutukan Allah. Menyembah selain Allah disamping Allah. Apalagi suatu keyakinan yang menyatakan bahwa Allah itu banyak. Keyakinan itu hanyalah perkataan dusta semuanya.

Tidak akan pernah ada keikhlasan di hati orang-orang yang melakukan kemusyrikan. Orang-orang yang menegakkan agama selain Islam, atau menyimpang dari ajaran tauhid, ia tidak akan pernah memiliki suatu hati yang ikhlas dalam hidupnya. Kecuali dalam beberapa keadaan yang sangat sempit.

Oleh sebab itu, orang yang ingin memiliki keihlasan pertama-tama harus menegakan komitmen yang jelas dan tegas dalam bertauhid sekaligus menghempaskan semua keyakinan yang batil tentang Allah. Yaitu keyakinan-keyakinan yang bersifat dan keadaan syirik dari semua aspek hidupnya.

Jadi wujud-wujud perbuatan, keyakinan, kebiasaan yang bermuatan syirik, harus diketahui secara jelas. Kemudian dihindarkan semuanya dari sikapnya. Ia harus mengetahui keburukan, kesesatan, kemungkaran, kerusakan yang diakibatkan dari perbuatan syirik yang bisa ditemukan di kenyataan.

Perbuatan syirik adalah penghalang dan penghangus semua amal kebaikan manusia. Dalam pandangan Allah, orang yang berbuat kebaikan dalam perniagaan, pengetahuan, dan kemanusiaan, tidak dipandang telah berbuat kebaikan, jika masih musyrik kepada Allah.

Syirik yang menjadi pondasi pengetahuan dan sikap musyrikin, merupakan perkara besar sebagai larangan dari Allah bagi orang-orang yang ingin meraih keikhlasan. Kita boleh dan harus banyak mengupas secara luas dan mendalam tentang wujud-wujud kesyirikan agar berjaga darinya.

Dua kalimat syahadat yang mengandungi kalimat Tauhid itu memiliki tiga konsep utama. Yaitu menegasikan syirik, pernyataan sikap untuk bertauhid, dan ketundukan untuk mengikuti risalah Nabi Muhammad Saw. Semua praktek kehidupan ikhlas itu didirikan di atas tiga konsep ini.

Boleh juga ditambahkan konsep keempat, yaitu menegasikan risalah yang tidak bersumber dari ajaran Nabi Muhammad Saw, yang dikenal sebagai bid’ah. Pada dasarnya, semua konsep yang bertolak belakang atau sikap yang melalaikan atau melawan inti dari tauhid dan risalah harus dinegasikan.

Mengikuti risalah Nabi Muhammad Saw merupakan pembangun keikhlasan sekaligus bukti adanya keikhlasan itu. Orang yang ikhlas itu adalah orang bersabar di dalam mengikuti setiap perkara yang diperintahkan Nabi Muhammad Saw. Dan menjauhi apa yang dilarang oleh beliau Saw.

Risalah Nabi Muhammad Saw berwujud dua hal. Yaitu konsep dan praktek. Konsep itu adalah pengetahuan yang benar bersumber dari wahyu. Sedangkan praktek adalah amalan yang muncul baik sebagai buah ataupun realisasi dari konsep. Amalan itu kemudian dinamakan dengan sunnah.

Orang yang bersabar dalam menjalankan sunnah, adalah orang yang memiliki keikhlasan dalam hidupnya. Cukuplah dalam pandangan manusia, orang yang teguh, istiqomah, bersabar dalam menjalankan sunnah itu sebagai orang yang ikhlas dalam kehidupannya.

Ikhlas itu mensyaratkan adanya makrifat, tauhid, syahadat, risalah dan sunnah. Sekaligus juga menegasikan sikap jahil, syirik, kafir, jahiliah dan bid’ah. Juga menegasikan sikap lalai baik secara keilmuan maupun secara praktek atau internalisasi dan implementasi.

Jahil itu adalah spektrum sikap yang menegasikan ilmu. Mulai dari masa bodoh hingga menentang kebenaran. Sikap masa bodoh bisa terjadi pada orang yang berakal ataupun orang yang kurang akal. Yaitu orang yang tidak mau meluangkan waktunya untuk berfikir dan mencari pengetahuan apa pun.

Sedangkan orang yang menentang kebenaran adalah orang yang memang sejak awal berkomitmen untuk mengabdikan diri di bidang keilmuan, mengungkap tentang rahasia-rahasia kebenaran yang paling hakiki. Namun setelah nyata di hadapannya kebenaran berpaling darinya.

Di antara dua keadaan itu adalah orang yang cerdas namun lalai terhadap pengetahuan yang fundamental. Ia lebih memperhatikan ilmu-ilmu yang remeh-temeh namun sering dianggapnya penting. Sehingga kecerdasan yang dimilikinya tidak diarahkan untuk menyambut ilmu yang penting-penting.

Keikhlasan itu tidak mungkin hinggap di hati orang-orang yang berkeadaan demikian. Ikhlas menuntut kita untuk senantisa berada dalam keadaan mencari ilmu, memperhatikan ilmu, menguatkan ilmu, memperdalam dan menjaganya dari kerusakan-kerusakan. Tanpa ilmu, ikhlas tak wujud.

Di hati orang yang kafir tidak akan pernah ditemukan keikhlasan. Kafir itu adalah ketiaadaan hidayah sehingga tertutup dari iman. Kelurusan pada bagian hidup mungkin masih ada padanya. Yaitu ketika akal, harta, akhlak, persaudaraan dan pengetahuan kemanusiaan masih bekerja dengan baik padanya.

Ketiadaan hidayah itu pasti ada sebabnya. Sebab yang paling nyata dari tidak adanya hidayah pada diri seseorang atau suatu bangsa dan umat adalah karena dua faktor saja. Pertama kerasnya hati akibat maksiat dan kejahatan. Kedua kerasnya hati karena menolak dakwah atas risalah dan nubuwah.

Dakwah atas risalah dan nubuwah telah disampaikan sepanjang masa kehdupan manusia ke seluruh bagian belahan bumi. Dakwah ini terus menerus berlangsung dibawakan Dai. Kenyataan bahwa ada manusia atau belahan bumi yang tidak mengenal Islam, itu hanyalah akibat dari suatu keadaan.

Hal ini seumpama dengan kenyataan bahwa para pemikir besar di dunia, telah sampai kepadanya kitab al-Quran dan buku sejarah Islam dan sejarah Nabi Muhammad Saw, namun seakan-akan tidak mengenal Islam. Ia tidak mau berbicara tentang Islam. Ia menutup diri dari cahaya Islam. Itu pilihannya.

Dakwah yang berisi risalah tauhid dan nubuwah ini kandungan konsepnya sangat sederhana, mudah untuk dilisankan dan dipahami akal. Al-Quran mengandung kalimat-kalimat yang mudah dipahami siapa pun, namun demikian karena hati itu keruh penuh dosa dan prasangka buruk, terhalang juga darinya.

Kenapa dakwah dilakukan kepada kaum jahiliah? Siapa pun manusianya, asalkan akalnya masih bekerja dengan baik, ia masih bisa memilah mana perbuatan baik dan buruk. Maka mereka masih mungkin untuk menerima dakwah dan dibukakan akalnya untuk menerima hidayah. Tunduk kepada Islam.

Apalagi dalam diri manusia diperlengkapi dengan hati nurani. Yang bisa merasakan nilai suatu pemikiran, pengalaman dan perbuatan, apakah termasuk kebaikan dan keburukan. Lebih tajam dari hati adalah sirr, rahasia Tuhan yang mungkin masih ada pada diri seseorang.

Sirr ini adalah lapisan paling dalam dari kesadaran manusia, yang memungkinkan manusia selalu rindu kepada kebenaran dan moralitas yang suci. Sirr ini bersifat intuitif, dan merupakan kekuatan terakhir pada diri manusia untuk berjalan menuju cayaha dana jalan Tuhannya.

Sirr inilah yang menjadi alasan mengapa umat Islam selalu berdakwah sepanjang masa kepada manusia, padahal di hadapannya itu tidak lain adalah manusia-manusia yang lalai, keras hatinya, kafir, senantiasa mencaci maki Islam, memusuhi Islam. Karena di hati mereka mungkin sirr nya masih ada.

Dakwah memang lebih mudah dilakukan kepada orang-orang yang masih mau berfikir secara jujur, kepada orang-orang yang masih menjaga diri dari perbuatan dosa, dan gemar kepada ilmu, namun dalam kenyataannya hidayah malah datang kepada mereka yang keras kepada Islam. Itu rahasia Tuhan.

Jahil itu sikap masa bodoh atas ilmu dan kebenaran sampai pada tingkat menentangnya. Sedangkan jahiliah adalah konsep sistematis dan sistemik penopang sikap jahil. Sehingga jahil ini menjadi pondasi dari bangunan peradaban bagi dirinya. Setiap kebenaran hakiki yang datang kepadanya pasti ditolak.

Jadi jahiliah adalah keadaan yang kontadiksi dengan keikhlasan. Seseorang atau suatu masyarakat tidak mungkin jahiliah dan ikhlas sekaligus. Kejahiliahan mesti ditiadakan dari diri seseorang jika ia ingin ikhlas. Kejahiliahan itu bersifat menegasikan semua kebenaran risalah dan nubuwah.

Jahiliah itu merupakan kekuatan di luar peribadi manusia yang sangat besar pengaruhnya bagi kehidupannya, sehingga ia terbawa bersikap jahil. Dalam dirinya sendiri ada kekuatan lain yang membawanya kepada jahil atau sikap menolak kebenaran, yaitu hawa nafsunya.

Hawa nafsunya menggiringnya kepada perbuatan dosa, sedangkan masyarakatnya yang jahiliah menariknya kepada perbuatan dosa pula. Jadilah saling menguatkan. Dalam keadaan seperti itu, maka dakwah kepada kebenaran dibutuhkan kekuatan yang besar. Karena penentanganya juga besar.

Dakwah kepada masyarakat jahiliah tidak cukup hanya dengan penjelasan perjalanan dan tabiat ilmu. Tapi diperlukan juga kekuatan jihad. Karena adakalanya manusia itu tunduk kepada Islam tidak melalui dakwah secara lisan, tapi melalui pintu kekalahan dalam peperangan. Sehingga ia melihat cahaya iman.

Ikhlas itu ada di dalam raga yang taat, dan jiwa yang bergantung. Taat kepada syariat dan bergantung hanya kepada Allah. Ia sabar dalam ketaatannya dan bergantung kepada Allah dengan penuh cinta. Semua dilakukan di atas landasaran makrifat, tauhid, dan sunnah. Jauh dari jahil dan lalai.

Jahil itu disebabkan oleh keikutsertaan dalam kejahilahan dan diturutinya ajakan hawa nafsu. Arah yang ditujunya adalah kemaksiatan dan kelalaian dari arah hidup yang benar. Sedangkan lalai itu adalah melupakan kebenaran yang telah sampai kepadanya dan tergiur oleh keindahan hidup di dunia.

Orang yang ikhlas selalu memperhatikan ilmu dan berhati-hati dari dunia. Ia menjaga diri dari keikutsertaan jahiliah dan dari ajakan hawa nafsu. Di hatinya hanya ada makrifat dan akhirat. Ia tak tergoda oleh dunia yang melalaikannya. Ia selalu sibuk dengan agama dan keimanannya.

Ia selalu dalam keadaan berusaha mewujudkan syariat agama itu tumbuh dalam kenyataan hidup dan berupaya agar keimanan itu berkembang dalam setiap aspek kehidupan. Keikhlasan tidak menarik diri seseorang ke dalam ketidakpedulian atas kenyataan hidup manusia.

Mungkin masyarakatnya jahiliah, maka ia berdakwah. Mungkin syariat agamanya dilupakan manusia, maka ia berjihad. Mungkin ia menemukan rupa-rupa penyimpangan dalam beragama di tengah umatnya, maka ia datang memberikan penerangan dan penjelasan.

Jalan menuju ikhlas itu selain makrifat dan taat adalah membersihkan hati. Antara membersihkan hati dengan makrifat dan taat, adanya saling menyiapkan satu sama lainnya. Yang satu menjadi pesiapan bagi yang lainnya, menuju keadaan masing-masing yang lebih baik kualitasnya.

Orang yang ikhlas mutlak harus memiliki hati yang bersih. Karena hati itulah tempat adanya keikhlasan. Hanya hati yang bergantung kepada Allah lah, tempatnya keihlasan. Bagaimana hati bisa bergantung kepada Allah, jika kotor, penuh dosa dan noktah hitam akibat kemaksiatan.

Bagaimana cara mewujudkan hati yang bersih? Jawabannya adalah melalui taat dan makrifat. Kita tidak mungkin membersihkan hati tanpa menempuh ketaatan dan tanpa makrifat. Taat itu adalah menjalankan syariat. Sebut saja itu adalah sholat, zakat, shaum, haji, dzikir, qurban, membaca al-Quran.

Semua itu merupakan sarana dan induk dari sehatnya hati. Hal ini harus dilkukan terus menerus sepanjang hidup sesuai aturan syariat itu sendiri. Disamping taat, juga harus makrifat terhadap penyakit hati. Sebut saja itu adalah dengki, iri, jahil, dusta, nifak, khianat, curang, adu domba dan lain-lain.

Kita harus senantiasa membersihka hal-hal itu dari hati. Berbarengan dengan hal itu kita juga harus memasukkan apa-apa yang baik bagi hati. Untuk menggantikan kekosongannya. Yang baik itu adalah nilai yang sepadang dengan keikhlasan. Seperti rido, cinta, takut, harap, taubat, akhlak mulia.

Buah dari keikhlasan adalah datangnya berkah dan hikmah ke dalam kehidupan. Bila berkah dan hikmah ini dikaitkan dengan tiga dimensi dalam kehidupan maka akan memunculkan keanggunan dala hidup kita. Tiga dimensi kehidupan itu adalah perbuatan, keadaan dan harapan.

Berkah itu kebaikan hakiki dan sifat bertambahnya kebaikan tersebut. Sedangkan hikmah adalah sampainya pengetahuan yang benar ke dalam jiwa sehingga menjadi jalan termudah dalam menjemput berkah. Hikmah itu sendiri merupakan berkah dalam wujud pengetahuan. Wujud berkah itu banyak.

Perbuatan manusia dapat digolongkan ke dalam dua wujud, yaitu perintah dan larangan. Dua keadaan hidup itu adalah lapang dan sempit. Sedangkan dua harapan manusia adalah mendapatkan nikmat duniawi dan terhindar dari bencana di akhirat. Marilah kita terapkan bagaimana ikhlas itu menyikapi.

Orang yang ikhlas melihat bahwa perintah itu merupkan pintu bagi dirinya untuk sampai kepada keberkahan dan hikmah. Maka ia akan bersungguh-sungguh melaksanakan perintah itu, tidak peduli berapa besar harga dan pengorbanan yang harus ia keluarkan agar bisa tunai.

Orang yang ikhlas melihat bahwa larangan itu adalah jurang yang akan menghanguskan kebaikan dan ilmu. Larangan itu merupakan penutup dari keberkahan dan hikmah, maka ia selalu menjaga dirinya dari larangan itu. Ia akan lebih memilih hidup menderita dari pada harus ikut dalam melakukan larangan.

Orang yang ikhlas itu ketika hidupnya sempit maka ia bersabar. Bersabar artinya mencukupi diri dengan yang ada, tetap menempuh jalan yang benar, sekalipun sangat sukar dilakukan. Ia tak berhenti berjalan di terjalnya jalan. Ia selalu yakin bahwa di depan akan kemudahan dan kemenangan serta kelapangan.

Ia tidak menjadi lemah apalagi mengambil jalan yang keliru. Ia tetap kuat dan yakin akan datangnya pertologan Allah. Jika keadaan memaksa untuk memilih antara hidup dalam keadaan mengikuti kesesatan atau tetap dalam kebenaran namun kematian akibatnya, maka ia akan memllih mati.

Adapun terhadap kelapangan hidup, orang yang ikhlas itu akan bersyukur. Ia senang untuk selalu berbagi. Ketika kuat ia datang untuk menolong, membantu orang-orang yang teraniaya dalam hidupnya. Ia membantu agamanya dan umatnya. Bukan sebaliknya ketika kuat ia membantai dan zhalim.

Orang yang ikhlas melihat urusan agama dan umat di atas segala-galanya. Tidak ada yang berharga di matanya melainkan keimanan dan saudaranya yang beriman. Hal ini tumbuh karena kekuatan akidah dam tauhid di dalam hatinya. Bertolak dengan ikhlas adalah culas. Ia senang melihat umat menderita.

Ketika sabar dan syukur ini muncul dalam setiap sikap diri seorang mukmin, maka pintu-pintu keberkahan akan meliputinya. Juga akan dibukakan pintu-pintu hikmah baginya, sehingga ia semakin dimudahkan dalam bersabar dan bersyukurnya itu. Kebaikan selalu membuahkan kebaikan.

Orang yang ikhlas itu punya dua harapan terbesar dalam hidupnya, yaitu datangnya kebaikan di dunia dan terhindarnya dari bencana di akhirat. Bagaimana orang yang ikhlas menyikapi kebaikan di dunia. Kebaikan di dunia itu bukanlah berupa datangnya harta yang banyak, dalam pandangan orang ikhlas.

Orang yang ikhlas melihat kehidupan dunia ini serba baik. Baik itu berupa miskin atau kaya. Baik itu berupa sempit atau lapang. Ketika muda atau tua. Bahkan kematian dan sakit pun. Semuanya adalah baik bagi dirinya. Yang buruk bagi dirinya adalah musibah. Musibah dalam arti ketika iman berkurang.

Karena nikmat yang paling berharga dalam pandangan orang yang ikhlas adalah iman. Sehingga harapan kebaikan duniawi dalam pandangan orang yang ikhlas itu adalah iman, terangnya jalan yang lurus, menjadi kawan dari orang yang bertakwa dan selalu ada dalam keadaan beribadah sampai ajal tiba.

Iman merupakan mutiara paling berharga di dunia. Kebaikan duiawi yang paling hakiki, sebab hanya itulah yang akan menjaminnya sebagai argumen saat berdiri di hadapan Allah kelak di akhirat. Iman hanya akan berharga hanya ketika kita masih hidup di dunia selalu menjaga dan mewudkannya.

Adapun yang dipandang sebagai bencana akhirat itu, adalah ketersesatan hidup dari jalan Islam dan hidup berkubang kemaksiatan. Orang yang ikhlas selalu menghindari dua perkara ini. Ia selalu berlindung kepada Allah agar dijauhkan dari dirinya kesesatan dan perbuatan mungkar.

Orang ikhlas itu mau berkorban, tak peduli apakah manusia mengakui atau tidak. Sehingga ia menikmati setiap proses dari keadaan, sifat dan tahapan dari kewajiban dan perjuangannya. Karena bagi dirinya ia yakin Allah melihat, dan Dialah yang dituju dari setiap amal perbuatannya.

Orang yang ikhlas itu siap menderita dan bersusah payah, memberikan pertolongan kepada sesamanya, disaat kebanyakan manusia tidak peduli dengan penderitaan yang ada. Ia tetap berjuang baik dalam meyakinkan manusia dari bahaya ataupun dalam menjauhkan manusia dari suatu bahaya.

Orang yang ikhlas tidak takut dicela ataupun diancam oleh manusia jahat yang merencanakan makar dan kejahatannya. Karena yang ia takutkan jutru kemarahan Tuhan akibat ketidakpeduliannya atas berbagai kerusakan di bumi ia tinggal. Ia tidak ambil pusing tentang apa pun yang harus dikorbankannya.

Orang yang ikhlas melakukan semua itu karena rasa kasih sayangnya kepada umat manusia dari ketersesatan, kehinaan, kecelakaan dan keterpurukan akibat dari kebodohan dan hawa nafsu orang-orang yang jahat. Ia mengharapkan manusia tersadarkan dari ketertipuan jahat sekelilingnya.

Orang-orang yang ikhlas berbuat semua itu atas dasar ilmu dan iman. Bukan berdasar kepada kebodohan atau sikap masa bodoh. Satu-satunya pengharapan mereka kepada Allah adalah ridoNya dan dijauhkan dari murkaNya. Dan agar ditetapkannya dalam keadaan beriman sampai ajal datang.

Sekian materi ini

Bandung, 4 Mei 2019


Ditulis dalam Uncategorized

Kembali pada Ilmu

*KEMBALI KEPADA ILMU, KILAS BALIK*
_Oleh: Ading Nashrulloh_

*Kembali kepada Ilmu*

Malam-malam habis untuk membaca berita apa pun yang dimuat di facebook. Menelisik setiap beranda. Memberinya komentar. Menghabiskan banyak kuota. Apalagi menjelang pilpres. Pembicaraan mengenai politik selalu menarik. Paling mudah memberikan komentar atas apa yang dilakukan pemerintah. Belum lagi membuka postingandi whatsapp dan web site, youtube. Satu berita bersambungan dengan berita lainnya. Seakan tidak ada putusnya. Itulah setidaknya yang saya alami sendiri.

Sejenak saya merenungi tentang apa yang terjadi itu. Kenapa bisa sedemikian menarik internet itu dalam keseharian saat ini. Informasi memang banyak yang terjelajah, namun itu tidak membuat kita menjadi bertambah ilmu yang sistematis. Sehingga ilmu itu kemudian menjadi pisau analisa dalam mengupas hakikat sejati dari apa pun yang terjadi. Kita tahu, hanya tahu di saat itu, tidak membuat fikiran bertambah cerdas.

Timbul suatu kerinduan di dalam hati untuk mencari cara kembali kepada suatu aktifitas membaca yang sifatnya kajian, keilmuan, dan fokus pada bidang di mana kita ingin menguasainya dengan benar, penuh dan mencapai puncak-puncaknya. Sehingga dari situ diharapkan, kita menjadi seorang yang ahli di bidang tersebut, meski semuanya berangkat dari bacaan. Kita perlu melupakan perkara-perkara yang tidak terkait dengan fokus bidang keilmuan kita. Dan tidak perlu menghabiskan begitu banyak waktu untuk membaca atau mendengarnya.

Jangan biarkan waktu kehidupan berlalu, hanya untuk mengikuti kesenangan. Tapi gunakan sebaik-baiknya untuk mencapai perkara-perkara yang bisa mengantarkan diri kita ke arah yang lebih baik. Sesuatu yang baik, sudah pasti berakibat menyenangkan dengan sendirimya. Disamping memberikan dampak manfaat bagi kemudahan hidup. Kita lebih butuh kemudahan, kebaikan dan kematangan berifikir dan bersikap dibanding dengan suatu kesenangan hidup.

*Berupaya Hidup lebih Dekat dengan Ibadah*

Setiap hari sabtu, di masjid kampungku sudah terjadwal pegajian yang dibawakan oleh seorang ustadz lulusan dari al-Azhar Mesir. Yang dikupasnya sejak pertama kali dalam beberapa tahun, adalah mengenai fikih. Dibahas oleh beliau mengenai hukum dan tata cara ibadah seperti sholat, zakat, wudlu, shaum dan lain sebagainya. Cara mengurus jenazah, mayat. Pembahasan di dasarkan kepada kitab-kitab hadits. Semua berlangsung begitu monoton dan membosankan. Tapi penting, itulah sebabnya beberapa warga di kampungku yang ahli mesjid selalu setia menghadirinya. Karena berfikir itu penting.

Sebenarnya belajar agama itu merupakan kebutuhan umat. Hanya saja faktanya umat merasa belajar agama tidak lagi penting. Bahkan ibadah sholat berjamaah pun dipandang tidak begitu penting. Hal ini dibuktikan dengan sedikitnya jamaah yang datang ke mesjid. Kajian ilmu lebih tidak penting lagi rupanya dalam pandangan mereka. Buktinya jamaah yang mengikuti kajian di masjid itu jumlahnya lebih sedikit lagi. Rupanya ilmu yang merupakan mutiara bagi tumbuh kembangnya iman sudah dipandang selesai dipelajari saat masih kecil.

Para pengurus DKM masjid seyogyanya kreatif, dan ustadznya lebih interaktif, kalau bisa, dan memang harus bisa. Sehingga memungkinkan acara pengajian itu lebih menarik miinat jamaah untuk hadir. Misalnya dari susunan acara, jangan begitu-begitu saja. Cara penyampaiannya jangan melulu ceramah. Atau hanya membacakan kitab, sedangkan jamaah hanya duduk medengarkan sejak menit pertama sampai terakhir. Akhir pengajian adalah datangnya waktu adzan itu.. Selasai sholat isa, jamaah bubar. hal ini cobalah untuk diubah polanya.

Sebaliknya sebagai warga yang awam tentang agama, atau misal kita termasuk orang yang kurang aktif ke mesjid, cobalah untuk membuka diri. Datanglah ke mesjid utuk sholat berjamaah, dan ikuti pengajian rutin yang biasa diadakan. Sayang sekali kalau kualitas ibadah kita tidak mengalami peningkatan. Disebabkan oleh tidak bertambahnya ilmu kita tentang agama. Dunia keseharian memang cukup membuat kita sibuk. Sampai tak sempat sholat berjamaah di masjid. Namun apakah akan terus begitu? Renungkanlah. Siapa yang akan memperbaiki diri kita kalau bukan diri kita sendiri.

*Memanfaatkan Kemajuan Zaman untuk Menikmati Hidup*

Di suatu kesempatan, saya punya acara ke Jakarta, untuk keperluan permintaan rumah sakit di sana . Ketika tiba waktu untuk pulang, hari sudah malam, saya memutuskan naik travel ke Bandung. Namun yang terjadi kendaraan terakhir sudah berangkat, padahal kalau melihat jadwal, masih ada belasan menit tersisa. Saya tidak bertanya banyak kenapa-kenapanya. Karena fikiran berputar harus segera mencari alternatif untuk pulang. Akhirnya saya memutuskan naik bus. Itu pun bus terakhir pula. Alhamdulillah saya bisa pulang malam itu juga.

Sejenak di waktu pulang itu, saya sempat merenung. Betapa hidup di zaman sekarang banyak kemudahan ditemui. Alat tansfortasi dengan infrastrukturnya, alat komunkasi dengan beragam layanannya, memungkinkan kita segera menemukan solusi atas kebutuhan. Semua ini adalah nikmat yang luar biasa, yang disajikan dihadapan kita untuk kita syukuri. Yang jadi pertanyaannya adalah, apakah dengan berbagai kemudahan itu, hidup kita bertambah kualitasnya dalam pandangan Allah?

Pertanyaan ini penting saya ajukan ke diri saya. Sebab, boleh jadi orang-orang dahulu yang kualitas sarana transfortasi dan komuikasinya masih sederhana dan terbatas, mampu hidup lebih berkualitas di hadapan Allah, bisa hidup lebih bahagia, bisa menyumbangkan berbagai kebaikan bagi sesama lebih banyak dibanding kita hari ini. Dulu orang bisa punya penghasilan yang memungkinkan hidup sejahtera, membangun rumah, membeli lahan pertanian dan berniaga dengan luas. Seharusnya saya yang hidup di zaman serba mudah ini bisa memberikan kesejahteraan lebih, utama kepada orang tua dan keluarga.

Yang naïf bagi saya adalah ketika, sarana mejadi tujuan. Alat berubah menjadi kesenangan. Akhirnya apa-apa yang seharusnya untuk urusan hidup yang lebih luas dialokasikan untuk bersenang-senang dengan sarana. Dikira hidup selesai sampai dimilikinya sarana. Padahal sarana ya sarana, sekedar alat. Masalahnya sering kali jiwa terkekang oleh alat. Alat menjadi tujuan hidup. Kebanggaan terletak pada dimilikinya alat, bukan pada bagaimana mengoptimalkan alat demi tujuan hidup yang sebenarnya. Rupanya, betul dunia ini hanyalah kesenangan yang melenakan, sehingga banyak manusia yang lupa kepada tujuan hidup kenapa ia diberadakan di dunia.

*Untuk apa Punya Buku?*

Buku itu kebanyakannya saya beli. Saya punya dorongan untuk punya buku? Saya suka membaca, suka jika ilmu dan wawasan saya bertambah,. Juga untuk memenuhi rasa ingin tahu dan tabiat ingin memiliki pengetahuan yang banyak. Disamping suka baca, saya juga suka menulis. Dahulu saya pernah tinggal di pesantren, masa-masa di mana saya begitu banyak membaca dan menulis. Di pesantren itu saya tidak disibukkan mencari nafkah, bekerja atau berdagang.Dengan menulis saya terdiorong untuk membaca, dengan membaca saya terdorong untuk menulis. Di bulan Romadon tulisan saya biasanya lebih banyak lagi.

Membaca dan menulis itu merupakan aktifitas paling menyenangkan. Dan lebih banyak tulisan yang saya hasilkan ketika hati senang. Hati paling senang adalah ketika tiba bulan Romadon. Sepanjang yang saya rasakan, di bulan romadon itu, hati dan fikiran sedemikian jernihnya melihat urusan hidup. Begitu terang benderangnya konsep dan wawasan. Di bulan romadon itu, mulut tidak disibukkan dengan makan dan minum. Sementara hati, fikiran dan alam semesta sangat terasa aromanya begitu penuh dengan kesyaduan baik siangnya atau malamnya.

Membaca buku dan menulis itu, merupakan asupan bagi akal fikiran berupa ilmu. Sedangkan kita tahu, bahwa letak kemuliaan seseorang dan kemajuan umat serta bangsa berpijak dari keluasan ilmu yang dimiliki. Sumber daya alam memang penting, kekayaan penting, akhlak yang baik, saudara yang selalu membela, semuanya penting. Tapi semua itu bisa lenyap nilai seketika akibat kebodohan, alias akiibat ketiadaan ilmu. ilmu malah itulah yang bisa mengikat banyak hal-hal tadi untuk bertahan lebih lama dan bernilai lebih tinggi derajatnya. Dan ilmu itu bisa kita peroleh dari buku yang kita baca.

Dalam membaca buku sebaiknya jangan segala macam dibaca. Batasi bidangnya, agar kita selalu ingat akan apa yang pernah kita baca, dan mendapatkan penguatan dari bacaan berikutnya yang satu bidang. Sebentar lagi kita akan sampai di bulan romadon, semoga usia kita sampai di bulan penuh rahmat itu. Saya menyarankan kepada diri sendri, agar memanfaatkan bulan Romadon itu untuk banyak membaca buku dan menulis, lebih dari bulan-bulan sebelumnya. Mudah-mudahan dengan bertambahnya ilmu dari apa yang kita baca, hidup kita lebih selamat dan menyelamatkan. Lebih senang dan menyenangkan. Lebih bijaksana dalam menyikapi kehidupan.

*Membaca Kehidupan*

Ada suatu pepatah yang sangat bagus untuk kita renungkan tentang kunci keselamatan. Pepatah itu mengatakan ada lima kunci keselamatan. Yaitu akal, harta, akhlak, saudara dan kematian. Seseorang bisa selamat hidupnya kalau ia berakal, maksudnya memiliki ilmu. Ilmu bisa menolong. Ketika tidak berilmu, masih ada yang bisa menyelamatkan diri, yaitu harta. Apakah awam dan miskin bisa selamat pula? Bisa. Dengan akhlak yang baik. Bagaimana kalau buruk akhlaknya, masihkah bisa selamat? Bisa. Yaitu saudara-saudaranya yang menolong.

Sekarang kita sampai di keadaan terakhir. Ada seseorang keadaanya bodoh, miskin, buruk akhlak, tak punya saudara yang menolong, apakah ada hal yang bisa menyelamatkan dirinya? Ternyata ada. Apa itu? Yang terakhir, yaitu kematian. Kematian bisa menjadi jalan keselamatan dan kemuliaan bagi orang-orang yang berkarakter bodoh, miskin, buruk akhlak, tak punya saudara selama hidupnya.

Sekarang bayangkan seseorang atau segolongan manusia berkarakter bodoh, miskin, buruk akhlak, tak punya saudara atau penolong dari kalangan ulama yang lurus, tapi belum sampai pada kematiannya. Itulah perumpamaan karakter yang dimiliki para penguasa saat ini. Akibatnya ke mana-mana menebar kesusahan dan rasa putus asa di tengah rakyat. Kalau saja rakyat kebanyakan berkarakter sama dengan penguasanya, pastilah bangsa ini kemuliaanya terletak pada kepunahannya.

*Al-Quran dalam Kehidupan*

Ayat-ayat Allah terbagi atas dua bagia besar. Pertama ayat-ayat al-Quran, kedua alam semesta. Karena keduanya merupakan ayat-ayat Allah, maka keduanya saling menerangkan dan diterangkan. Saling berkonsekuen, tidak ada pertentangan. Saat kita membaca al-Quran, kita akan menemukan kebenaran tentang alam semesta. Dan saat kita meneliti alam semesta, akan ditemukan kebenaran al-Quran.

Sebab itu setiap kali kita menemukan ayat mana saja dalam al-Quran kita akan menemukan padanannya di alam semesta. Dan ketika kita menemukan apa pun di dalam semesta termasuk di dalamnya tentang kejadian manusia dan sejarahnya, kita pun akan menemukan hal itu di dalam al-Quran.

Apa yang hari ini kita alami di negeri sendiri, tentang berbagai peristiwa menyangkut sifat manusia dan kecenderungannya sudah ada penjelasannya dalam al-Quran. Baik perilaku itu buruk atau indah. Sebab-sebabnya dan bahkan akibat yang akan di timbulkan nanti juga sudah dapat diperkirakan seperti apa. Hal ini seumpama dengan ilmu sains, yang memiliki fungsi untuk memprediksi apa yang akan terjadi.

Orang-orang yang memiliki ketajaman mata hati, akan memiliki kemudahan dalam melihat hakikat dibalik peristiwa dari kacamata batin. Tak jauh beda dengan seorang ahli farmasi atau bahan obat-obatan ketika medatangi suatu hutan, ia bisa tahu dan membedakan mana-mana tumbuhan yang memiliki potensi untuk dijadikan obat. Karena itulah maka, kita yang awam menyandarkan keakuratan informasi hakikat peristiwa masa kini kepada para ahli.

*Ingatan Kita*

Ada tiga cara untuk selalu ingat otamatis. Selalu mengigat, kembali mengingat, sering menyebut atau membicarakannya. Keyakinan bahwa sesuatu yang diingat itu kunci kebahagiaan atau kecelakaan atau perkara yang membahayakan dalam keadaannya atau ketiadaannya. Dan mungkin masih ada cara lain.

Bagi orang orang yang beriman, ingatan yang paling utama, empat diantaranya adalah nama Allah, syukur, akhlak, dan hari kiamat. Rangkaian kata kunci ini ada dalam surat al-fatihah, surat pertama di dalam al-Quran. Bunyi ayat surat al-fatihah terkait hari kiamat adalah MALIKI YAUMIDIN.

Selalu ingat otomatis tentang hari kiamat adalah penting. Karena ingatan ini menyebabkan hidup akan menjadi berorientasi ke sana. Sehingga ciri utama yang diharapkan akan munciul. Pertama, bersemangat beramal baik. Dan berjaga diri dari kemaksiatan atau kedurhakaan.

Konsep hari kiamat di dalam fikiran orang yang beriman adalah, hari kiamat itu adalah hari manusia dibangkitkan setelah dunia ini hancur, sebagai suatu alam kehidupan yang baru, di mana semua manusia akan diminta pertangggungan jawab atas semua amalan dan sikapnya terhadap nikmat.

*Cahaya dalam Kehidupan*

Cahaya selalu dibutuhkan. Terserah manusia faham atau tidak tentang hakikat cahaya dan betapa rumitnya upaya untuk mendatangkan cahaya. Semua manusia tanpa kecuali sadar akan kebutuhan cahaya. Terasa benar butuhnya saat cahaya hilang, yaitu ketika malam datang.

Manusia itu cahaya bagi dirinya dan orang-orang sekitarnya. Sehingga banyak manusia mengambil manfaat yang banyak darinya berupa kebahagiaan. Manusia juga merupakan kegelapan dan menggelapkan kehidupan. Sehigga banyak menjerumuskan manusia kepada kehancuran.

Cahaya di dalam diri manusia terletak di dalam hatinya, dibantu kekuatannya oleh akal. Kegelapan di dalam diri manusia terletak pula di hati. Saat hati mengikuti kebenaran dan keadilan, maka ia akan bercahaya. Saat hati mengikuti nafsu dan kezhaliman, maka ia akan gelap.

Namun mereka yang buta mata hatinya, tidak akan pernah memandang nafsu dan kezhaliman itu sebagai kegelapan. Mereka melihat itu sebagai cahaya. Dan akibatnya ia berjala menuju buruknya dunia dan kacaunya keharmonisan. Inti dari kezhaliman adalah kebodohan, memilih yang salah setelah tahu mana yang benar secara meyakinkan.

*Semua adalah Saudara*

Konon kata saudara diambil dari kata satu dan udara, satu udara. Saudara, berarti satu udara. Udara artinya bisa berarti kehidupan, bisa berarti rahim. Jadi saudara artinya satu kehidupan, satu rahim. Kita menyebut orang lain yang satu rahim, dengan sebutan saudara.

Begitu pun dengan orang lain yang satu kehidupan kita yang dilingkup oleh suatu term atau istilah, sebagai saudara. Saudara setanah air, saudara seorganisasi, saudara sekampung halaman, saudara seagama. Apalagi kalau mengingat semua manusia beawal dari rahim yang sama yaitu siti hawa.

Harus dipikirkan bahwa ketika ada niat untuk mencelakai saudara kita sendiri, pastilah ada kekuatan jahat yang merasuki diri. Kekuatan yang selalu berupaya untuk membuat permusuhan kepada saudara adalah kekuatan jahat. Tidak pernah kekuatan itu dinamakan kekkuatan yang baik dan benar.

Sikap mengikuti kebodohan adalah pangkal dari timbulnya permusuhan dan sekaligus kehancuran. Tidak pernah berjaya suatu kekuasaan dan tata kelola Negara dan bermasyarakat yang didirikan di atas kebodohan kecuali pasti dilumuri oleh kejahatan, kebiadaban, kepedihan, dan pemberontakan.

*Kemenangan yang Hakiki*

Belajar dari panggilan adzan, untuk bahagia itu mudah; mengagungkan Allah, meneladani Rasulullah, Sholat dan berjuang meraih kemenangan. Kemenangan itu sejatinya adalah berbuat benar, adil dan ihsan. Orang yang menang pasti bahagia. Wajah akan berbinar, karena yang diharap telah tiba.

Benar itu artinya apa yang dikatakan sesuai dengan fakta; adil itu artinya apa yang diperbuat telah sesuai dengan yang seharusnya, memberikan hak kepada yang berhak; sedangkan ihsan itu keharusan yang kita perbuat ditopang oleh keikhlasan hati. Orang yang ihsan itu sudah pasti benar dan adil.

Maka setinggi-tingginya kebahagiaan yang dapat diraih manusia adalah ketika ia berada dalam keikhlasan. Sebab sejak awal ia telah menempa diri dengan ilmu yang benar, berjuang dalam amal berdasarkan ilmu itu, kemudian ia menopangnya dengan niat meraih rido Allah semata.

Tiada di hatinya kebodohan, kemalasan dan ria dalam kehidupannya. Komitmennya adalah pantang lupa kepada Allah, karena Allah adalah sandaran keikhlasan. Pantang diam melihat kezhaliman, karena hal itu berlawanan dengan keadilan. Dia pantang mengikuti informasi yang palsu bahkan melawannya.

Berjuang untuk hal yang benar, adil dan ihsan, cukuplah itu sebagai suatu kemenangan, yang akan membuahkan ketentraman, kebahagiaan dan ketinggian kedudukan di hadapan Allah dan orang-orang yang beriman. Bila saja kita berada di barisan orang-orang seperti itu, semoga itu suatu realita.

*Ilmu, Pengakuan, Perjuangan*

Hilangnya kebahagiaan hidup, terjadi ketika keikhlasan tidak pernah diwujudkan. Ada karakter yang menghalangi wujud ikhlas. Bodoh, zhalim, dan iri. Bodoh itu bersandar kepada ketiadaan ilmu; zhalim bersandar kepada ketiadaan komitmen; sedangkan iri bersandar kepada ketiadaan prasangka baik.

Jadi ilmu adalah jaminan awal bagi wujudnya bahagia. Ilmu itu cahaya, yang menerangi jalan-jalan kehidupan yang harus ditempuh manusia. Ke arah mana yang harus dituju, ilmu memberikan penjelasannya. Arah itu penting, karena dengannya manusia mengerti arti bahagia dan merasakannya.

Namun untuk bahagia, ilmu saja tak cukup. Seseorang mesti mengakui, merengkuh, menginternalisasikan kebenaran itu ke dalam diri, ke dalam cara pandang, sikap dan dasar dari komitmennya. Itulah sandaran dari adilnya seseorang. Setelah tahu, bersikaplah, beramallah, berkomitmenlah dengan kebenaran itu, walaupun dirasakan berat, pahit, terjal.

Mengakui kebenaran dan berjuang di atasnya, tidak serta merta membuahkan kemenangan. Adakalanya suatu kehancuran dan kekalahan. Dan itu biasa dalam dinamika sejarah kehidupan manusia. Kekalahan dan kehancuran atas orang-orang yang berupaya bersikap benar hanyalah bersifat lahir saja. Sedangkan sejatinya mereka tetap sebagai orang-orang yang benar dan menang.

*Tahajud di GBK*

Ada hal menarik pada tanggal 7 April tahun 2019 ini. Ramai orang sholat tahajud dilanjut sholat shubuh di GBK. Menciptakan pemandangan yang luar biasa menakjubkan. Dalam kerangka apa mereka di sana? Kampanye pilpres. Kampanye pasangan Prabowo Sandi. Saya menyimak jalannya acara di GBK itu melalui internet.

Begitu banyak bagian yang bisa kita komentari atas peristiwa itu, dengan tidak hentinya mengundang decak kagum. Setidaknya itu yang saya rasakan. Namun secara keseluruhan peristiwa itu menunjukkan suatu peradaban di Indonesia yang maju, sekaligus antusias pengharapan yang besar dari umat dan bangsa untuk ganti presiden. Itu intinya.

Kebaikan tidak selalu merupakan akibat atau buah dari suatu kinerja. Tapi respon dari keadaan yang buruk dan berlangsung terus menerus. Sehingga muncul kekuatan etis, akal sehat dan rasa tanggung jawab untuk menyelamatkan bangsa, jawaban untuk mengatasi keadaan yang buruk itu. Demikian analisa saya atas peristiwa besar ini.

Saya berharap dua hal di hari yang sebentar lagi akan tiba. Pertama, Prabowo Sandi memenangkan pilpres. Kedua, mereka menjadi pemimpin yang adil. Melayani rakyat, memuliakan ulama, memajukan Indonesia. Doa umat saat sholat tahajud di GBK itu menjadi pengantar dan semoga menjadi pengingat keduanya untuk amanah dan kuat menjadi pemimpin bangsa ini.

Sekian dulu, Salam.
Bandung, 25 April 2019


Ditulis dalam Uncategorized

Ilmu tashowuf dan Cinta kepada Alloh

*ILMU TASHOWUF DAN CINTA KEPADA ALLAH*
_Oleh: Ading Nashrulloh_

_Assalamualaikum warahmatullahi wabarakatuh_

_Apa kabar Ustadz Akhri di Cianjur. Saya akan membacakan tulisan tahun 2010 bulan November. Mudah-mudahan apa yang saya baca ini manfaat terutama bagi saya sendiri dan ustadz._ . .Judul tulisan saya itu adalah, *Ilmu tasawuf dan Cinta kepada Allah*

*Ilmu Tshowuf*

Di dalam Islam kita mengenal tiga konsepsi yang sangat mendasar yaitu iman, Islam dan ihsan. Ketiga konsep ini masing-masing mengalami spesialisasi ilmu pengembangannya yang kemudian oleh para ulama dinamakan ushuluddin, fiqih dan tasawuf.

Tentang iman kita pelajari ushuluddin atau ilmu kalam, tentang Islam kita pelajari ilmu fiqih, tentang Ihsan, kunci daripada semua itu, kita menamakan ilmu tasawuf. Demikian Kata Profesor Hamka dalam Mustafa Zahri. Ushuluddin, fiqih dan tasawuf merupakan ilmu ilmu yang penting untuk mencapai kesempurnaan agama. Ushuluddin mengajarkan tentang adanya Tuhan, fiqih mengajarkan tentang kewajiban-kewajiban yang harus dilaksanakan dalam hubungannya dengan Tuhan sedangkan tasawuf mengajarkan bagaimana agar jiwa kita meyakini adanya Tuhan dan melaksanakan kewajiban beribadah kepadaNya hal ini sesuai dengan arti ihsan. Yaitu engkau beribadah kepada Allah seolah-olah engkau melihatNya. Mustafa Zahri mengatakan adanya mengetahui Tuhan tidak cukup untuk menerbitkan rasa takut pada Allah apabila ia belum dapat membuktikan keimanannya itu dan mengetahui kewajiban apa yang harus diperbuat sebagai hamba Allah. Jadi usuludin tanpa pembuktian iman dan tanpa fiqih adalah perkara yang belum berarti dalam pandangan agama. Ushuluddin harus didampingi oleh fiqih.

Selanjutnya Mustafa Zahri menulis fiqih mengajarkan tentang kewajiban-kewajiban tetapi mengetahui saja kewajiban dan hukum tidak cukup untuk dapat menerbitkan rasa takut kepada Allah, untuk mengerjakan segala suruhan dan meninggalkan segala larangan tanpa ada yang menguasai jiwa. Sekedar mengetahui saja tentang ushuluddin dan fiqih tidak membuat orang menjadi Taqwa. Tetapi hendaknya kita mesti mengerti ini bukan berarti bahwa ushuluddin dan fiqih tidak penting sebab untuk bertaqwa orang sangat membutuhkannya. Ushuluddin dan fiqih membutuhkan tasawuf agar hukum dan kaidah yang ada padanya mampu tertanam dalam jiwa manusia. Yang mempelajari pengawasan jiwa itu ialah tasawuf, iman kepada Allah terbit dari hati yang bersih dari kotoran-kotoran hawa nafsu demikian kata beliau. Bila dalam hati telah tertanam cinta dan takut kepada Allah maka seseorang dapat bergerak sentiasa taat melaksanakan perintahNya dan menjauhi segala laranganNya. Dengan demikian peranan ilmu tasawuf adalah berusaha mengontrol jiwa dan membersihkan dari kotoran-kotoran hawa nafsu sehingga rasa takwa terbit dari hati yang bersih dan selalu merasa dekat kepada Allah. Dari uraian di atas dapat ditarik kesimpulannya tentang pentingnya tasawuf dalam memperbaiki sikap agama atau ibadah kita. Yaitu pertama, tasawuf merupakan ilmu Islam yang secara khusus membahas tentang Ihsan. Kedua, tasawuf secara khusus merupakan ilmu yang menanamkan kesucian jiwa. Kesucian jiwa itulah yang selanjutnya menjadi penggerak iman dan taat kepada Allah Subhanahu Wa Ta’ala. Makna tasawuf menurut Profesor Hamka adalah, membersihkan jiwa dari pengaruh benda atau alam supaya dia menuju Allah. Sedangkan menurut Zakaria Al-Anshori mengatakan bahwa tasawuf adalah ilmu yang menerangkan hal-hal tentang cara membersihkan jiwa, tentang cara pembinaan kesejahteraan lahir batin untuk mencapai kebahagiaan yang abadi.

Tashowuf adalah ilmu yang membahas tentang upaya-upaya untuk mencapai jiwa yang bersih sehingga seseorang mencapai derajat Ihsan. Ihsan menurut definisi yang diberikan Nabi Muhammad Shallallahu a’laihi Salam dalam suatu hadis adalah engkau beribadah kepada Allah seolah-olah engkau melihatnya dan jika engkau tidak melihatnya Dia melihatmu. Engkau beribadah maksudnya adalah hendaknya engkau membenarkan iman dan melaksanakan Islam. Seolah-olah engkau melihatNya maksudnya engkau seolah-olah melihat Allah yang Maha Besar. Dia senantiasa melihatmu maksudnya apapun yang kau kerjakan dalam ibadah padaNya, Allah tahu. Itu mengajarkan agar kita cinta kepada Allah Subhanahu Wa Ta’ala. Cinta kepada Allah akan menggiring seseorang merasakan manisnya iman. Sayyid Sabiq mengatakan dari kesan-kesan keimanan itu ialah apabila Allah dan rasulNya dirasakan lebih dicintai olehnya dari segala sesuatu yang ada. Rasulullah Shallallahu Alaihi Wasallam bersabda. Ada tiga perkara barangsiapa dirinya dapat menyandang ketiganya niscaya akan merasakan manisnya Iman yaitu bila Allah dan rasulNya lebih dicintai daripada selainnya. Hadits Riwayat Bukhari Muslim.

Ihsan itu menggerakkan kita untuk takut pada Allah sebab seseorang yang telah mengetahui Kemahabesaran Allah dan tahu Dia senantiasa Mengawasi gerak-gerik tentu tidak akan berani untuk maksiat atau lalai dalam ibadah. Yang diajarkan Iman, taat diajarkan Islam dan takut yang diajarkan Ihsan tidaklah akan bersinggasana dalam hati kita tanpa hati yang bersih. Hanya hati yang bersih yang dapat memiliki cinta takut dan taat kepada Allah Subhanahu Wa Ta’ala. Dan hati yang bersih ini produk dari tasawuf. Pada saat kita berbicara tasawuf di dalamnya terkandung Ihsan, saat kita bicara Ihsan didalamnya terkandung Islam, saat kita bicara Islam di dalamnya terkandung iman, dengan demikian berbicara tasawuf kita berbicara pula tentang iman, Islam dan ihsan. Dengan demikian frase “hati yang bersih ini” merupakan produk dari tasawuf, hakekatnya mengandung arti, pertama hati yang bersih adalah produk dari sistem tasawuf, sistem Ihsan, sistem Islam dan sistem iman. Kedua hati yang bersih adalah output dan input dari cinta takut dan taat. Hati yang bersih merupakan produk dari tasawuf. Tasawuf memiliki metode untuk mengantarkan seseorang kepada hati yang bersih dan metode itu adalah satu, tahali, takhali dan Tajalli. Dua, syariat, thoriqot, hakekat dan ma’rifat. Tiga, Makom dan ahwal. Empat, suluk.

Takholli artinya membersihkan jiwa dari kotoran, tahalli artinya memasukkan ke dalam jiwa perkara yang baik dan tajalli artinya mengkaitkan hati senantiasa pada Allah. Zahri mengatakan takholli membersihkan diri dari segala dosa dan lahir dan batin. Tahalli yaitu berarti mengisi diri dengan sifat-sifat yang terpuji. Tajalli artinya memperoleh hakekat kenyataan Tuhan karena suci bersihnya hati untuk mencintai Tuhan. Takholi, tahalli dan tajalli merupakan tiga tingkat jalan dalam tasawuf. Ketiganya merupakan pendidikan etika sehingga pada puncaknya sampai pada jiwa yang bersih. Takholli, tahalli dan tajalli merupakan sistem yang dalam tasawuf disebut sistem thoriqoh, untuk memahami arti thoriqoh kita harus melihatnya dalam susunan syariat, thoriqot, hakekat makrifat. Syariat adalah peraturan hukum tuntunan beribadah kepada Allah Subhanahu Wa Ta’ala. Tasawuf menerangkan bahwa syariat itu hanylah peraturan-peraturan. Tarekatlah yang merupakan perbuatan untuk melaksanakan syariat itu. Apabila syariat dan tarekat itu sudah dapat dikuasai maka lahirlah hakekat yang tidak lain perbaikan keadaan dan ahwal, sedangkan tujuan ialah ma’rifah yaitu mengenal Tuhan dan mencintaiNya yang sebenar-benarnya, yang sebaik-baiknya. Jadi thoriqoh itu adalah perbuatan untuk melaksanakan syariat. Thoriqoh adalah jalan atau petunjuk dalam melakukan semua ibadah sesuai dengan ajaran yang dicontohkan Nabi Muhammad Shallallahu Alaihi Wasallam. Dengan demikian takhalli, tahalli dan tajalli merupakan sistem thoriqoh yang isinya adalah berupa ibadah-ibadah. Demikianlah para sufiah membuat suatu sistem thoriqoh, mengadakan latihan-latihan jiwa, membersihkan dirinya dari sifat-sifat yang tercela atau mazmumah dan mengiringinya dengan sifat-sifat terpuji atau mahmudah dan memperbaiki dan memperbanyak dzikir.

*Cinta Kepada Allah*

Cinta adalah tabiat jiwa manusia dengan kecenderungannya kepada sesuatu yang disenangi dan dirasa enak. Imam Al Ghazali mengatakan kata hub, cinta adalah kata-kata yang mengungkapkan kecenderungan tabiat kepada sesuatu yang dirasa enak. Jika itu lebih kuat dan kokoh maka disebut isyq atau Rindu. Dia bisa membawa orang menjadi budak bagi yang dicintainya itu. Seorang penulis mengatakan cinta secara istilah ialah rasa kasih sayang yang muncul dari lubuk hati yang terdalam untuk rela berkorban tanpa mengharap imbalan apapun dan dari siapapun kecuali yang datang dan diridhoi Allah subhanahu wa ta’ala. Penjelasan di atas dapat kita ringkas cinta itu memiliki ciri-ciri. Pertama, cinta bisa menimbulkan sikap diperbudak oleh sesuatu yang dicintai. Kedua, cinta muncul dari lubuk hati Untuk menimbulkan sikap rela berkorban.

Munculnya cinta kepada Allah adalah disebabkan oleh adanya iman kepada Allah. Iman merupakan pokok yang melahirkan cinta dalam hubungannya dengan Allah. Ibnu Utsaimin dalam bukunya yang berjudul Ahlussunah wal jama’ah mengatakan, Iman kepada Allah Subhanahu Wa Ta’ala dan Asma serta sifatNya bermanfaat menanamkan rasa cinta dan penghormatan hamba kepada Kholiknya yang keduanya memberikan keharusan untuk mengerjakan segala perintahNya dan menjauhi segala laranganNya sehingga terciptalah suatu kebahagiaan yang sempurna dalam hidup di dunia dan di akhirat kelak, pribadi dan masyarakat. Beliau mengatakan bahwa Iman melahirkan cinta, cinta melahirkan ketaatan, ketaatan melahirkan kebahagiaan. Jadi konsep antara Iman, cinta dan taat serta kebahagiaan merupakan satu rangkaian yang utuh. Cinta merupakan bagian yang tak terpisah dari iman dan taat kepada Allah. .

Dalam buku ketajaman mata hati Imam Al Ghazali menulis. Seorang hamba apabila mengetahui bahwa kesempurnaan hakiki adalah milik Allah dan sesungguhnya apa yang dilihatnya sempurna baik dari dirinya sendiri atau orang lain, hakikatnya adalah dari Allah dan dengan pertolongan Allah, tentunya cintanya tidak bisa lain kecuali untuk Allah dan kepada Allah. Hal itu akan menyebabkan keinginannya untuk berbakti kepada Allah dan suka terhadap hal-hal yang mendekatkan diri kepada Allah. Imam al-ghazali mengatakan bahwa pengetahuan tentang kesempurnaan yang hakiki ialah pengetahuan bahwa ia berasal dari Allah milik Allah atas Pertolongan Allah, maka pengetahuan itu akan melahirkan cinta kepada Allah dan untuk Allah. Pengetahuan melahirkan cinta. Cinta yang lahir dari pengetahuan ini, kata Imam al Ghazali, melahirkan keinginan untuk berbakti dan suka terhadap hal-hal yang mendekatkan diri kepada Allah Subhanahu Wa Ta’ala. Dengan demikian munculnya cinta kepada Allah adalah sebab iman dan pengetahuan.

Adapun wujud cinta kepada Allah dijelaskan berikut ini. Cinta kepada Allah Subhanahu Wa Ta’ala merupakan cinta yang sejati artinya, itulah cinta yang benar-benar ada, bersih dan abadi. Dikatakan, tidak ada cinta yang sesungguhnya, kecuali cinta kepada Allah. Allah berfirman dalam surat 9 ayat 24, tentang tingkatancinta, ayat itu menerangkan cinta pada apapun yang lebih dari cinta pada Allah adalah cinta yang mengandung azab dan perbuatan fasik. Dan sebaliknya cinta apabila berupa cinta pada Allah ditingkat yang paling tinggi dalam hati kita, itu artinya cintanya akan menyelamatkan hidup manusia. Doktor Zahri menulis hidup ini hanya menjadi hak bagi orang yang baik sangka pada Allah. Orang yang baik sangka pada Allah yaitu orang-orang yang baik hubungannya dengan Allah yaitu orang-orang mukmin yang mencintai Allah lebih dari mencintai yang lainnya. Orang mukmin yang demikian biasanya ridho dengan Allah, ridho dengan hidupnya dalam dunia ini. Itulah dia rahasia hidup yang sebenarnya dan itulah dia kebahagiaan hidup yang sebenarnya.

Dari dua pendapat di atas disimpulkan bahwa cinta kepada Allah harus ditempatkan pada urutan yang pertama sebab hanya dengan cinta demikian hidup akan selamat. Wajar Allah dicintai lebih daripada yang lainnya sebab Dia sumber dari segala sumber. Dikatakan, mengapa cinta kepada Allah itu ada pada tingkatan pertama sebab Dia adalah Maha Esa, sumber dari segala sumber-sumber apa yang ada, kepadaNya segala sesuatu bergantung, sumber ilmu dan kekuasaan, sumber rezeki dan kehidupan. Cinta kepada Allah, ialah cinta yang melahirkan rasa ridho atas takdirNya, rasa ridho ini merupakan rahasia hidup bahagia demikian kata Doktor Zahri.

*Cinta kepada Allah dan RasulNya*

Di atas dasar cinta kepada Allah diletakkan cinta kepada rasul, jihad, manusia dan harta. Semua ini penting, sama sekali tidak haram. Cinta harta harus karena cinta manusia, cinta pada manusia harus karena cinta Jihad, cinta jihad harus karena cinta pada rasul dan cinta pada rasul harus karena cinta pada Allah Subhanahu Wa Ta’ala. Kita mencintai Rasul karena dua hal diantaranya. Pertama, karena cinta kepada Allah pastilah harus disusul dengan cinta kepada Rasul. Kedua, karena para rasul telah terbukti mewujudkan cinta kepada Allah. Para rasul telah membuktikan cinta murni kepada Allah, mereka telah berjihad dan berhasil menundukkan, menguasai dan mengendalikan hawa nafsu dan keinginan mereka, demikian dikatakan. Cinta kepada rasul menempati urutan kedua setelah cinta kepada Allah. Sesungguhnya cinta kepada Allah dan rasulNya merupakan ciri keimanan seorang mukmin. Seorang mukmin harus menempatkan cinta kepada Allah dan rasulNya di atas cinta kepada yang lainnya, cinta kepada yang lainnya harus berdasarkan cinta kepada Allah dan rasulNya.

Sayyid Sabiq mengatakan bahwa “salah satu daripada kesan-kesan keimanan itu ialah apabila Allah dan rasulNya dirasakan lebih dicintai olehnya dari segala sesuatu yang ada. Ini wajib ditampakkan baik dalam ucapan, perbuatan dan segala geraknya dalam pergaulan dan sewaktu sendirian. Jikalau dalam qolbunya itu dirasakan masih ada sesuatu yang lebih dicintai olehnya daripada Allah dan rasulNya maka dalam keadaan semacam ini dapatlah dikatakan bahwa keimanan yang memang sudah masuk tetapi akidahnya yang masih goyang”. Urutan ketiga, keempat dan kelima dari apa yang kita cintai adalah cinta kepada jihad, cinta kepada manusia dan cinta kepada harta. Cinta jihad fisabilillah ditempatkan pada urutan ke tiga sebab di dalam jihad dijalan Allah memerlukan contoh dan suri teladan, jihad adalah ciri khas manusia yaitu manusia yang berjuang karena dia punya prinsip atau punya keyakinan hidup. Cinta kepada manusia, ditempatkan pada urutan keempat sebab keadaan mereka belum tentu berada berperilaku dan berbuat di jalan Allah, bukti cinta kepada manusia adalah membawa keluarga kita kepada jalan Allah. Sedangkan cinta kepada harta dan tahta bukanlah tujuan yang akan dicapai dalam hidup manusia tetapi sebagai alat berjuang yaitu alat untuk berjihad fisabilillah.

Berikutnya adalah bahasan tentang ilmu yang mengantarkan cinta kepada Allah. Ilmu apa saja itu? Pertama, ushuluddin, sebab didalamnya dibahas tentang bukti-bukti keberadaan Allah dan karunia-Nya. Kedua, fiqih, sebab didalamnya dibahas aturan-aturan mengabdi padaNya yang sarat dengan dzikir dan upaya mendekatkan diri padaNya. Tiga, tasawuf, sebab didalamnya dibahas tentang hati agar bersih dari kotoran-kotoran iman dan hal yang mengotori tauhid. Ilmu tasawuf bertugas membahas soal-soal yang bertalian dengan akhlak dan budi pekerti, bertalian dengan hati, yaitu cara-cara ikhlas, khusyu, taubat, muraqabah, mujahadah, sabar, tawakal dan semua sifat yang terpuji dan sejalan dengan hati. Jadi sasaran ajaran tasawuf ialah akhlak dan budi pekerti yang baik berdasarkan kasih dan cinta kepada Allah Subhanahu Wa Ta’ala. Oleh karena itu maka ajaran tasawuf sangat mengutamakan adab atau nilai atau cara, baik dalam hubungan sesama manusia, terutama dalam hubungan dengan Tuhan. Empat, tarikh, sebab didalamnya dibahas tentang upaya dan kenyataan orang-orang sholeh dalam mewujudkan cinta mereka kepada Allah.

Bahasan berkutnya adalah tentang faktor yang menyebabkan cinta kepada Allah. Hendaknya seorang hamba memelihara semua hal yang difardukan sebab hal yang difardukan adalah kunci pertama dan jalan yang paling utama menuju kepada Allah. Hendaknya seseorang membaca al-Quran dengan merenungi maknanya karena Alquran adalah kalam Allah yang ada di bumi dan menjadi parameter bagi seorang hamba untuk dapat mengetahui sampai dimana kadar keimanannya. Hendaknya seseorang selalu berdzikir kepada Allah selamanya, karena dzikir kepada Allah adalah pengusir syetan, penambah kesetiaan, ketaatan dan keridhoan Tuhan Yang Maha Pemurah serta menjauhkan dari semua hal yang menyebabkan kemurkaan Allah yang Tunggal lagi Esa. Hendaknya seseorang hamba memperbanyak amal sunnah yang mendekatkan dirinya kepada Allah seperti salat puasa dan shodaqoh demikian dalam buku Alqorni dikatakan.

*CInta kepada RasulNya*

Adapun tentang cinta kepada rasul, penjelasannya adalah sebagai berikut. Imam al-ghazali menulis buah-buah cinta itu adalah mengikuti jejak rasul, selalu berdzikir, mengutamakan Dzat yang dicintai, merasa tidak suka terhadap dunia dan takut hina menghadapi selain Allah. Mengikuti Rasul Shallallahu Alaihi Wa Sallam merupakan keharusan dalam mencintai Allah. Sebagaimana firman Allah subhanahu wa taala dalam al-Quran surat 3 ayat 31: “Katakanlah jika kamu benar-benar mencintai Allah maka Ikutilah aku niscaya Allah mengampuni dosa-dosamu. Allah maha pengampun lagi maha penyayang.” Menunjukkan cinta kepada rasul ialah melalui taat. Imam Al Ghazali mengatakan, “ketahuilah olehmu sekalian bahwa sesungguhnya cinta seorang hamba kepada Allah dan utusan-Nya adalah ketaatannya kepada mereka dan mengikuti perintah mereka. Katakanlah Jika kamu benar-benar mencintai Allah Ikutilah agamaku karena sesungguhnya aku adalah utusan Allah aku menyampaikan risalahnya kepada kamu dan hujannya atas kamu”. Bukti cinta kepada Rasul adalah mengikuti jejak Rasul. Karena itulah cinta tersebut ditafsirkan dengan keinginan untuk taat dan dijadikan sekutu yang akan mendorongnya untuk mengikuti jejak Rasulullah SAW di dalam ibadah padaNya dan anjuran taat padaNya. Al-Junaid mengatakan bahwa seseorang tidak akan sampai kepada Allah kecuali dengan pertolongan Allah sedangkan jalan untuk sampai kepada Allah adalah dengan mengikuti jejak Nabi Muhammad Shallallahu salam Al Mustafa. Setiap amal tanpa didasari sunnah adalah batil kata Ahmad Al hawary.

Faktor yang membantu cinta pada rasul. Al Qorni mengatakan bahwa ada beberapa faktor yang dapat membantu besarnya cinta kepada rasul. Yaitu mengenal anugerah besar yang dikaruniakan Allah Subhanahu Wa Ta’Ala kepada kita dengan diutusnya beliau kepada kita. Kemudian mengkaji semua pekerti baik yang ada dalam diri Rasulullah baik dari Al-Quran, hadis nabi, maupun perjalanan hidup dan sejarahnya. Selanjutnya hendaklah anda mengetahui bahwa kedudukan penghambaan diri tidaklah sempurna kecuali dengan mencintai nabi. Adapun syarat meneladani Nabi Muhammad adalah mengharapkan ridho Allah yakin dengan negeri akhirat dan banyak dzikir.

Rambu-rambu Cinta Sejati. Masa depan lebih utama daripada masa sekarang. Nilai rohaniah lebih tinggi daripada nilai material. Kehidupan akhirat lebih utama dan abadi dibandingkan dengan kehidupan di dunia sekarang ini. Demikian dikatakan oleh Profesor Nainggolan. Adapun pengaruh rambu-rambu cinta yang dimiliki Rasul adalah, Rasulullah lebih mendahulukan kepentingan umat atau masyarakat Islam atau para sahabat daripada kepentingan keluarganya sendiri. Keteladanan ini ditiru oleh para sahabat. Nilai rohaniah iman dan taqwa memasyarakat. Semangat juang umat Islam semakin tinggi. Dunia menyaksikan Islam sebagai rahmat bagi alam semesta. Semua itu adalah pengaruh dari rambu-rambu cinta yang sejati.

*Bukti Cinta kepada Allah*

Berikutnya kita paparkan tentang bukti cinta kepada Allah dan rasulNya. Petama, taat dan ridho. Cinta orang-orang mukmin kepada Allah adalah dengan mengikuti perintahNya dan mencari ridhoNya. Barangsiapa yang mengaku cinta kepada Allah Subhanahu Wa Ta’ala tetapi berkeluh-kesah dari siksa maka dia adalah pembohong. Berkatalah Rabiah, jika cintamu itu betul tentu engkau mentaatiNya karena sesungguhnya orang yang cinta akan selalu patuh terhadap yang dicintainya. Kedua, senantiasa mendekat padaNya. As-Syabali berkata “orang-orang yang memiliki cinta kepada Allah akan minum dari gelas kecintaan menjadi sempitlah bagi mereka bumi dan negeri mereka. Mereka minum dari gelas kecintaan kepadaNya, tenggelam di dalam lautan rindu padaNya dan merasa nikmat munajat denganNya. “Kalau kamu betul mencintaiku, tentu tidak kan dari dari percobaanku”.

Ketiga, selalu rindu akan hidayahNya. Ketika Ibrahim Alkhawas ditanya mengenai kecintaan kepada Allah, dia berkata menghapus segala keinginan, membakar segala sifat kebendaan dan kebutuhan, tenggelamkan dirinya di dalam lautan petunjuk atau hidayah. Keempat, mengambil jarak dari dunia. Asahil berkata “barang siapa yang cinta kepada Allah maka dia akan hidup dan barangsiapa yang condong kepada dunia, dia akan linglung seperti orang tolol, berangkat pagi pulang sore dalam kesia-siaan, sedangkan orang yang berakal akan memiliki kekurangan-kekurangan. Berkata Sahli, tanda-tanda orang yang cinta kepada Allah adalah cinta kepada al-Quran, tanda-tanda orang yang cinta kepada al-Quran adalah cinta kepada Nabi Muhammad Shallallahu Alaihi Wasallam. Tanda orang yang cinta kepada nabi adalah cinta sunnah. Tanda orang yang cinta sunnah adalah cinta akhirat. Dan tanda cinta akhirat adalah benci dunia. Adapun tanda benci dunia tidak mengambil darinya kecuali sebagai bekal dan persiapan menuju akhirat. Sebab cintanya, banyak ketaatannya dan cepat taubatnya, sedikit bergaul, banyak menyendiri, melanggengkan tafakur dan keadaan lahirnya diam. Dia selalu memandang Allah dalam kesendirian, merasa tenteram denganNya dan berbisik padaNya dan dia tidak akan ikut berebut dengan orang-orang ahli dunia di dalam hal dunia mereka. Sesungguhnya kebenaran cinta kepada Allah berada di dalam tiga hal. Dia akan memilih FirmanNya atas perkataan yang lain. Dia akan memilih berkumpul dengan kekasihnya daripada berkumpul dengan yang lain. Dia memilih kerinduan kekasihnya daripada keridhoan yang lain”.

Bahasan tentang bukti cinta kepada Allah sebagaimana telah kita bahas di di atas kita coba perluas sedikit lagi. Bukti cinta kepada Allah adalah taat terhadap perintah-Nya. Taat itu artinya menjalankan perintah dan menjauhi larangan. Perintah Allah kepada manusia yang paling besar adalah beribadah kepada-Nya sedangkan larangan yang terbesar adalah membuat tandingan terhadap-Nya. Perintah yang terbesar dalam ibadah adalah tauhid dan larangan terbesarnya adalah syirik. Seseorang yang cinta kepada Allah akan senantiasa menjalankan ibadah secara bertahap dan menjauhi larangan berupa membuat tandingan terhadap Allah dan berbuat syirik kepada-Nya.

Di dalam beribadah, pertama, dibutuhkan kesabaran, sabar dalam ketaatan, sabar dalam menjauhi larangan-larangan dan sabar atas fitnah yang menimpa kehidupannya. Kedua, taat itu bersifat memerangi hawa nafsu. Yahya Bin Muadz arloji berkata perangilah hawa hawa nafsumu dengan ketaatan kepada Allah dan riyadhoh. Riyadhoh adalah meninggalkan tidur, sedikit bicara, bertahan dari gangguan manusia dan sedikit makan. Dari sedikit tidur keinginan keinginan hati menjadi baik, dari sedikit bicara akan timbul keselamatan dan bahaya, dari kesabaran menghadapi gangguan ia akan mencapai derajat tertinggi dan dari sedikit makan akan lenyap kesenangan-kesenangan nafsu. Sesungguhnya bagi orang-orang yang berakal mengekang keinginan-keinginan nafsu dengan lapar. Karena kelaparan adalah pengekangan terhadap musuh Allah dan kesuburan setan adalah kesenangan nafsu makan dan minuman. Demikian dikatakan Imam Al Ghazali. Ketiga, ketaatan itu menuntut perhatian dan konsentrasi. “Janganlah kamu seperti orang-orang yang lupa kepada Allah”, demikian firman Allah dalam surat al-hasyr ayat 19. Imam al-ghazali mengatakan maksudnya janganlah kamu berbuat maksiat seperti orang-orang yang lupa kepada Allah Subhanahu wa ta’ala dengan meninggalkan perintah Allah dan mengerjakan laranganNya serta asyik dengan kesenangan dunia dan terperangkap oleh tipu dayanya. Kelima, cinta melahirkan ketaatan, hal itu akan menyebabkan keinginannya untuk berbakti kepada Allah dan suka terhadap hal-hal yang mendekatkan kepada Allah. Karena itu cinta tersebut ditafsirkan dengan keinginan untuk taat dan dijadikan segala sesuatunya akan mendorongnya untuk mengikuti jejak rasul Saw di dalam ibadah kepadaNya.

Keenam, meninggalkan perbuatan haram. Arti taat adalah melaksanakan kewajiban kepada Allah Subhanahu wa ta’ala dan meninggalkan larangannya serta berhenti pada batas-batasNya. Ketahuilah bahwa pangkal dari ketaatan adalah mengakui Allah, takut kepada Allah, mengharap pada Allah dan muraqabah kepada Allah. Apabila seorang hamba kosong dari hal-hal ini maka dia tidak dapat menemukan hakikat dari iman karena sesungguhnya ketaatan kepada Allah tidak sah kecuali setelah mengetahui Allah dan iman kepada wujudNya sebagai Pencipta yang Maha Mengetahui Maha Kuasa. Kalau pengetahuan ketuhanan sudah menancap maka akan muncul pengakuan kehambaan dan kalau keimanan sudah tertanam di hati maka suatu keharusan adanya ketaatan kepada Tuhan. Sesungguhnya suatu keharusan bagiku untuk beribadah kepada Allah dan taat kepadanya hanyalah karena pengaruh yang telah diberikan pada kita dan kebaikan yang telah berlalu pada kita, lebih-lebih Dia telah memerintahkan pada kita. Ketahuilah sesungguhnya seorang hamba tidak dapat menyempurnakan taat kepada Tuhannya kecuali dengan membuang jauh duniawi. Di antara perkataan ulama kehidupan dunia adalah sesuatu maka jadikanlah dia untuk taat. Demikian penjelasan Imam Al-Ghozali.

*Mencintai saudara*

Dalam Hadits, riwayat Bukhari dan Muslim dikatakan bahwa belum benar dan belum sempurna iman seseorang diantara kamu sebelum dia mencintai saudaranya sebagaimana dia mencintai dirinya sendiri. Berkata Sufyan atsauri barangsiapa yang mencintai orang yang mencintai kepada Allah maka dia telah mencintai Allah. Bahasan tentang mencintai saudara, insya Allah akan dibuat dalam bab terpisah.

Orang yang tidak taat kepada Allah adalah orang yang fasik. Fasik adalah orang-orang yang durhaka dan membatalkan perjanjiannya keluar dari jalan hidayah, rahmat dan ampunan Allah Subhanahu Wa Ta’ala. Fasik itu ada dua macam yaitu kafir dan pajir. Kafir adalah orang yang tidak beriman kepada Allah dan utusanNya, keluar dari hidayah dan masuk ke dalam kesesatan. Sedangkan fajir adalah orang yang minum arak, makan yang haram, berzina dan durhaka kepada Allah subhanahuwata’ala, keluar dari jalan ibadah dan masuk ke dalam kemaksiatan tetapi ia tidak berbuat kemusyrikan. Saya sudah menyiapkan tulisan tentang topik tersebut. Nanti akan coba kita sajikan.

Demikian bahasan kita tentang ilmu tashowuf dan cinta kepada Allah Subhanahu Wa Ta’ala

_Alhamdulillah saat ini menjelang adzan Isya di Soreang, Bandung tanggal 5 agustus 2019_

_Alhamdulillahirobbil alamin washolatu wassalamu ala rasulillah wa ala alihi wa ashabihi ajma’in._

_Saya mohon masukannya Ustadz Akhri mudah-mudahan ini jadi pondasi bagi saya untuk menulis di masa-masa berikutnya._


Ditulis dalam Uncategorized

Ilmu tashowuf dan Cinta kepada Alloh

*ILMU TASHOWUF DAN CINTA KEPADA ALLAH*
_Oleh: Ading Nashrulloh_

_Assalamualaikum warahmatullahi wabarakatuh_

_Apa kabar Ustadz Akhri di Cianjur. Saya akan membacakan tulisan tahun 2010 bulan November. Mudah-mudahan apa yang saya baca ini manfaat terutama bagi saya sendiri dan ustadz._ . .Judul tulisan saya itu adalah, *Ilmu tasawuf dan Cinta kepada Allah*

*Ilmu Tshowuf*

Di dalam Islam kita mengenal tiga konsepsi yang sangat mendasar yaitu iman, Islam dan ihsan. Ketiga konsep ini masing-masing mengalami spesialisasi ilmu pengembangannya yang kemudian oleh para ulama dinamakan ushuluddin, fiqih dan tasawuf.

Tentang iman kita pelajari ushuluddin atau ilmu kalam, tentang Islam kita pelajari ilmu fiqih, tentang Ihsan, kunci daripada semua itu, kita menamakan ilmu tasawuf. Demikian Kata Profesor Hamka dalam Mustafa Zahri. Ushuluddin, fiqih dan tasawuf merupakan ilmu ilmu yang penting untuk mencapai kesempurnaan agama. Ushuluddin mengajarkan tentang adanya Tuhan, fiqih mengajarkan tentang kewajiban-kewajiban yang harus dilaksanakan dalam hubungannya dengan Tuhan sedangkan tasawuf mengajarkan bagaimana agar jiwa kita meyakini adanya Tuhan dan melaksanakan kewajiban beribadah kepadaNya hal ini sesuai dengan arti ihsan. Yaitu engkau beribadah kepada Allah seolah-olah engkau melihatNya. Mustafa Zahri mengatakan adanya mengetahui Tuhan tidak cukup untuk menerbitkan rasa takut pada Allah apabila ia belum dapat membuktikan keimanannya itu dan mengetahui kewajiban apa yang harus diperbuat sebagai hamba Allah. Jadi usuludin tanpa pembuktian iman dan tanpa fiqih adalah perkara yang belum berarti dalam pandangan agama. Ushuluddin harus didampingi oleh fiqih.

Selanjutnya Mustafa Zahri menulis fiqih mengajarkan tentang kewajiban-kewajiban tetapi mengetahui saja kewajiban dan hukum tidak cukup untuk dapat menerbitkan rasa takut kepada Allah, untuk mengerjakan segala suruhan dan meninggalkan segala larangan tanpa ada yang menguasai jiwa. Sekedar mengetahui saja tentang ushuluddin dan fiqih tidak membuat orang menjadi Taqwa. Tetapi hendaknya kita mesti mengerti ini bukan berarti bahwa ushuluddin dan fiqih tidak penting sebab untuk bertaqwa orang sangat membutuhkannya. Ushuluddin dan fiqih membutuhkan tasawuf agar hukum dan kaidah yang ada padanya mampu tertanam dalam jiwa manusia. Yang mempelajari pengawasan jiwa itu ialah tasawuf, iman kepada Allah terbit dari hati yang bersih dari kotoran-kotoran hawa nafsu demikian kata beliau. Bila dalam hati telah tertanam cinta dan takut kepada Allah maka seseorang dapat bergerak sentiasa taat melaksanakan perintahNya dan menjauhi segala laranganNya. Dengan demikian peranan ilmu tasawuf adalah berusaha mengontrol jiwa dan membersihkan dari kotoran-kotoran hawa nafsu sehingga rasa takwa terbit dari hati yang bersih dan selalu merasa dekat kepada Allah. Dari uraian di atas dapat ditarik kesimpulannya tentang pentingnya tasawuf dalam memperbaiki sikap agama atau ibadah kita. Yaitu pertama, tasawuf merupakan ilmu Islam yang secara khusus membahas tentang Ihsan. Kedua, tasawuf secara khusus merupakan ilmu yang menanamkan kesucian jiwa. Kesucian jiwa itulah yang selanjutnya menjadi penggerak iman dan taat kepada Allah Subhanahu Wa Ta’ala. Makna tasawuf menurut Profesor Hamka adalah, membersihkan jiwa dari pengaruh benda atau alam supaya dia menuju Allah. Sedangkan menurut Zakaria Al-Anshori mengatakan bahwa tasawuf adalah ilmu yang menerangkan hal-hal tentang cara membersihkan jiwa, tentang cara pembinaan kesejahteraan lahir batin untuk mencapai kebahagiaan yang abadi.

Tashowuf adalah ilmu yang membahas tentang upaya-upaya untuk mencapai jiwa yang bersih sehingga seseorang mencapai derajat Ihsan. Ihsan menurut definisi yang diberikan Nabi Muhammad Shallallahu a’laihi Salam dalam suatu hadis adalah engkau beribadah kepada Allah seolah-olah engkau melihatnya dan jika engkau tidak melihatnya Dia melihatmu. Engkau beribadah maksudnya adalah hendaknya engkau membenarkan iman dan melaksanakan Islam. Seolah-olah engkau melihatNya maksudnya engkau seolah-olah melihat Allah yang Maha Besar. Dia senantiasa melihatmu maksudnya apapun yang kau kerjakan dalam ibadah padaNya, Allah tahu. Itu mengajarkan agar kita cinta kepada Allah Subhanahu Wa Ta’ala. Cinta kepada Allah akan menggiring seseorang merasakan manisnya iman. Sayyid Sabiq mengatakan dari kesan-kesan keimanan itu ialah apabila Allah dan rasulNya dirasakan lebih dicintai olehnya dari segala sesuatu yang ada. Rasulullah Shallallahu Alaihi Wasallam bersabda. Ada tiga perkara barangsiapa dirinya dapat menyandang ketiganya niscaya akan merasakan manisnya Iman yaitu bila Allah dan rasulNya lebih dicintai daripada selainnya. Hadits Riwayat Bukhari Muslim.

Ihsan itu menggerakkan kita untuk takut pada Allah sebab seseorang yang telah mengetahui Kemahabesaran Allah dan tahu Dia senantiasa Mengawasi gerak-gerik tentu tidak akan berani untuk maksiat atau lalai dalam ibadah. Yang diajarkan Iman, taat diajarkan Islam dan takut yang diajarkan Ihsan tidaklah akan bersinggasana dalam hati kita tanpa hati yang bersih. Hanya hati yang bersih yang dapat memiliki cinta takut dan taat kepada Allah Subhanahu Wa Ta’ala. Dan hati yang bersih ini produk dari tasawuf. Pada saat kita berbicara tasawuf di dalamnya terkandung Ihsan, saat kita bicara Ihsan didalamnya terkandung Islam, saat kita bicara Islam di dalamnya terkandung iman, dengan demikian berbicara tasawuf kita berbicara pula tentang iman, Islam dan ihsan. Dengan demikian frase “hati yang bersih ini” merupakan produk dari tasawuf, hakekatnya mengandung arti, pertama hati yang bersih adalah produk dari sistem tasawuf, sistem Ihsan, sistem Islam dan sistem iman. Kedua hati yang bersih adalah output dan input dari cinta takut dan taat. Hati yang bersih merupakan produk dari tasawuf. Tasawuf memiliki metode untuk mengantarkan seseorang kepada hati yang bersih dan metode itu adalah satu, tahali, takhali dan Tajalli. Dua, syariat, thoriqot, hakekat dan ma’rifat. Tiga, Makom dan ahwal. Empat, suluk.

Takholli artinya membersihkan jiwa dari kotoran, tahalli artinya memasukkan ke dalam jiwa perkara yang baik dan tajalli artinya mengkaitkan hati senantiasa pada Allah. Zahri mengatakan takholli membersihkan diri dari segala dosa dan lahir dan batin. Tahalli yaitu berarti mengisi diri dengan sifat-sifat yang terpuji. Tajalli artinya memperoleh hakekat kenyataan Tuhan karena suci bersihnya hati untuk mencintai Tuhan. Takholi, tahalli dan tajalli merupakan tiga tingkat jalan dalam tasawuf. Ketiganya merupakan pendidikan etika sehingga pada puncaknya sampai pada jiwa yang bersih. Takholli, tahalli dan tajalli merupakan sistem yang dalam tasawuf disebut sistem thoriqoh, untuk memahami arti thoriqoh kita harus melihatnya dalam susunan syariat, thoriqot, hakekat makrifat. Syariat adalah peraturan hukum tuntunan beribadah kepada Allah Subhanahu Wa Ta’ala. Tasawuf menerangkan bahwa syariat itu hanylah peraturan-peraturan. Tarekatlah yang merupakan perbuatan untuk melaksanakan syariat itu. Apabila syariat dan tarekat itu sudah dapat dikuasai maka lahirlah hakekat yang tidak lain perbaikan keadaan dan ahwal, sedangkan tujuan ialah ma’rifah yaitu mengenal Tuhan dan mencintaiNya yang sebenar-benarnya, yang sebaik-baiknya. Jadi thoriqoh itu adalah perbuatan untuk melaksanakan syariat. Thoriqoh adalah jalan atau petunjuk dalam melakukan semua ibadah sesuai dengan ajaran yang dicontohkan Nabi Muhammad Shallallahu Alaihi Wasallam. Dengan demikian takhalli, tahalli dan tajalli merupakan sistem thoriqoh yang isinya adalah berupa ibadah-ibadah. Demikianlah para sufiah membuat suatu sistem thoriqoh, mengadakan latihan-latihan jiwa, membersihkan dirinya dari sifat-sifat yang tercela atau mazmumah dan mengiringinya dengan sifat-sifat terpuji atau mahmudah dan memperbaiki dan memperbanyak dzikir.

*Cinta Kepada Allah*

Cinta adalah tabiat jiwa manusia dengan kecenderungannya kepada sesuatu yang disenangi dan dirasa enak. Imam Al Ghazali mengatakan kata hub, cinta adalah kata-kata yang mengungkapkan kecenderungan tabiat kepada sesuatu yang dirasa enak. Jika itu lebih kuat dan kokoh maka disebut isyq atau Rindu. Dia bisa membawa orang menjadi budak bagi yang dicintainya itu. Seorang penulis mengatakan cinta secara istilah ialah rasa kasih sayang yang muncul dari lubuk hati yang terdalam untuk rela berkorban tanpa mengharap imbalan apapun dan dari siapapun kecuali yang datang dan diridhoi Allah subhanahu wa ta’ala. Penjelasan di atas dapat kita ringkas cinta itu memiliki ciri-ciri. Pertama, cinta bisa menimbulkan sikap diperbudak oleh sesuatu yang dicintai. Kedua, cinta muncul dari lubuk hati Untuk menimbulkan sikap rela berkorban.

Munculnya cinta kepada Allah adalah disebabkan oleh adanya iman kepada Allah. Iman merupakan pokok yang melahirkan cinta dalam hubungannya dengan Allah. Ibnu Utsaimin dalam bukunya yang berjudul Ahlussunah wal jama’ah mengatakan, Iman kepada Allah Subhanahu Wa Ta’ala dan Asma serta sifatNya bermanfaat menanamkan rasa cinta dan penghormatan hamba kepada Kholiknya yang keduanya memberikan keharusan untuk mengerjakan segala perintahNya dan menjauhi segala laranganNya sehingga terciptalah suatu kebahagiaan yang sempurna dalam hidup di dunia dan di akhirat kelak, pribadi dan masyarakat. Beliau mengatakan bahwa Iman melahirkan cinta, cinta melahirkan ketaatan, ketaatan melahirkan kebahagiaan. Jadi konsep antara Iman, cinta dan taat serta kebahagiaan merupakan satu rangkaian yang utuh. Cinta merupakan bagian yang tak terpisah dari iman dan taat kepada Allah. .

Dalam buku ketajaman mata hati Imam Al Ghazali menulis. Seorang hamba apabila mengetahui bahwa kesempurnaan hakiki adalah milik Allah dan sesungguhnya apa yang dilihatnya sempurna baik dari dirinya sendiri atau orang lain, hakikatnya adalah dari Allah dan dengan pertolongan Allah, tentunya cintanya tidak bisa lain kecuali untuk Allah dan kepada Allah. Hal itu akan menyebabkan keinginannya untuk berbakti kepada Allah dan suka terhadap hal-hal yang mendekatkan diri kepada Allah. Imam al-ghazali mengatakan bahwa pengetahuan tentang kesempurnaan yang hakiki ialah pengetahuan bahwa ia berasal dari Allah milik Allah atas Pertolongan Allah, maka pengetahuan itu akan melahirkan cinta kepada Allah dan untuk Allah. Pengetahuan melahirkan cinta. Cinta yang lahir dari pengetahuan ini, kata Imam al Ghazali, melahirkan keinginan untuk berbakti dan suka terhadap hal-hal yang mendekatkan diri kepada Allah Subhanahu Wa Ta’ala. Dengan demikian munculnya cinta kepada Allah adalah sebab iman dan pengetahuan.

Adapun wujud cinta kepada Allah dijelaskan berikut ini. Cinta kepada Allah Subhanahu Wa Ta’ala merupakan cinta yang sejati artinya, itulah cinta yang benar-benar ada, bersih dan abadi. Dikatakan, tidak ada cinta yang sesungguhnya, kecuali cinta kepada Allah. Allah berfirman dalam surat 9 ayat 24, tentang tingkatancinta, ayat itu menerangkan cinta pada apapun yang lebih dari cinta pada Allah adalah cinta yang mengandung azab dan perbuatan fasik. Dan sebaliknya cinta apabila berupa cinta pada Allah ditingkat yang paling tinggi dalam hati kita, itu artinya cintanya akan menyelamatkan hidup manusia. Doktor Zahri menulis hidup ini hanya menjadi hak bagi orang yang baik sangka pada Allah. Orang yang baik sangka pada Allah yaitu orang-orang yang baik hubungannya dengan Allah yaitu orang-orang mukmin yang mencintai Allah lebih dari mencintai yang lainnya. Orang mukmin yang demikian biasanya ridho dengan Allah, ridho dengan hidupnya dalam dunia ini. Itulah dia rahasia hidup yang sebenarnya dan itulah dia kebahagiaan hidup yang sebenarnya.

Dari dua pendapat di atas disimpulkan bahwa cinta kepada Allah harus ditempatkan pada urutan yang pertama sebab hanya dengan cinta demikian hidup akan selamat. Wajar Allah dicintai lebih daripada yang lainnya sebab Dia sumber dari segala sumber. Dikatakan, mengapa cinta kepada Allah itu ada pada tingkatan pertama sebab Dia adalah Maha Esa, sumber dari segala sumber-sumber apa yang ada, kepadaNya segala sesuatu bergantung, sumber ilmu dan kekuasaan, sumber rezeki dan kehidupan. Cinta kepada Allah, ialah cinta yang melahirkan rasa ridho atas takdirNya, rasa ridho ini merupakan rahasia hidup bahagia demikian kata Doktor Zahri.

*Cinta kepada Allah dan RasulNya*

Di atas dasar cinta kepada Allah diletakkan cinta kepada rasul, jihad, manusia dan harta. Semua ini penting, sama sekali tidak haram. Cinta harta harus karena cinta manusia, cinta pada manusia harus karena cinta Jihad, cinta jihad harus karena cinta pada rasul dan cinta pada rasul harus karena cinta pada Allah Subhanahu Wa Ta’ala. Kita mencintai Rasul karena dua hal diantaranya. Pertama, karena cinta kepada Allah pastilah harus disusul dengan cinta kepada Rasul. Kedua, karena para rasul telah terbukti mewujudkan cinta kepada Allah. Para rasul telah membuktikan cinta murni kepada Allah, mereka telah berjihad dan berhasil menundukkan, menguasai dan mengendalikan hawa nafsu dan keinginan mereka, demikian dikatakan. Cinta kepada rasul menempati urutan kedua setelah cinta kepada Allah. Sesungguhnya cinta kepada Allah dan rasulNya merupakan ciri keimanan seorang mukmin. Seorang mukmin harus menempatkan cinta kepada Allah dan rasulNya di atas cinta kepada yang lainnya, cinta kepada yang lainnya harus berdasarkan cinta kepada Allah dan rasulNya.

Sayyid Sabiq mengatakan bahwa “salah satu daripada kesan-kesan keimanan itu ialah apabila Allah dan rasulNya dirasakan lebih dicintai olehnya dari segala sesuatu yang ada. Ini wajib ditampakkan baik dalam ucapan, perbuatan dan segala geraknya dalam pergaulan dan sewaktu sendirian. Jikalau dalam qolbunya itu dirasakan masih ada sesuatu yang lebih dicintai olehnya daripada Allah dan rasulNya maka dalam keadaan semacam ini dapatlah dikatakan bahwa keimanan yang memang sudah masuk tetapi akidahnya yang masih goyang”. Urutan ketiga, keempat dan kelima dari apa yang kita cintai adalah cinta kepada jihad, cinta kepada manusia dan cinta kepada harta. Cinta jihad fisabilillah ditempatkan pada urutan ke tiga sebab di dalam jihad dijalan Allah memerlukan contoh dan suri teladan, jihad adalah ciri khas manusia yaitu manusia yang berjuang karena dia punya prinsip atau punya keyakinan hidup. Cinta kepada manusia, ditempatkan pada urutan keempat sebab keadaan mereka belum tentu berada berperilaku dan berbuat di jalan Allah, bukti cinta kepada manusia adalah membawa keluarga kita kepada jalan Allah. Sedangkan cinta kepada harta dan tahta bukanlah tujuan yang akan dicapai dalam hidup manusia tetapi sebagai alat berjuang yaitu alat untuk berjihad fisabilillah.

Berikutnya adalah bahasan tentang ilmu yang mengantarkan cinta kepada Allah. Ilmu apa saja itu? Pertama, ushuluddin, sebab didalamnya dibahas tentang bukti-bukti keberadaan Allah dan karunia-Nya. Kedua, fiqih, sebab didalamnya dibahas aturan-aturan mengabdi padaNya yang sarat dengan dzikir dan upaya mendekatkan diri padaNya. Tiga, tasawuf, sebab didalamnya dibahas tentang hati agar bersih dari kotoran-kotoran iman dan hal yang mengotori tauhid. Ilmu tasawuf bertugas membahas soal-soal yang bertalian dengan akhlak dan budi pekerti, bertalian dengan hati, yaitu cara-cara ikhlas, khusyu, taubat, muraqabah, mujahadah, sabar, tawakal dan semua sifat yang terpuji dan sejalan dengan hati. Jadi sasaran ajaran tasawuf ialah akhlak dan budi pekerti yang baik berdasarkan kasih dan cinta kepada Allah Subhanahu Wa Ta’ala. Oleh karena itu maka ajaran tasawuf sangat mengutamakan adab atau nilai atau cara, baik dalam hubungan sesama manusia, terutama dalam hubungan dengan Tuhan. Empat, tarikh, sebab didalamnya dibahas tentang upaya dan kenyataan orang-orang sholeh dalam mewujudkan cinta mereka kepada Allah.

Bahasan berkutnya adalah tentang faktor yang menyebabkan cinta kepada Allah. Hendaknya seorang hamba memelihara semua hal yang difardukan sebab hal yang difardukan adalah kunci pertama dan jalan yang paling utama menuju kepada Allah. Hendaknya seseorang membaca al-Quran dengan merenungi maknanya karena Alquran adalah kalam Allah yang ada di bumi dan menjadi parameter bagi seorang hamba untuk dapat mengetahui sampai dimana kadar keimanannya. Hendaknya seseorang selalu berdzikir kepada Allah selamanya, karena dzikir kepada Allah adalah pengusir syetan, penambah kesetiaan, ketaatan dan keridhoan Tuhan Yang Maha Pemurah serta menjauhkan dari semua hal yang menyebabkan kemurkaan Allah yang Tunggal lagi Esa. Hendaknya seseorang hamba memperbanyak amal sunnah yang mendekatkan dirinya kepada Allah seperti salat puasa dan shodaqoh demikian dalam buku Alqorni dikatakan.

*CInta kepada RasulNya*

Adapun tentang cinta kepada rasul, penjelasannya adalah sebagai berikut. Imam al-ghazali menulis buah-buah cinta itu adalah mengikuti jejak rasul, selalu berdzikir, mengutamakan Dzat yang dicintai, merasa tidak suka terhadap dunia dan takut hina menghadapi selain Allah. Mengikuti Rasul Shallallahu Alaihi Wa Sallam merupakan keharusan dalam mencintai Allah. Sebagaimana firman Allah subhanahu wa taala dalam al-Quran surat 3 ayat 31: “Katakanlah jika kamu benar-benar mencintai Allah maka Ikutilah aku niscaya Allah mengampuni dosa-dosamu. Allah maha pengampun lagi maha penyayang.” Menunjukkan cinta kepada rasul ialah melalui taat. Imam Al Ghazali mengatakan, “ketahuilah olehmu sekalian bahwa sesungguhnya cinta seorang hamba kepada Allah dan utusan-Nya adalah ketaatannya kepada mereka dan mengikuti perintah mereka. Katakanlah Jika kamu benar-benar mencintai Allah Ikutilah agamaku karena sesungguhnya aku adalah utusan Allah aku menyampaikan risalahnya kepada kamu dan hujannya atas kamu”. Bukti cinta kepada Rasul adalah mengikuti jejak Rasul. Karena itulah cinta tersebut ditafsirkan dengan keinginan untuk taat dan dijadikan sekutu yang akan mendorongnya untuk mengikuti jejak Rasulullah SAW di dalam ibadah padaNya dan anjuran taat padaNya. Al-Junaid mengatakan bahwa seseorang tidak akan sampai kepada Allah kecuali dengan pertolongan Allah sedangkan jalan untuk sampai kepada Allah adalah dengan mengikuti jejak Nabi Muhammad Shallallahu salam Al Mustafa. Setiap amal tanpa didasari sunnah adalah batil kata Ahmad Al hawary.

Faktor yang membantu cinta pada rasul. Al Qorni mengatakan bahwa ada beberapa faktor yang dapat membantu besarnya cinta kepada rasul. Yaitu mengenal anugerah besar yang dikaruniakan Allah Subhanahu Wa Ta’Ala kepada kita dengan diutusnya beliau kepada kita. Kemudian mengkaji semua pekerti baik yang ada dalam diri Rasulullah baik dari Al-Quran, hadis nabi, maupun perjalanan hidup dan sejarahnya. Selanjutnya hendaklah anda mengetahui bahwa kedudukan penghambaan diri tidaklah sempurna kecuali dengan mencintai nabi. Adapun syarat meneladani Nabi Muhammad adalah mengharapkan ridho Allah yakin dengan negeri akhirat dan banyak dzikir.

Rambu-rambu Cinta Sejati. Masa depan lebih utama daripada masa sekarang. Nilai rohaniah lebih tinggi daripada nilai material. Kehidupan akhirat lebih utama dan abadi dibandingkan dengan kehidupan di dunia sekarang ini. Demikian dikatakan oleh Profesor Nainggolan. Adapun pengaruh rambu-rambu cinta yang dimiliki Rasul adalah, Rasulullah lebih mendahulukan kepentingan umat atau masyarakat Islam atau para sahabat daripada kepentingan keluarganya sendiri. Keteladanan ini ditiru oleh para sahabat. Nilai rohaniah iman dan taqwa memasyarakat. Semangat juang umat Islam semakin tinggi. Dunia menyaksikan Islam sebagai rahmat bagi alam semesta. Semua itu adalah pengaruh dari rambu-rambu cinta yang sejati.

*Bukti Cinta kepada Allah*

Berikutnya kita paparkan tentang bukti cinta kepada Allah dan rasulNya. Petama, taat dan ridho. Cinta orang-orang mukmin kepada Allah adalah dengan mengikuti perintahNya dan mencari ridhoNya. Barangsiapa yang mengaku cinta kepada Allah Subhanahu Wa Ta’ala tetapi berkeluh-kesah dari siksa maka dia adalah pembohong. Berkatalah Rabiah, jika cintamu itu betul tentu engkau mentaatiNya karena sesungguhnya orang yang cinta akan selalu patuh terhadap yang dicintainya. Kedua, senantiasa mendekat padaNya. As-Syabali berkata “orang-orang yang memiliki cinta kepada Allah akan minum dari gelas kecintaan menjadi sempitlah bagi mereka bumi dan negeri mereka. Mereka minum dari gelas kecintaan kepadaNya, tenggelam di dalam lautan rindu padaNya dan merasa nikmat munajat denganNya. “Kalau kamu betul mencintaiku, tentu tidak kan dari dari percobaanku”.

Ketiga, selalu rindu akan hidayahNya. Ketika Ibrahim Alkhawas ditanya mengenai kecintaan kepada Allah, dia berkata menghapus segala keinginan, membakar segala sifat kebendaan dan kebutuhan, tenggelamkan dirinya di dalam lautan petunjuk atau hidayah. Keempat, mengambil jarak dari dunia. Asahil berkata “barang siapa yang cinta kepada Allah maka dia akan hidup dan barangsiapa yang condong kepada dunia, dia akan linglung seperti orang tolol, berangkat pagi pulang sore dalam kesia-siaan, sedangkan orang yang berakal akan memiliki kekurangan-kekurangan. Berkata Sahli, tanda-tanda orang yang cinta kepada Allah adalah cinta kepada al-Quran, tanda-tanda orang yang cinta kepada al-Quran adalah cinta kepada Nabi Muhammad Shallallahu Alaihi Wasallam. Tanda orang yang cinta kepada nabi adalah cinta sunnah. Tanda orang yang cinta sunnah adalah cinta akhirat. Dan tanda cinta akhirat adalah benci dunia. Adapun tanda benci dunia tidak mengambil darinya kecuali sebagai bekal dan persiapan menuju akhirat. Sebab cintanya, banyak ketaatannya dan cepat taubatnya, sedikit bergaul, banyak menyendiri, melanggengkan tafakur dan keadaan lahirnya diam. Dia selalu memandang Allah dalam kesendirian, merasa tenteram denganNya dan berbisik padaNya dan dia tidak akan ikut berebut dengan orang-orang ahli dunia di dalam hal dunia mereka. Sesungguhnya kebenaran cinta kepada Allah berada di dalam tiga hal. Dia akan memilih FirmanNya atas perkataan yang lain. Dia akan memilih berkumpul dengan kekasihnya daripada berkumpul dengan yang lain. Dia memilih kerinduan kekasihnya daripada keridhoan yang lain”.

Bahasan tentang bukti cinta kepada Allah sebagaimana telah kita bahas di di atas kita coba perluas sedikit lagi. Bukti cinta kepada Allah adalah taat terhadap perintah-Nya. Taat itu artinya menjalankan perintah dan menjauhi larangan. Perintah Allah kepada manusia yang paling besar adalah beribadah kepada-Nya sedangkan larangan yang terbesar adalah membuat tandingan terhadap-Nya. Perintah yang terbesar dalam ibadah adalah tauhid dan larangan terbesarnya adalah syirik. Seseorang yang cinta kepada Allah akan senantiasa menjalankan ibadah secara bertahap dan menjauhi larangan berupa membuat tandingan terhadap Allah dan berbuat syirik kepada-Nya.

Di dalam beribadah, pertama, dibutuhkan kesabaran, sabar dalam ketaatan, sabar dalam menjauhi larangan-larangan dan sabar atas fitnah yang menimpa kehidupannya. Kedua, taat itu bersifat memerangi hawa nafsu. Yahya Bin Muadz arloji berkata perangilah hawa hawa nafsumu dengan ketaatan kepada Allah dan riyadhoh. Riyadhoh adalah meninggalkan tidur, sedikit bicara, bertahan dari gangguan manusia dan sedikit makan. Dari sedikit tidur keinginan keinginan hati menjadi baik, dari sedikit bicara akan timbul keselamatan dan bahaya, dari kesabaran menghadapi gangguan ia akan mencapai derajat tertinggi dan dari sedikit makan akan lenyap kesenangan-kesenangan nafsu. Sesungguhnya bagi orang-orang yang berakal mengekang keinginan-keinginan nafsu dengan lapar. Karena kelaparan adalah pengekangan terhadap musuh Allah dan kesuburan setan adalah kesenangan nafsu makan dan minuman. Demikian dikatakan Imam Al Ghazali. Ketiga, ketaatan itu menuntut perhatian dan konsentrasi. “Janganlah kamu seperti orang-orang yang lupa kepada Allah”, demikian firman Allah dalam surat al-hasyr ayat 19. Imam al-ghazali mengatakan maksudnya janganlah kamu berbuat maksiat seperti orang-orang yang lupa kepada Allah Subhanahu wa ta’ala dengan meninggalkan perintah Allah dan mengerjakan laranganNya serta asyik dengan kesenangan dunia dan terperangkap oleh tipu dayanya. Kelima, cinta melahirkan ketaatan, hal itu akan menyebabkan keinginannya untuk berbakti kepada Allah dan suka terhadap hal-hal yang mendekatkan kepada Allah. Karena itu cinta tersebut ditafsirkan dengan keinginan untuk taat dan dijadikan segala sesuatunya akan mendorongnya untuk mengikuti jejak rasul Saw di dalam ibadah kepadaNya.

Keenam, meninggalkan perbuatan haram. Arti taat adalah melaksanakan kewajiban kepada Allah Subhanahu wa ta’ala dan meninggalkan larangannya serta berhenti pada batas-batasNya. Ketahuilah bahwa pangkal dari ketaatan adalah mengakui Allah, takut kepada Allah, mengharap pada Allah dan muraqabah kepada Allah. Apabila seorang hamba kosong dari hal-hal ini maka dia tidak dapat menemukan hakikat dari iman karena sesungguhnya ketaatan kepada Allah tidak sah kecuali setelah mengetahui Allah dan iman kepada wujudNya sebagai Pencipta yang Maha Mengetahui Maha Kuasa. Kalau pengetahuan ketuhanan sudah menancap maka akan muncul pengakuan kehambaan dan kalau keimanan sudah tertanam di hati maka suatu keharusan adanya ketaatan kepada Tuhan. Sesungguhnya suatu keharusan bagiku untuk beribadah kepada Allah dan taat kepadanya hanyalah karena pengaruh yang telah diberikan pada kita dan kebaikan yang telah berlalu pada kita, lebih-lebih Dia telah memerintahkan pada kita. Ketahuilah sesungguhnya seorang hamba tidak dapat menyempurnakan taat kepada Tuhannya kecuali dengan membuang jauh duniawi. Di antara perkataan ulama kehidupan dunia adalah sesuatu maka jadikanlah dia untuk taat. Demikian penjelasan Imam Al-Ghozali.

*Mencintai saudara*

Dalam Hadits, riwayat Bukhari dan Muslim dikatakan bahwa belum benar dan belum sempurna iman seseorang diantara kamu sebelum dia mencintai saudaranya sebagaimana dia mencintai dirinya sendiri. Berkata Sufyan atsauri barangsiapa yang mencintai orang yang mencintai kepada Allah maka dia telah mencintai Allah. Bahasan tentang mencintai saudara, insya Allah akan dibuat dalam bab terpisah.

Orang yang tidak taat kepada Allah adalah orang yang fasik. Fasik adalah orang-orang yang durhaka dan membatalkan perjanjiannya keluar dari jalan hidayah, rahmat dan ampunan Allah Subhanahu Wa Ta’ala. Fasik itu ada dua macam yaitu kafir dan pajir. Kafir adalah orang yang tidak beriman kepada Allah dan utusanNya, keluar dari hidayah dan masuk ke dalam kesesatan. Sedangkan fajir adalah orang yang minum arak, makan yang haram, berzina dan durhaka kepada Allah subhanahuwata’ala, keluar dari jalan ibadah dan masuk ke dalam kemaksiatan tetapi ia tidak berbuat kemusyrikan. Saya sudah menyiapkan tulisan tentang topik tersebut. Nanti akan coba kita sajikan.

Demikian bahasan kita tentang ilmu tashowuf dan cinta kepada Allah Subhanahu Wa Ta’ala

_Alhamdulillah saat ini menjelang adzan Isya di Soreang, Bandung tanggal 5 agustus 2019_

_Alhamdulillahirobbil alamin washolatu wassalamu ala rasulillah wa ala alihi wa ashabihi ajma’in._

_Saya mohon masukannya Ustadz Akhri mudah-mudahan ini jadi pondasi bagi saya untuk menulis di masa-masa berikutnya._


Ditulis dalam Uncategorized

Sebab-Sebab Kafir

*SEBAB-SEBAB KEKAFIRAN*
_*Bagian 1*_
_Oleh: Ading Nashrolloh_

Sesungguhnya orang-orang yang menentang Allah dan rasulnya mereka termasuk orang-orang yang sangat hina. Surat 58 ayat 20.

Ayat ini menerangkan suatu rahasia tentang orang-orang yang menentang Allah dan rasulnya. Mereka merupakan golongan orang-orang yang sangat hina. Sikap menentang berkaitan dengan aturan, perintah, larangan, dan anjuran dalam nilainya yang negatif. Allah dan rasulNya memerintahkan secara pokok empat perkara penting yaitu menegakkan tauhid dan amal shaleh, melarang syirik dan maksiat. Berarti orang-orang yang menghidupkan syirik melanggengkan maksiat, menentang seruan tauhid dan lalai beramal sholeh apapun sebabnya termasuk golongan orang-orang yang hina. Namun mengetahui sebab-sebab manusia menentang Allah dan rasulNya adalah penting bagi para Dai dan Ustadz. Alquran telah banyak mengungkapkan perkara sebab-sebabnya. Banyak mengandung hikmah, peringatan, pelajaran dan peringatan di dalamnya. Pengetahuan ini berguna saat kita hendak melaksanakan amar ma’ruf dan nahi munkar agar dalam pelaksanaannya lurus.

Dalam upaya menyusun sebab-sebab terserbut dalam tulisan ini saya menempuh cara mengkaji ayat-ayat Alquran yang berkenaan dengan kaum kafir. Sudah menjadi aksioma bahwa orang kafir itu adalah golongan yang menentang Allah dan rasulnya di level yang paling tinggi. Jadi ayat-ayat Alquran tentang orang kafir sama dengan penjelasan Allah tentang orang-orang yang hina. Setelah ayat-ayat tersebut terkumpul kemudian dilakukan klasifikasi menjadi beberapa kategori yaitu. Hakikat, sebab, akibat dan solusi. Pada buku Jilid kedua ini akan dipaparkan tentang sebab-sebab jahiliyah. Pada tanggal 26 September tahun 2011 penulisan makalah ini dimulai bismilahi tawakaltu alallahi walaa haula wala quwwata illa Billah.

_*Pertama diberi harta kekayaan dunia.*_

Dalam Alquran surat 10 ayat 88. Musa berkata: “Ya Tuhan kami, sesungguhnya Engkau telah memberi kepada Fir’aun dan pemuka-pemuka kaumnya perhiasan dan harta kekayaan dalam kehidupan dunia, ya Tuhan Kami — akibatnya mereka menyesatkan (manusia) dari jalan Engkau. Ya Tuhan kami, binasakanlah harta benda mereka, dan kunci matilah hati mereka, maka mereka tidak beriman hingga mereka melihat siksaan yang pedih”.

Harta kekayaan dunia adalah sebab manusia menjadi menentang Allah dan rasulnya. Hal ini karena dua sebab pertama harta kekayaan itu merupakan fitnah dan bahkan ada yang dilaknat. Kedua sikap manusia terhadap harta itu bertabiat sangat mencintainya dan enggan bersyukur atau mengakui peran Allah di dalam hartanya. Bagaimana harta benda bisa memunculkan sikap jahiliyah dapat kita lihat seperti apa yang menimpa Firaun, kaum Saba, kaum tsamud, dan kaum jahiliyah Quraisy, serta orang-orang Eropa Barat jahiliyah saat sekarang. Harta kekayaan menjadi sumber kesombongan mereka untuk menolak kalimat tauhid dan dakwah para nabi. Mereka merasa bahwa harta benda merupakan sumber kebahagiaan dan kemuliaan dan memang dunia itu terasa manis dan menjadi sebab kelalaian terhadap kesadaran agama.

Harta benda membuat manusia sibuk mengurusnya dan apalagi, kalau sudah dihinggapi rasa cinta dunia maka sifat tamak, sibuk dan panjang angan-angan akan melingkupi hati, akal dan pola hidup. meeka selalu memikirkan berbagai strategi untuk menjaga dan menambah jumlah kekayaan. Memang dunia ini sangat nyata rasa dan adanya, namun kalau kita tafakuri bukankah sebenarnya harta dunia itu bersifat sangat sementara dalam segala halnya. Manusia tidak punya cukup usia untuk menikmati semuanya juga tak punya kekuatan apa-apa untuk menjamin tetapnya harta dalam genggamannya. Sungguh malang dan hina orang yang telah diperdaya dunia sehingga berujunga kepada sikap menolak ajaran Rasul, kemudian ia memilih sibuk dengan urusan dunia dan akhirnya dirinya melupakan akhirat.

Apapun hal yang termasuk harta duniawi tidak boleh menjadi alasan yang menghalangi kita dari ibadah kepada Allah. Harta itu fitnah dan membuat lalai, maka jika ingin berharta pandanglah harta itu dari sudut pandang yang lurus bahwa harta itu adalah nikmat dan amanah dari Allah yang harus disyukuri. Bersyukur atas harta artinya meyakini bahwa harta itu berasal dari Allah dan merasa tetap milik Allah sehingga mesti dipergunakan dijalan Allah. Dikatakan, “harta adalah sebuah sarana yang bersifat netral tergantung kepada siapa yang memegang dan memanfaatkannya. Ia bisa dipergunakan dalam rangka kebajikan atau kejahatan”. Harta bisa jadi sebab manusia menjadi bertaqwa sehingga mulia bisa juga jadi sebab manusia menjadi menentang Allah dan rasulnya sehingga jadi hina.

Harta kekayaan dunia dalam hal menipu pandangan manusia kedudukannya hampir sama dengan syetan. Inilah rahasianya sehingga Allah Subhanahu Wa Ta’ala mengingatkan dalam al-Quran surat 31 ayat 33 dan surat 35 ayat 5. Tidak sedikit manusia kemudian merasa cukup dengan kehidupan dunia. Surat 10 ayat 7 sampai 8. Lalu lebih mencintai dunia ketimbang akhirat surat 14 ayat 3. Sikap ini muncul akibat dari sikap lalai terhadap peringatan, malas bertafakur, lupa kepada ajaran yang haq dan membiasakan diri berbuat dosa dan jahat. Jadi kalau dirunut banyak latar belakang mengapa harta kekayaan dunia bagi manusia menjadi sebab munculnya sikap durhaka kepada Allah Subhanahu Wa Ta’ala.

Jika harta dunia telah menjadikan manusia itu bersikap menentang wahyu atau hidup dalam kejahiliyahan; selanjutnya terjadilah penggunaan harta dan nikmat yang lainnya untuk menambah-nambah dosa kemaksiatan, kedurhakaan bahkan lebih dari itu yaitu permusuhan, pemerasan, perbudakan dan membuat kerusakan serta pembunuhan di muka bumi. Sudah pasti jika manusia tidak sanggup mengemban amanah di muka bumi sebagai khalifah dengan sikap tawadhu dan bertauhid maka manusia akan menjadi perusak dan senang menumpahkan darah sesamanya. Fakta-fakta ini banyak sekali kita temukan, pelakunya biasanya adalah penguasa zalim di negeri-negeri yang memang jahiliah dan jauh dari iman dan taqwa.

Harta itu adalah fitnah dan rahmat sekaligus. Fitnah artinya ujian, nikmat artinya pemberian yang bersifat memberi kenyamanan. Orang yang diberi harta tidak dikatakan terkena musibah tetapi harta itu berpeluang jadi musibah ketika harta itu tidak dipergunakan sebagaimana seharusnya. Karena harta itu fitnah atau ujian maka hati-hatilah dalam memandang dan memperlakukan harta. Karena harta itu nikmat maka jagalah sikap syukur kepada Allah dan pergunakan di jalanNya. Sebab itu, harta yang nyata bernilai fitnah, ketika berada di tangan orang mukmin walau nyata tidak akan membahayakan diri dan lingkungannya, mereka haruslah tetap hati-hati terhadapnya.

Ketika harta jatuh dalam genggaman orang-orang yang tidak beriman maka akan semakin mengokohkan kekafiran dan kejahiliyahannya. Hebatnya lagi dalam artian hebat ke hinaannya, orang kafir mempergunakan harta dan nikmat lainnya yaitu ilmu, kesehatan, kekuasaan, tentara dan lain sebagainya mereka pergunakan semua itu untuk melanggengkan kedurhakaannya terhadap Tuhan pemberi nikmat. Yang sangat hina tentang sikap manusia terhadap harta ialah mereka menjadikan harta itu sebagai Tuhan yang mereka ibadahi. Sebagai puncak dari ideologi, politik, pengharapan, rasa cinta, pengorbanan dan pertolongan.

Harta dunia memang dibutuhkan dalam hidup ini. Bahkan memang bukan hanya sekedar harta dunia yang dipandang bernilai ekonomi dalam sudut pandang manusia, sesungguhnya segala yang ada di alam semesta ini termasuk hukum alam, sistem, proses dan energi yang tercakup di dalamnya, semua itu diperlukan dan diperuntukkan untuk manusia semata. Harta adalah nikmat karenanya harta merupakan pilar kebaikan dan pilar utama kehidupan. Orang yang memilikinya bisa bertambah kekuatan dan kewibawaan nya. Orang yang sedikit memilikinya masih bisa melanjutkan estafeta kehidupan. Namun demikian harta yang tidak disangsikan lagi nilai dan kegunaannya tetap derajatnya adalah hina, rendah bahkan terlaknat dan mencelakakan ketika sudah dijadikan tujuan hidup. Sebab bagaimanapun harta itu tidak ada yang abadi. Ujung-ujungnya adalah sampah, harta warisan, ditinggalkan dan dihancurkan kelak saat hari kiamat tiba. Masalahnya kalau harta tidak dipergunakan untuk kebaikan maka dipergunakan untuk kejahatan dan akibatnya dosa serta pertanggungjawabannya di akhirat kelak.

Sebab itu menyikapi harta harus benar. Konsep infaq, halal, qanaah, wara, syukur, sabar adalah konsep yang berkaitan dengannya. Kalau konsep ini hilang dari jiwa dan perlakuan kita, maka harta berpotensi jadi alat menentang Allah Subhanahu Wa Ta’ala.

_*Dua Cinta dunia*_

Cinta dunia sangat dekat dengan banyak harta kekayaan. Namun ada perbedaan yang mendasar antara cinta dunia dengan kaya. Orang yang cinta dunia belum tentu kaya, belum tentu punya harta kekayaan dunia yang melimpah. Dan sebaliknya orang yang kaya, tidak bisa kita sebut otomatis sebagai orang yang cinta dunia. Orang yang memiliki harta kekayaan duniawi belum tentu jahiliyah. Bahkan bisa jadi menjadi orang yang paling bertakwa. Tetapi orang yang cinta dunia sekalipun miskin sama memiliki peluang untuk mengumpulkan kejahatan dan permusuhan dalam dirinya seperti orang kaya yang bertabiat cinta dunia.

Cinta akan dunia merupakan penyakit jiwa manusia. Karena adanya cinta dunia pada seseorang maka ia akan sibuk mengurus dunia tetapi tidak membuatnya hidup dalam kemudahan; setiap kali mencapai suatu keinginan timbul keinginan berikutnya tanpa puas, yang timbul bahkan sifat tamak. Siapapun yang mencintai dunia sedikit atau berlebihan akan terhalang dirinya dari keseriusan mengurus akhirat dan memikirkan urusan Agama. Itu merupakan penyakit yang paling parah terjadi dewasa ini, tak hanya menimpa umat manusia secara umum bahkan umat Islam pun demikian. Hakekatnya adalah banyak umat Islam yang menjadi mundur dari tugas amar ma’ruf dan nahi munkar sehingga kemungkaran semakin merajalela dan umat semakin jauh dari kemuliaan akhlak.

Cinta dunia timbul karena tunduknya akal fikiran dan hati sanubari pada tipuan dunia. Dunia memamerkan kelezatan dan kemanisan lalu disambut dengan ketundukan dan kecintaan. Andai manusia berfikir secara mendalam apa guna mencintai dunia yang hanya sementara dan cepat sekali usang. Namun malah di antara manusia yang melampaui batas memiliki anggapan dan menyebarkan anggapan yaitu bahwa hakekat segala sesuatu adalah benda atau materi.

Cinta dunia menimbulkan angan-angan yang muluk. Dan angan-angan yang muluk menyebabkan lupa kepada akhirat. Sebab angan-angan itu mengarahkan waktu tenaga, pikiran, pembicaraan, pekerjaan untuk menggapai apa saja yang dianggap kesenangan dunia. Lebih parah lagi kalau angan-angan bertemu dengan nafsu. Akibatnya dalam upaya menggapai harta dunia tidak lagi mengindahkan batas halal dan haram artinya tidak dengan nilai aturan yang benar.

Alquran mengatakan dan kehidupan dunia ini tidak lain hanyalah yang menipu surat 57 ayat 20. Janganlah sekali-kali kehidupan dunia memperdayakan mu surat 31 ayat 33. “Harta dan anak-anak adalah perhiasan kehidupan dunia tetapi amalan-amalan yang kekal lagi Saleh adalah lebih baik pahalanya di sisi Tuhanmu serta lebih baik untuk menjadi harapan”, surat 18 ayat 46.

Cinta dunia di tengah umat Islam menjadi penghalang kemuliaan dan kemajuan. Bila ditambah rasa takut mati maka lengkaplah kehinaan itu. Umat Islam akan menjadi hidangan bagi musuh-musuhnya.

Cinta dunia pada manusia umumnya ditambah sikap mengikuti nafsu dan jalan yang sesat maka akan menjadi pendorong untuk menjajah dan merampas hak orang lain. Menjadi sebab hilangnya waktu untuk memikirkan urusan akhirat. Bila cinta dunia dibiarkan terus-menerus menghinggapi suatu kaum maka akan timbul keraguan terhadap negeri akhirat sampai akhirnya mendustakannya. Jika hal tersebut sudah mengakar maka seruan Islam dan wahyu akan ditolak, bahkan dicaci dan ditertawakan.

Dunia tidaklah patut dicintai sekalipun harus diusahakan dengan serius dan mengikuti aturan syariat. Karena dunia pada dasarnya hanyalah sarana dan fasilitas untuk mendukung upaya dan kewajiban manusia yang jauh lebih mulia daripada sekedar hidup dalam kekayaan. Tugas itu adalah menjadi hamba Allah dan khalifah-Nya. Allah dan rasulNya serta berjihad di jalanNya, itulah yang lebih patut dicintai. Mencintai dunia berarti merelakan diri ditipu olehnya. Sedangkan mencintai Allah berarti Ridho dibimbingnya, berjihad, menjadi hambanya, menjadi khalifah nya, merupakan mutiara kemuliaan hidup yang sebenarnya.

Cinta dunia adalah penyebab timbulnya kejahatan dan kedholiman. Kejahatan dan kedholiman itu bukan hanya dalam wujud menimbun harta, merampas hak orang lain, lalai terhadap kewajiban agama tetapi yang lebih parah, iakah menjadi sebab munculnya kesombongan yang menimbulkan keberanian menentang Allah dan rasulNya bahkan berani sampai menuntut azab didatangkan. Sebagaimana yang terjadi pada orang-orang terdahulu. Cinta dunia pada dasarnya adalah pintu pembuka segenap kejahatan, memancing ikut sertanya hawa nafsu, mendorong perilaku mengikuti setiap bisikan syetan dan yang terbesar bahayanya adalah membuat kerusakan di muka bumi Akibat sifat tamak.

Di kalangan orang-orang kafir, cinta dunia begitu nyata dengan dijadikannya dunia, benda atau materi sebagai asas filsafatnya. Menurut mereka dunia ini kekal dan inti hakekatnya adalah materi. Prakteknya mereka menjadikan dunia ini yaitu kekayaannya sebagai tujuan tertinggi hidupnya. Inilah golongan manusia yang telah ditipu dunia. Pada saat yang sama mereka memandang filsafat dan corak kehidupannya adalah baik dan mulia. Sehingga harus menjadi landasan negaranya dan capaian-capaian yang harus di realisasikan. Dunia bagi mereka adalah ukuran kemuliaan. Mmanusia yang paling mulia adalah yang paling kaya tidak peduli akhlaqnya seperti apa.

_*Ketiga merasa puas dengan kehidupan dunia.*_

Allah Subhanahu Wa Ta’Ala menurunkan nikmat berupa perhiasan, kesenangan, kelezatan, kemanisan kenyamanan, kekuatan dalam bentuk harta dan kehidupan. Kemudian manusia ada yang tertipu, terpedaya, tergoda oleh nikmat itu. Akibat dari cinta dunia dan perasaan puas dengan dunia itu. Akibatnya dia bersikap melampaui batas, tamak, sibuk, panjang angan-angan, lalai pada tujuan hidup yang utama. Dan puncaknya adalah menentang Allah dan rasulNya.

Kehidupan dunia adalah nikmat buat manusia. Keberadaan manusia adalah atas kuasa dan takdir Allah. Merupakan suatu kebaikan yang amat besar dari sisinya. Kehidupan dunia yang meliputi hidup dan dunia memang penuh dengan kenikmatan dan memang untuk dinikmati. Namun Allah mengingatkan kepada manusia tentang hakekat-hakekat hidup dan dunia. Yang sering dilupakan manusia pada umumnya. Diantaranya bahwa hidup adalah amanah dan setelah tiba kematian nanti akan ada kehidupan berikutnya yang sebenarnya yaitu akhirat. Di akhirat itulah tempat hidup manusia yang kekal. Untuk hidup disana manusia harus beramal sholeh di dunia ini. Maka Allah bekali manusia itu dengan hati nurani dan Fitrah. Tak cukup itu Allah pun menurunkan wahyu dan agama sebagai petunjuk untuk melakukan amal sholeh. Nanti manusia terbagi atas dua golongan besar. Pertama yang mau menerima tugas sesuai wahyu dan menolak apapun yang diperintahkan Allah. Kedua yang menerima, nanti di akhirat akan mendapatkan kebaikan lagi yaitu surga. Yang menolak akan menerima keburukan yaitu neraka.

Adapun dunia, termsuk semua yang di dalamnya berupa harta dan segenap perhiasan serta fasilitas hidup adalah amanah dan anugerah Nya juga. Sebagian ada yang dilebihkan atas yang lainnya dalam kepemilikan harta tersebut. Allah menjelaskan bahwa hakekat dunia adalah penuh dengan tipuan dan senda gurau. Tetapi jangan mempermainkan dunia. Dunia harus diperlakukan serius dan benar. Jika manusia tertipu, tergoda, terpedaya oleh kehidupan dunia maka akan lupa kepada akhirat. Kehidupan bagi dirinya yang sebenarnya. Lupa kepada akhirat menyebabkan sifat dan tabiat menolak seruan dakwah rasul dan tertutup akal dan hatinya dari ayat-ayat-Nya. Hal ini timbul karena dunia bersatu dengan nafsu dan bisikan setan untuk menanamkan rasa cinta pada dunia dan rasa puas dengan dunia.

Merasa puas dengan kehidupan dunia artinya merasa tidak memerlukan hal lain lagi selain harta dan perhiasan dunia. Orang yang memiliki sikap semacam ini memandang bahwa harta sudah cukup membuatnya bahagia. Ia memandang cukuplah harta saja dan hidup di dunia saja yang telah membuatnya bahagia, senang, leluasa, berkuasa dan menikmati apa saja. Tetapi konsep bahagia, terhormat, berkuasa itu hanyalah persangkaannya saja, angan-angan dan anggapan kosong. Sebab hakekatnya tidak demikian. Harta dan hidup tidaklah mencukupi untuk hidup mulia, bahagia dan leluasa. Yang benar keduanya, yaitu harta dan hidup, membuat manusia akan ditimpa kehinaan, kesedihan dan terpenjara ketika hidup mereka terlepas daripada keimanan.

Karena pandangannya itu manusia kemudian enggan mempergunakan aturan agama, moral, etika, sosial dan akal sehat sebagai sarana untuk mencapai kebahagiaan. Kalaupun mereka suatu ketika beragama, bermoral, bersosial dan berfikir itu dilakukan semata untuk menumpuk dan menambah harta atau jalan menuju dikuasainya harta benda yang lebih banyak lagi. Mereka mempergunakan semuanya Itu demi dunia. kalau perlu ereka pergunakan agama untuk mencapai kekayaan dunia.

Merasa puas dengan kehidupan dunia berarti juga merasa tidak memerlukan wujud kehidupan akhirat Maka dalam Alquran dikatakan” bagi orang yang ingkar kepada Tuhan karena siksaan yang sangat berat, yaitu orang yang lebih menyukai kehidupan dunia dibandingkan akhirat” surat Ibrahim ayat ke-2 sampai ke-3. Maka orang-orang yang demikian ini telah mempertaruhkan seluruh waktu yang dimilikinya untuk mengejar harta kekayaan dunia sebab dalam pikirannya tidak ada lagi wujud kehidupan yang dianggap baik selain kehidupan dunia ini saja. Dalam pertaruhannya itu mereka bertindak seiring dengan semangat cinta dunia. Sehingga semakin sulit terbuka hati dan pikiran untuk mendengarkan penjelasan agama.

Allah Subhanahu Wa Ta’ala mengingatkan manusia dalam Al-Quran tentang bahaya cinta dunia, bahaya sifatnya yang memperdaya dan kisah orang-orang terdahulu yang menentang rasul gara-gara kecintaan pada dunia. Dunia dan hidup hanyalah sementara benar-benar hanya sekejap saja maka dari itu hati-hati dengan dunia. Peringatan Allah Subhanahu Wa Ta’ala tersebut tidaklah berarti orang yang beriman harus anti dunia. Bahkan Allah jadikan manusia untuk jadi khalifah di muka bumi. Dan Allah jadikan bumi bahkan alam semesta untuk hidup manusia. Lebih dari itu Allah peruntukkan kekuasaan di muka bumi ini bagi hamba-hambanya yang sholeh. Jadi orang yang beriman diperintahkan untuk menggenggam dunia jangan sampai dunia digenggam kaum yang ingkar kepadaNya. Dalam menggenggam dunia itu orang-orang beriman menjadikannya sebagai sarana untuk menegakkan keadilan, ketakwaan dan bersikap zuhud, waro, menginfakkannya, bersyukur dan bersabar dalam urusan-urusan kehidupan dunia dan harta.

Ditulis ulang Bandung, 5 Agustus 2019


Ditulis dalam Uncategorized
Laman Berikutnya »